Selimut yang Membingkai Cinta
DI satu apartemen seorang sahabat, saya menyaksikan sebuah selimut yang unik di satu sofa. Warnanya merah jambu (pink), dan di situ terdapat rajutan baju bekas. Setelah bertanya sana-sini, saya mendapat jawaban kalau selimut itu dimiliki mahasiswi asli Amerika Serikat (AS) yang juga tinggal di situ. Namun bukan bentuk unik yang hendak dikisahkan di sini. Ada kisah yang menyentuh hati saya saat menelusuri kisah yang disimpan selimut tersebut.
Saya memperhatikan selimut itu. Pada ujung sebelah kiri, terdapat baju bayi yang dilekatkan ke selimut, kemudian semakin ke kanan, baju remaja, hingga baju dewasa. Paling ujung adalah baju bertuliskan Ohio University. Apakah makna selimut itu? Ternyata selimut itu berisikan baju yang dipakai sang mahasiswi, sejak masih bayi hingga saat terdaftar di Ohio University (OU).
Ibu sang mahasiswi itu menjahitnya hingga jadi satu kemasan yang unik, lalu menghadiahkannya kepada sang anak. Saya melihatnya dengan seksama. Bagi saya, selimut itu bukan sekadar selimut, namun sebuah kenangan yang diabadikan dan dibingkai menjadi satu. Ibu mahasiswa itu telah merajut memori masa silam, dan mengabadikannya sebagai penanda keberadaan sang anak.
Mungkin ini adalah soal keluasan hati untuk menyayangi. Saya merenungi betapa luar biasanya ibu sang mahasiswi itu. Ia menyimpan perca kenangan masa silam, mengemasnya menjadi satu kado yang amat indah agar sang anak tak pernah melupakan asal-usulnya. Selimut itu adalah ikon dari kecintaan sang ibu pada anak, sekaligus kesediaan merawat kenangan. Ia menyimpan baju sejak bayi sebab baju-baju tersebut menjadi simbol tentang suatu momen yang mungkin telah lewat, namun masih berdenyut hingga kini.
Selama ini, saya sering beranggapan kalau di negeri seperti Amerika, hubungan antara ibu dan anak adalah satu hubungan yang hambar dan kehilangan nilai-nilai purba yang abadi yakni cinta, kasih, dan rindu. Gambaran saya tentang negeri ini adalah himpunan kenangan yang saya temukan melalui film dan catatan yang berserakan di media. Ternyata, tak semua gambaran itu berkesesuaian dengan kenyataan di sini.
Beberapa minggu lalu, saya berkunjung ke satu keluarga di Cincinnati demi menemani seorang sahabat yang hendak menemui ibunya. Sahabat itu tak malu-malu mencium ibunya di hadapan saya dan teman-teman, padahal usia sahabat itu lebih 40 tahun. Demikian pula sang ibu yang tak pernah malu memeluk dan mengusap anaknya, seolah sang anak masih berusia kanak-kanak. Saya melihat sebuah kehangatan. Saya semakin disadarkan bahwa nilai-nilai seperti cinta kasih adalah sesuatu yang universal dan bisa ditemukan di mana-mana, bahkan di negeri yang penduduknya disergap individualisme sekalipun.
Selimut itu menunjukkan pada saya bahwa ikatan seorang ibu pada anaknya adalah ikatan abadi yang jauh lebih kuat dari baja paling hebat sekalipun. Ibu itu telah menyimpan semua pakaian sang anak sejak bayi hingga dewasa, lalu mengemas ulang laksana monumen. Ia mengubahnya menjadi sebuah kado luar biasa. Ia bukan saja menyentuh hati sang anak. Ia juga telah menyentuh hati saya yang secara perlahan dirayapi kekaguman pada sang ibu. Mudah-mudahan ada kesempatan untuk bertemu dengannya.
Saat memikirkan selimut dan kenangan dibaliknya, sebuah tanya tiba-tiba saja menyeruak di benak saat membayangkan anak saya Ara. Saya merenungi cinta ibunya kepadanya. Apakah kelak Ara akan mendapatkan memori indah tentang baju yang dikenakannya sejak bayi hingga saat kuliah di Harvard?
Athens, Ohio, 19 November 2011