Jalan Sunyi Gede Pasek Suardika
![]() |
Gede Pasek Suardika (foto: tempo.co) |
DI tengah gemuruh politik nasional dan
hiruk-pikuk di partai biru yang kering-kerontang, saya melihat satu embun kecemerlangan
pada sosok Gede Pasek Suardika. Di saat sahabatnya dicaci dan dimaki banyak
orang, ia tetap tenang dan menjawab cacian itu dengan argumentasi yang positif.
Ia tetap menemani sahabatnya, bahkan di saat-saat paling sulit dalam
kehidupannya. Ia beda dengan politisi lain yang biasanya menjadi ‘penyanjung di saat jaya, dan pemaki di
saat terpuruk’.
***
DI gedung Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Gede Pasek Suardika datang mendampingi Anas Urbaningrum yang hendak
diperiksa sebagai tersangka kasus Hambalang. Semua media langsung mengarahkan
sorotan kamera ke rombongan kecil mereka. Gede Pasek tak menghindar. Ia tetap
hadir dan jalan bersisian dengan Anas. Senyum tak pernah lepas dari bibir
politisi asal Bali ini.
Entah, apakah ia tahu bahwa di tanah air,
seorang terduga korupsi dianggap membawa penyakit yang bisa menjangkiti
siapapun yang mendekatinya. Tidakkah ia khawatir kalau dirinya akan ikut
dibuang dalam peta politik nasional sebagaimana para tertuduh lainnya? Tidakkah
ia memikirkan posisinya sebagai anggota DPR RI dari sebuah partai yang tengah
berkuasa? Mengapa pula ia tak menjauhi sahabatnya ketika dirinya telah dirotasi
sampai empat kali di DPR RI?
Lelaki asal Singaraja itu memang tenang.
Di saat semua orang meninggalkan Anas dan mencari jalan selamat dari posisi di
partai ataupun parlemen, Pasek tetap tak beranjak. Ia tak hendak ikut jadi
pencaci atau penghujat. Ia tetap memosisikan dirinya sebagai sosok yang tak
akan pernah meninggalkan sahabatnya demi untuk mengejar titik nyaman. Demi
sahabat itu, ia ikut menerima cacian serta hujatan, yang justru semakin
membesarkan dirinya.
Saya belum pernah bertemu dengannya. Namun
saya terkesima saat melihat dirinya pada dialog yang dipandu Karni Ilyas. Saat itu, ia
belum lama di-lengserkan dari posisi Ketua Komisi III. Ketika beberapa politisi
seperti Ruhut Sitompul menyanjung SBY dan menjelekkan Anas, ia tak mau ikut larut.
Saya menyaksikan bahwa beberapa kali ia
seakan dipaksa untuk mmberikan komentar kasar kepada ketua partai yang
melengserkannya. Ia tetap tidak mau melakukannya.
![]() |
Anas Urbaningrum dan Gede Pasek Suardika |
Ia hanya berkata singkat bahwa ia tak
ingin masuk dalam dikotomi antara menyanjung dan membenci. “Bagi saya, SBY adalah
guru, dan Anas adalah sahabat. Posisi
itu tak akan pernah berubah. Keduanya telah memberi warna bagi kehidupan saya.
Sungguh tak adil jika disuruh memilih salah satu,” katanya. Meskipun ia
beberapa kali mengkritik SBY, ia melakukannya dalam konteks untuk pembenahan
partai itu. Ia tak latah mengkritik dengan cara membabibuta sebagaimana
dilakukan politisi karbitan lainnya.
Pasek memang sangat dekat dengan Anas.
Ketika Anas menjadi ketua umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pasek menjabat
sebagai ketua Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI). Persahabatan
mereka lalu berlanjut hingga parlemen, ketika Anas terpilih sebagai Ketua
Fraksi Demokrat. Hingga akhirnya Anas mengundurkan diri, dan partai itu lalu
menggelar konser luar biasa di Bali.
Ia memilih untuk tidak masuk arena
kongres. Ia berjalan-jalan di sekitar Bali, lalu membeli patung wayang Sangkuni,
sebagai simbol dari pilihan politiknya. Apakah ia tidak loyal pada partainya?
Lelaki yang punya banyak pengalaman sebagai jurnalis ini punya pendapat
sendiri. Bahwa loyalitas tidak diukur dari seberapa panjang lidah dalam
menjilat seorang pengendali partai. Loyalitas harus diukur pada seberapa besar
kontribusi bagi partai di daerah-daerah, seberapa besar pengaruh seseorang dalam
menaikkan suara, bagaimana mengawal agenda strategis kerakyatan, serta
bagaimana menjaga suara rakyat agar tidak redup di parlemen.
Dunia politik kita memang dipenuhi para
sengkuni. Ada banyak para pemain politik yang berkeliaran dan setiap saat bisa
berganti muka. Mereka memenuhi panggung politik demi mengatasnamakan rakyat
serta nilai-nilai keluhuran. Demi nilai keluhuran itu, segala tipu daya dan
saling jegal menjadi sesuatu yang dianggap sah dalam dunia politik. Di tangan
orang-orang seperti Pasek, politik menjadi satu arena untuk menegaskan nilai,
meskipun posisi itu kelak akan tak nyaman bagi pemegang kuasa. Tapi demi
nilai-niai itu, seseorang mesti menjadi martir untuk menunjukkan pada banyak
orang bahwa ada sesuatu yang salah di situ.
Pasek, lelaki yang menuliskan ajaran
leluhur Bali dalam buku 108 Tips Niskala
nampaknya meyakini bahwa setiap pilihan politik adalah gerak material dari
refleksi serta kontemplasi. Boleh jadi, pilihan itu adalah manifestasi dari
jalan spiritual yang dipilihnya. Seorang penganut jalan spiritual selalu ingin
memanifestasikan semua ajaran yang diyakininya pada jalan yang akan dipilihnya,
sepahit apapun itu. Ia melihat matahari yang memandu gerak langkahnya, kemudian
menanggung segala konsekuensi pahit atas apa yang dilihatnya.
Dalam khasanah filosofis, niskala adalah
sesuatu yang abstrak, maya, dan tak berwujud, namun sejatinya menempati satu
wujud. Sebuah meja nampak diam, namun jika ditelusuri pada level niskala, di
dalam meja tersebut terdapat banyak elektron yang sedang bergerak. Di dalam
meja itu ada banyak gerak, yang hanya bisa disaksikan oleh mereka yang
menajamkan seluruh indera.
Kehidupan, sebagaimana diyakini Pasek
dalam bukunya adalah keseimbangan melakoni peran antara jasmani-rohani dan
sekala-niskala. Manusia yang paripurna adalah manusia yang memahami hakekat
kehidupan, dan selalu menggapai titik harmonis bersama alam semesta. Letusan
gunung tak selalu jadi pertanda buruk, melainkan momen bagi alam untuk
mengembalikan kesuburan tanah. Bencana
alam tak selalu jadi bencana, seringkali membawa berkah bagi manusia untuk
dihayati dan direnungi. Mungkinkah Pasek meyakini bahwa jalan yang dipiihnya
bersama Anas akan nampak kacau, salah, serta berpotensi untuk dihujat, namun
selalu ada pesan-pesan bijak yang hendak disampaikannya? Entahlah.
Serupa permainan catur, pengadilan bagi
Anas akan menjadi arena untuk menguji sejauh mana keyakinan Pasek akan jalan
yang dipiihnya. Namun terlepas dari benar atau salah, sosok tenang itu telah
menunjukkan makna persahabatan yang tak akan pernah tergadaikan oleh apapun.
Ketika sahabatnya di bibir jurang, ia memilih untuk bersetia bersamanya, dan
tidak hendak menjadi sosok oportunis. Beberapa kali ia mengatakan, “Saya tak ingin mengorbankan persahabatan
saya demi untuk materi dan posisi.”
Pria asal Pulau Dewata itu bukanlah
seorang ronin yang kerap ikut arus ke manapun. Ia adalah samurai yang setia
dengan segala tekad dan janji persahabatan. Ia menemani sang sahabat sekaligus
menunjukka konsistensinya untuk menghargai setiap kata yang pernah
diucapkannya.
Seorang sahabat di gedung KPK menuturkan,
ketika Pasek dan Anas jalan bersisian di gedung itu, mereka sempat berbincang. Sesaat sebelum Anas masuk ke ruang pemeriksaan, Pasek berbisik, “Hari ini mungkin kita akan kalah. Tapi kita
telah membuka mata orang tentang sesuatu yang sedang terjadi. Kita tak
benar-benar kalah.”