Mawar Cantik Kota Manado
DI sudut Score, Manado Town Square, gadis
itu memandang kosong ke lantai dansa. Di sana, banyak pasangan tengah berdisko
dengan berbagai gaya. Ia duduk sendirian. Aku tak melihat satupun gelas minuman di mejanya.
Kuminta seorang waiter mengantar segelas Martini. Sang waiter lalu menunjuk ke
arahku. Gadis itu tersenyum lalu mendekatiku. Kali ini, aku yang deg-degan. Ia
serupa bidadari.
Ia mendekat. Matanya lurus ke arahku. Tak
sengaja, aku melihat ke arah roknya yang mini. Kakinya bagus dan indah
dipandang. Aku lalu memalingkan wajah ke arah lain. Ia mengangkat gelas berisi minuman lalu mendekatiku. Kali ini kami duduk berdekatan. Cahaya lampu menyorot ke
rambutnya yang kemerahan. Cantik.
Kami coba berbincang. Aku lebih banyak
diam. Aku tak punya bahan untuk dibahas. Ia selalu memulai pembicaraan. Selanjutnya aku bertanya tentang dirinya. Ia tak pelit informasi. Ia
bercerita tentang dirinya yang datang dari satu desa yang jauh di utara
Sulawesi demi sesuap nasi. Ia mengenali kalau aku baru pertama berkunjung ke
bar itu. Batinku membatin, sepertinya gadis ini hampir tiap malam di situ. Tak
lama kemudian, musik yang tadinya berdentam-dentam tiba-tiba melambat. Beberapa
pasangan langsung berdansa. Ia lalu menyentuh lenganku sembari berbisik, “Kamu
mau dansa khan?” Aku menggeleng. Ia kecewa.
***
Manado serupa kembang indah yang
dikerubungi kumbang. Kota ini menjadi magnet dari banyak gadis-gadis muda yang
lalu meramaikan dinamika hiburan malam. Baru singgah beberapa malam, seorang
sahabatku mengajakku mengelilingi beberapa kawasan. Baru kutahu kalau sebutan
bagi kupu-kupu malam adalah mawar. Sedangkan sebutan bagi lelaki pencari mawar
adalah kumbang.
Saat melintas di Taman Kesatuan Bangsa
(TKB), beberapa mawar mendekat. Aku menyaksikan seorag gadis muda yang
wajahnya mengingatkan pada artis Nafa Urbach. Bajunya agak rendah di bagian
dada. Aku tak ingin memandang ke arah itu. Tanpa basa-basi, ia mengajak untuk
ke hotel terdekat. Dengan logat khas Manado, ia menyapa:
“Ayo kita ke hotel,” katanya“Tidak ada doe” jawabku.“Pasti ngana pura-pura,” katanya.
Aku hanya bisa tersenyum. Aku melanjutkan
perjalanan. Tak jauh dari TKB, di ujung Jalan Boulevard, beberapa Mawar
bergerombol. Kembali mereka mendatangiku. Bersama teman, aku memlih untuk meninggalkan
tempat itu. Bagiku, apa yang tampak ini adalah sekeping kenyataan dari kota
Manado. Ini juga bisa menjadi gambaran tentang betapa banyaknya persoalan
sosial yang harusnya bisa ditangani.
Tak semua orang mau menjadi Mawar. Banyak
di antara mereka justru tak berdaya dan kalah oleh keadaan. Barangkali yang
harus dikuatkan adalah basis pembangunan di desa-desa, kembali
merevitalisasi ekonomi desa, membuka banyak peluang, segingga warga desa
tidaklah merantau ke kota lalu memilih menjadi mawar demi mengatasi satu
masalah hari ini.
***
“Ayo dansa. Musiknya lagi romantis,” kata
gadis di sebelahku. Aku memandang sekeliling, Suasananya memang sengaja dibuat
romantis. Banyak pasangan berpelukan. Sayup-sayup suara berat Luis Amstrong
mengalun. Di ujung sana, kulihat ada pasangan yang sedang berciuman dengan hot.
Aku lalu menoleh pada gadis ini.
Sebelumnya, ia bercerita tentang kehidupan keluarganya yang didera kemiskinan.
Ia tak punya skill apapun untuk mendatangkan nafkah. Ia lalu bekerja sebagai
ladys di satu bar terkenal kota ini. Ia mendapatkan tip dari apa yang
dilakukannya.
Kembali, ia menarik lenganku untuk ke
lantai dansa. Aku lalu memikirkan urbanisasi yang marak di kota-kota. Para
petani telah lama kehilangan tanahnya karena dijual ke orang-orang kota. Ayah
gadis di hadapanku ini adalah petani kecil yang tak punya apapun untuk menopang
hidupnya. Gadis di hadapanku ini adalah pemberani yang menopang ekonomi
keluarga. Sayang, ia tak pernah bangga dengan pekerjaannya.
“Kaka, ayo kita dansa,” kembali ia
merajuk. Kali ini aku tak mau menolak. Aku ingin tahu bagaimana rasanya
berdansa dengan bidadari kota Manado. Tiba-tiba saja, ada gagasan melintas di
kepalaku. Jangan-jangan, ia akan mengajakku ke satu hotel. Dansa hanyalah pintu
masuk untuk pembicaraan serius. Ah, kali ini aku tak mau berspekulasi. Biarlah
kunikmati dansa dengannya.
Manado, November 2014