Bahasa Inggris Hancur, Lulus Cumlaude di Amerika
![]() |
Rhenald Kasali (foto: andikaboni.blogspot.com) |
DUNIA akademik senantiasa penuh
dengan mitos-mitos. Banyak yang menganggap bahwa untuk melanjutkan kuliah di
luar negeri, maka kemampuan bahasa Inggris adalah yang paling utama dan
segala-galanya. Tapi tahukah Anda bahwa Prof Rhenald Kasali, seorang pakar manajemen
terkemuka, berangkat kuliah ke Amerika Serikat (AS) dengan bahasa Inggris
pas-pasan? Tahukah Anda bahwa Prof Yohannes Surya juga berangkat ke Amerika
dengan kondisi bahasa Inggris yang juga hancur-hancuran?
Beberapa waktu silam, di acara
KickAndy, Rhenald Kasali, yang mendapatkan master dan PhD di Amerika Serikat,
berterus-terang kalau dirinya tak bisa bahasa Inggris saat lulus dari Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia (UI). Ia sempat memaksa diri untuk belajar bahasa
Inggris di tanah air selama beberapa bulan. Ternyata, ia masih saja kesulitan
berbahasa. Akhirnya ia nekad untuk berangkat ke Amerika dan mencari program
belajar bahasa selama tiga bulan.
Lain lagi dengan Yohannes Surya.
Pakar fisika, yang sukses mengorbitkan siswa-siswa cerdas Indonesia hingga
meraih 75 medali emas olimpiade fisika ini, hanya memiliki Toefl 415 saat
mengajukan beasiswa ke Amerika Serikat. Memang, ia telah mendapatkan
rekomendasi dari seorang professor fisika yang pernah ke Indonesia, tapi
dirinya tak bisa ngomong dalam bahasa Inggris. Masalah paling besar muncul
karena ia diwajibkan untuk mengajar mahasiswa di program sarjana di kampus
Amerika.
![]() |
Yohannes Surya (foto: physitaki.blogspot.com) |
Tantangan itu lalu dihadapinya. Ia lalu bergerilya mencari beasiswa yang tidak mensyaratkan nilai Toefl. Ia pun juga mencari kampus yang tidak terlalu peduli dengan nilai Toefl. Hingga akhirnya ia berhasil diterima di College of William and Mary, Virginia, yang program fisikanya masuk urutan lima besar di Amerika. Akhirnya masuklah Yohannes Surya, hingga akhirnya berhasil lulus dengan peringkat summa cumlaude atau IPK 4.00, sebuah prestasi yang amat hebat bagi seseorang yang awalnya tak bisa bahasa Inggris.
Kisah keduanya adalah kisah yang
menarik untuk ditelaah. Saya sering bertemu banyak orang hebat dan cerdas,
namun sama sekali tak ada keinginan untuk kuliah di luar negeri. Padahal,
dengan kecerdasan seperti itu, ia bisa bersinar di negeri orang. Saat saya
tanyai, maka jawabannya selalu pada kemampuan bahasa Inggris. Ternyata, banyak
yang tidak mau menjajal kemampuan untuk ikut seleksi beasiswa karena
semata-mata minder dengan kemampuan bahasa Inggris.
Pertanyaannya, apakah bahasa
Inggris adalah faktor paling utama untuk lulus beasiswa? Lantas, ketika bahasa
Inggris kita pas-pasan, apakah kita tidak punya kesempatan untuk belajar di
satu kampus bergengsi di luar negeri?
Nah, inilah yang saya sebut
sebagai mitos-mitos dalam dunia pendidikan. Sewaktu kecil, saya sering
mendengar mitos tentang sulitnya belajar matematika. Saat belajar di sekolah
menengah, saya kembali mendengar mitos tentang sulitnya bahasa Inggris. Mitos
ini membuat banyak mahasiswa hebat takut mencoba berbagai kesempatan untuk
melanjutkan studi di luar negeri. Banyak pula yang merasa bakal tidak
mendapatkan lapangan kerja yang memadai.
Tapi benarkah bahasa Inggris
adalah segala-galanya? Tunggu dulu. Sebagaimana Rhenald dan Yohannes, bahasa
Inggris saya terbilang pas-pasan. Malah bisa dikatakan hancur. Saya alumni
sekolah dasar dan menengah di Pulau Buton, yang infrastruktur sekolahnya bisa
dibilang tertinggal jika dibandingkan dengan mereka yang belajar di kota besar.
Saya tak mengenal istilah kursus-kursus bahasa di masa kecil. Jangankan
plesiran ke luar negeri, meninggalkan pulau kecil saja amat jarang saya
lakukan.
Sebagaimana Rhenald dan Yohannes,
saya tidak ingin terjebak pada pandangan yang melihat bahasa Inggris adalah
segala-galanya. Dugaan saya, pandangan ini sengaja dihembuskan oleh pihak
kursus atau program studi bahasa Inggris agar dagangannya laku keras. Maka saya
lalu memberanikan diri untuk mengikuti seleksi beasiswa di Ford Foundation.
Beasiswa ini tidak mensyaratkan kemampuan berbahasa, melainkan sejauh mana
keaktifan atau karya nyata yang pernah dilakukan seorang di masyarakat.
Nama saya masuk dalam 50 orang
daftar penerima beasiswa dari seluruh Indonesia. Selama berinteraksi dengan
mereka, saya akhirnya berkesimpulan bahwa faktor paling penting dari setiap
seleksi beasiswa bukanlah bahasa Inggris. Yang paling penting adalah gagasan
serta keunikan yang dimiliki seseorang. Dalam semua proses seleksi beasiswa,
Anda harus bisa meyakinkan para juri bahwa Anda adalah pribadi yang unik, punya
orisinalitas, punya gagasan yang beda dengan orang lain, serta memiliki
keunggulan yang tak boleh dilewatkan. Namun, saya sangat menggarisbawahi
pentingnya gagasan serta keunikan.
![]() |
Ohio University at Athens, USA |
Dengan kemampuan bahasa yang
pas-pasan, saya lalu belajar di kampus Ohio University di Amerika Serikat (AS).
Saya merasakan sendiri bagaimana menjalani kuliah dengan kemampuan bahasa
Inggris yang pas-pasan. Namun, publik Amerika dan mahasiswa international, tak
pernah sedikitpun meremehkan atau mentertawakan kemampuan saya. Ini sangat beda
dengan belajar bahasa Inggris di Indonesia, yang belum apa-apa sudah
ditertawakan atau diremehkan. Di luar negeri, semesta di sekitar kita menjadi
unsur yang membantu kita untuk melejitkan kemampuan bahasa.
Sebagaimana Rhenald dan Yohannes,
saya meyakini bahwa kemampuan bahasa Inggris bukanlah segala-galanya. Banyak
yang ke Amerika dengan bahasa Inggris hebat, khususnya dari golongan kaya di
Indonesia, yang prestasinya biasa saja. Nilainya pas-pasan, padahal kemampuan
bahasa Inggrisnya mendekati mahasiswa asing, sebab boleh jadi, sang mahasiswa
lahir dan besar di luar negeri. Mengapa demikian? Sebab mereka hanya menekankan
kemampuan bahasa, tanpa menghadirkan keunikan, orisinalitas, pengalaman, serta
gagasan yang berbeda dan menggerakkan.
Logikanya, meskipun anda jago
ngomong bahasa Inggris, tapi jika anda tak tahu hendak mengomongkan apa, maka
itu sama saja dengan nol. Sementara di saat bersamaan, ada yang tak lancar
bahasa Inggris, tapi saat itu mencoba menyampaikan sesuatu gagasan yang
substansial dan bernas, yang bersumber
dari pengalaman serta refleksi yang kuat, maka pastilah sosok ini yang
mendapatkan apresiasi.
Artinya, bahasa Inggris hanyalah
alat untuk menyampaikan ide, sesuatu yang amat penting dan lahir dari
kontemplasi dan interpretasi atas kenyataan. Bahasa hanyalah jalan tol agar
kendaraan gagasan bisa meluncur di lalu-lintas ide. Sebagai alat, bahasa
bukanlah segala-galanya. Yang paling penting adalah gagasan serta keberanian
untuk menyampaikannya, yang meskipun dalam kondisi yang terbata-bata, namun
tetap tidak kehilangan substansinya.
Buat saya, pandangan yang menilai
bahasa segala-galanya adalah pandangan yang amat picik. Di sini, saya banyak
melihat mahasiswa Cina dan Afrika yang datang dengan kemampuan bahasa yang
pas-pasan, namun tak berhenti untuk mencoba sehingga akhirnya sukses.
![]() |
ilustrasi |
Pengalaman ini memberikan
pelajaran bahwa di luar aspek bahasa, terdapat aspek yang lebih penting yakni
ide atau gagasan, serta kemampuan bertahan atau daya-daya survival dalam
menghadapi dan memecahkan semua persoalan.Tanpa kemampuan itu, kemampuan bahasa
jadi tak ada apa-apanya. Malah, kalaupun dipaksakan ngomong, yang muncul adalah
bualan atau omong besar yang tidak didasari penalaran yang jernih.
Setelah setahun belajar dengan
kemampuan bahasa yang masih pas-pasan, saya masih bisa bernapas lega.
Setidak-tidaknya, saya masih bisa survive di sini. Tanpa bermaksud
menyombongkan diri, saya bisa mendapatkan nilai terbaik di setiap kelas yang
saya ambil.
Satu hal paling penting adalah
buka mata dan buka telinga untuk selalu belajar dari apa pun di sekitar. Jangan
mau terjebak mitos tentang bahasa Inggris. Ciptakan mitos baru bahwa bahasa Inggris
itu bukanlah segala-galanya. Jangan minder dengan kemampuan bahasa. Jajal semua
seleksi beasiswa. Toh, bahasa Inggris akan mudah dipelajari sambil belajar hal
lainnya. Kita mesti belajar pada Yohannes Surya yang bahasa Inggris-nya
pas-pasan, namun bisa lulus cumlaude di Amerika.
Athens, 17 Agustus 2012
BACA JUGA: