Wangi Kopi dan Aroma Cengkeh Pegunungan Luwu
suasana di salah satu desa di Pegunungan Latimojong |
BIARPUN petinggi negeri ini tengah melancarkan
retorika tentang kebijakan yang selama ini memunggungi lautan, bukan berarti
kawasan pegunungan menjadi kawasan yang harus terabaikan. Nasib pegunungan
setali tiga uang dengan lautan. Pegunungan telah lama terabaikan oleh negara.
Masyarakat pegunungan seakan termarginalkan. Tapi mereka tetap memelihara
daya-daya untuk bangkit dan lepas dari stigma yang diberikan orang kota.
Di Pegunungan Latimojong, Kabupaten Luwu, Sulawesi
Selatan, saya menemukan daya-daya hidup dari petani yang terus bertahan digerus
oleh perubahan. Di Latimojong itu, saya menikmati wangi kopi dan aroma cengkeh
yang seakan hendak dilenyapkan oleh modernisasi dan deru pembangunan di
kota-kota. Di situ, saya menemukan betapa banyaknya tantangan yang harus
diatasi demi menghadirkan desa-desa pegunungan yang lestari dan selalu menghadirkan
senyum di wajah warganya.
***
LELAKI itu bernama Bachrianto Bachtiar. Hari
itu, dia mengajak saya untuk menyeruput segelas kopi di depan kantor RRI,
Makassar. Pekan silam, akademisi Universitas Hasanuddin yang punya segudang pengalaman di dunia pengorganisasian masyarakat ini bercerita banyak hal tentang kampung
halamannya di tanah Luwu. Ia bercerita banyak tentang sejarah, budaya, hingga masyarakat. Ia juga membahas begitu banyak potensi di kampung halamannya.
Ingatan saya tentang Luwu adalah ingatan
tentang kota Palopo yang menyimpan banyak situs sejarah. Saya pun mengenang
wilayah ini saat beberapa tahun silam menelusuri jejak-jejak kisah I La Galigo
yang hidup dalam benak warganya. Di mata saya, Luwu adalah negeri yang serupa
payung, menaungi kebudayaan di jazirah Sulawesi, menjadi mata air yang
mengalirkn nilai-nilai filosofis pada kebudayaan lain. Ingatan saya tentang
Luwu adalah filosofi dan kearifan yang tercatat dalam kisah klasik I La Galigo,
yang disebut-sebut sebagai kanon sastra dunia.
Saya terkenang perbincangan dengan Ishak
Ngeljaratan, seorang budayawan Sulawesi Selatan. Kata Ishak, Luwu ibarat Athena,
yang menjadi muasal dari semua filosofi dan kearifan. Itu terlihat dari manuskrip
I La Galigo yang ditahbiskan Unesco sebagai warisan dunia, sebagai memory of the world. Sayangnya, kata
Ishak, Athena tak membangun satu peradaban yang kokoh. Peradaban yang kokoh
fundasinya dibangun oleh Roma, yang dalam konteks Sulawesi Selatan, adalah Gowa
dan Bone.
Tapi Bachrianto Bactiar menyodorkan saya satu
keping kenyataan lain yang selama ini tak pernah saya pikirkan. Ia mengajak
saya berpikir tentang Luwu hari ini yang telah dimekarkan menjadi beberapa
kabupaten. Ia berbicara tentang ketertinggalan yang disebabkan oleh hilangnya
upaya menyerap hikmah dan kearifan dalam kisah-kisah I La Galigo. Luwu hari ini
adalah wilayah yang terfragmentasi oleh berbagai kepentingan, diterjang oleh
hasrat berkuasa, lalu mengabaikan rakyat biasa yang suaranya kian parau.
Bachrianto mengajak saya berbicara tentang Luwu
sebagai satuan wilayah yang harusnya selalu tersaput emas, sebagai salah satu
simbol kesejahteraan dan kemakmuran. Berbeda dengan retorika politisi,
Bachrianto menunjukkan potensi-potensi hebat yang seharusnya bisa dimaksimalkan
menjadi gerak kemajuan. Ia menyebut kawasan pegunungan dan pesisir, dua sisi
mata uang koin yang menjadi kekuatan Luwu. “Kita tak hanya punya lautan, tapi
kita juga daratan dan pegunungan yang sejak lama telah menjadi ibu bagi
peradaban Luwu,” kata pria yang bekerja sebagai akademisi Universitas
Hasanuddin ini.
kopi di Pegunungan Latimojong |
Penuturan Bachrianto membut saya terhenyak.
Selama ini, sumberdaya yang saya ketahui tentang wilayah ini adalah kebaradaan
mineral tambang seperti nikel yang telah lama dikeruk. Saya juga membaca banyak
publikasi tentang bijih besi yang pada era Majapahit dikenal sebagai bahan besi
terbaik, yang lalu didatangkan ke tanaah Jawa demi membuat senjata paling baik
dan paling unggul. Dalam tuturan Jared Diamond dalam buku Guns, Germs, and
Steel, baja adalah salah satu tolok ukur kemajuan peradaban yang menjadikan
satu bangsa unggul atas bangsa lain. Kata Jared Diamond, penjelajah Spanyol
Hernan Cortez pernah menaklukan Amerika Latin berkat keunggulan teknologi besi
yang dikembangkan orang Eropa.
Tapi di mata Bachrianto, Luwu tak hanya identik
dengan bahan tambang itu. “Luwu tak hanya punya besi. Luwu juga punya
pegunungan indah, sawah-sawah menghijau, serta aroma kopi yang menyengat di
pegunungan sana. Luwu juga punya wangi cengkeh yang harumnya tersebar ke
mana-mana. Dikarenakan hidup ini hanya sekali, maka kunjungan ke pegunungan
Luwu harus menjadi satu agenda wajib bagi semua orang. Jangan mati dulu sebelum
memijakkan kaki di tanah Luwu,” kata Bachrianto, sedikit memprovokasi.
Entah, apakah dia tahu saya peminat kopi, ia
lalu berbisik bahwa di Luwu terdapat khasanah kopi yang tak ditemukan di tempat
lain. Jika kopi terbaik dan termahal di dunia adalah kopi luwak, yang merupakan
kotoran hewan sejenis musang bernama Luwak, maka di Luwu terdapat kopi bisang.
Bisang adalah hewan pengerat dengan penciuman yang lebih andal dari barista
manapun. “Untuk tahu lebih banyak, kamu harus ke sana,” kata Bachrianto, yang
kini sedang mempersiapkan diri sebagai calon kepala daerah.
Provokasi itu sukses. Dari kota Makassar, saya
bergerak dengan bus ke Belopa, Luwu, selama enam jam, demi melihat langsung apa
yang dikatakannya.
***
ANAK muda itu bernama Isdar. Ia berjanji akan
menemani saya dan beberapa teman ke kawasan pegunungan di Luwu. Katanya,
terdapat dua kawasan pegunungan yakni Latimojong dan Bastem. Semua kawasan itu
memiliki pemandangan hijau serta komoditas yang telah lama menjadi tulang
punggung warga.
Saya bertemu Isdar saat berkunjung ke Belopa
bersama empat orang kawan. Kami sengaja membawa peralatan seperti kamera, serta
pesawat drone untuk merekam keindahan Luwu dari atas. Selama di Belopa, yang
merupakan ibukota Luwu, kami sempat berkunjung ke kawasan pesisir lalu
mencicipi kuliner khas Luwu yang tak ditemukan di tempat lain.
Kuliner Luwu khas kuliner kawasan timur
Indonesia. Saya menyenangi kapurung, kuliner yang diolah dari bahan sagu. Di
Kendari, olahan sagu ini disebut sinonggi. Di Ternate, olahan ini disebut
papeda. Selain olahan sagu itu, saya cukup menikmati berbagai jenis kuliner
yang berbahan ikan, yang di antaranya adalah parede. Menu ini punya rasa yang
sama dengan hidangan pallu mara di mayarakat Bugis.
putih cengkeh |
Selain mencicipi kuliner, agenda utama kami
adalah mengunjungi kawasan pegunungan. Letaknya tidak terlalu jauh dari Kota
Belopa. Sofyan, seorang sahabat di Belopa, menyebut jaraknya sekitar dua atau
tiga jam. Hanya saja, medan yang dihadapi cukup berat. Makanya, kendaraan yang
bisa menjangkau wilayah itu adalah kendaraan jenis Hilux ataupun Strada yang
memiliki dua persneling. Sungguh beruntung, Sofyan meminjamkan kendaraan itu
untuk saya gunakan bersama teman-teman. Di daerah seperti Luwu, ketulusan dan
keikhlasan dipancarkan oleh banyak orang.
Perjalanan itu dimulai. Dari Belopa, kami
melalui jalan yang terus menanjak. Dikarenakan jumlah kami empat orang,
sebagian harus duduk di bak belakang. Perjalanan itu memang cukup berat.
Sepanjang jalan, saya menyaksikan betapa buruknya infrastruktur transportasi
darat, sesuatu yang kontras dengan situasi di ibukota kabupaten. Jejak-jejak
pembangunan di wilayah ini tidak begitu nampak.
Pemandangan di sepanjang jalan sungguh
menakjubkan. Saya menyaksikan sawah-sawah berbentuk terassiring memenuhi tepian
pegunungan. Pemandangannya mengingatkan saya pada hampaan pegununganteh di
Pucak, Jawa Barat. Yup, perjalanan di pegunungan Latimojong ini memang serupa
perjalanan ke Puncak. Bedanya, jalan-jalan di Pagunungan Latimojong ini rusak
parah sehingga susah dijangkau.
Di depan satu rumah, kami singgah sejenak. Di sinilah
saya menyaksikan bijih kopi yang siap dipasarkan. Saya juga melihat mesin yang
mengupas kopi itu. Pemilik rumah menyambut kami dengan raut penuh bahagia. Ia
lalu mengijinkan kami menganbil gambar bijih kopi yang sedang dijemurnya. Kopi-kopi
itu hendak dijual ke kota-kota.
Saya membayangkan biaya yang dikeluarkan seorang
petani. Dengan kondisi infrastruktur jalan yang rusak parah, petani harus
mengeluarkan biaya besar untuk membawa kopi itu ke kota-kota besar. Ditambah
lagi kopi itu dijual dalam keadaan mentah, tanpa melalui proses pengolahan dan
pengemasan.
Perjalanan dilanjutkan. Tak hanya kopi, saya
juga menyaksikan cengkeh dijemur di tepian jalan. Sekeliling pegunungan itu,
saya melihat banyak pohon cengkeh yang menjulang. Beberapa orang memetik
cengkeh itu dengan cara memanjat tangga yang terbuat dari bambu, yang
dimasukkan kayu ke lubangnya. Pegunungan Latimojong adalah semesta bagi banyak
komoditas. Selain kopi dan cengkeh, di situ juga ada beberapa hasil kebun yang
memenuhi kebutuhan petani, dan dijual ke kota-kota.
pemetik cengkeh |
bunga di pegunungan |
Petani cengkeh itu tak keberatan ketika saya
mengambil gambar. Dia bercerita tentang aktivitasnya yang memetik cengkeh
selama seharian. Di bagian lain, saya juga melihat beberapa anak usia belasan
tahun memanjat pohon cengkeh. Jika di kota, barangkali ini bisa menimbulkan
protes dari para aktivis pemerhati anak. Di pegunungan ini, aktivitas itu
adalah bagian dari latihan yang dilalui seorang anak agar kelak bisa mengambil
akih perkebunan dari ayahnya. Anak-anak itu tengah bermain di pucuk cengkeh,
sembari membawa beberapa cengkeh untuk dijemur lalu dipasarkan orangtuanya. Tak
ada eksploitasi di situ, selain keriangan anak-anak yang bermain di pegunungan.
Kembali, kami singgah di satu rumah untuk
istirahat. Seorang kawan lalu mengambil gambar, sembari mengajak pemilik rumah
lain berbincang-bincang. Di kawasan pegunungan ini, keikhlasan dan ketulusan
ibarat berlian yang dimiliki semua warga. Baru berbincang sebentar, ibu pemilik
rumah lalu menahan langkah teman saya. Dia telah memerintahkan anaknya untuk
menyembelih ayam kampung, sebagai hidangan bagi kawan yang mengajaknya
berbincang.
Sayang sekali, perjalanan ini tak mempertemukan
saya dengan satupun bisang, hewan pengerat yang mengonsumsi kopi. Seorang warga
melaporkan kalau bisang yang ada di kampung itu telah mati beberapa pekan
silam. Saya hanya mendengar kisah kalau bisang adalah sejenis luwak yang juga
mengonsumsi kopi. Bedanya, kalau luwak mengonsumsi kopi lalu mengeluarkan
tinja, yang kemudian diambil untuk dijadikan kopi luwak. Sementara bisang
mengonsumsi kopi, lalu memuntahkannya kembali. Muntahan inilah yang diambil dan
dijadikan bahan untuk membuat kopi bisang.
***
SEUSAI melakukan perjalanan ke pegunungan itu,
kembali saya bertemu Bacrianto. Ia mengatakan bahwa idealnya pemerintah membuat
regulasi yang menguntungkan para petani. Ia memberi contoh kebijakan Gubernur
Sulawesi Selatan Ahmad Amiruddin yang memliki kebijakan petik-olah-jual. Semua
komoditas yang dipetik, harus diolah kembali sehingga memberikan nilai tambah,
setelah itu dijual ke pihak konsumen.
“Kebijakan petik olah jual itu masih relevan
hingga kini. Pemerintah harus hadir melalui kebijakan yang memihak petani,
dengan cara membangun satu sistem kerja yang terintegrasi. Mata rantai pasar
harus dibenahi sehingga petani memiliki nilai tambah, dan tidak hanya berhenti
sebagai produsen. Kalau itu dibenahi, maka semua petani Luwu ini akan
sejahtera,” katanya.
bunga matahari di pegunungan |
Jika diamati, pegunungan ini harusnya menjadi
kawasan agropolitan yang terintegrasi. Para petani, pengusaha, pemasar, dan pemerintah,
harus bekerja dalam satu mata rantai yang saling menguatkan. Tak hanya
komoditas, wilayah yang indah ini bisa pula dikelola menjadi satu kawasan
ekowisata hijau yang semakin memberikan nilai tambah bagi warganya.
Saya setuju dengan pendapatnya. Para petani di
Luwu memiliki daya-daya adaptasi kreatif untuk bertahan dalam situasi apapun. Seharusnya
potensi ini juga diimbangi dnegan kesigapan pemerintah daerah dalam membantu
semua petani itu untuk menggapai kesejahteraan. Jika semua niat baik itu
berjalan, maka Pegunungan Latimojong akan menjadi kawasan hijau yang indah,
menjadi rumah yang memberikan kehidupan sejahtera bagi para petani, serta
menjadi ruang bagi setiap orang untuk menyaksikan kepingan surga yang jatuh ke
muka bumi.
Bogor, 13 September 2016
BACA JUGA: