Balada Getir AMIEN RAIS
WAJAH itu nampak kian berkerut. Ia
menggelar jumpa pers demi menjawab tudingan-tudingan yang mengarah padanya. Jaksa
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuduhnya telah menerima uang periode 10
tahun silam. Ia menyebut dirinya menerima uang dari koleganya
Sutrisno Bachir. Media melakukan framing tentang dirinya yang terkesan hendak ‘lempar batu sembunyi tangan.’ Entahlah.
Ia hendak mengatakan, tidak ada satupun yang salah di situ. Anehnya, tak ada sedikitpun pernyataan dirinya telah
menolak uang itu. Ia menerima dan menghabiskannya, meskipun dana itu diakuinya
dari Sutrisno. Sepintas ia terlihat tegar, namun betapa media menempatkan dirinya di ujung tanduk. Perlawanan terakhirnya adalah menuduh rekannya pengusaha yang dulu amat dibanggakannya. Namun ia tak menampik
bahwa dirinya ikut menerima.
Saya menyaksikan Amien Rais di televisi.
Ia bukan lagi Amien Rais yang dahulu amat menggetarkan. Ia bukan lagi Amien
Rais yang menerjemahkan buku karya Ali Syari’ati berjudul Tugas Cendekiawan
Muslim yang kalimat-kalimatnya sungguh menggugah. Ia bukan lagi Amien Rais yang
dahulu menuduh rezim bertindak korup. Korupsi adalah
tema yang pernah melambungkan namanya, namun seiring waktu bisa jadi akan menikam
dirinya. Dia tenar karena perlawanan pada korupsi, akan tetapi sejarah juga bisa saja
mencatat dirinya terkapar karena korupsi.
Dahulu, saya mengagumi sosok ini. Sepulang
dari mengambil doktor bidang hubungan internasional dari University of Chicago,
ia masuk dalam daftar cendekiawan Muslim pembaharu Indonesia. Dalam daftar
intelektual pembaharu yang dibuat beberapa akademisi, ia disejajarkan dengan
tokoh sekelas Gus Dur, Nurcholish Madjid, dan Dawam Rahardjo.
Ia seorang penulis kolom yang produktif.
Saya selalu berusaha membaca kolomnya di rubrik Resonansi di Harian Republika.
Di masa itu, Amien adalah penulis paling jernih. Di tengah situasi banyak
intelektual yang justru menjadi komprador pemerintah Orde Baru, Amien tetap
membawa nuansa kritis seorang akademisi yang gelisah melihat bangsanya.
Amien adalah pengamat yang pertama menujum
bahwa Orde Baru akan segera tumbang. Di banyak diskusi, ia tampil kritis dan
berani melawan pemerintah. Puncak kekritisannya adalah saat membongkar kasus
dugaan korupsi pemerintah di Busang dan Freeport. Namanya terkerek sebagai
intelektual aktivis yang berani membongkar kebobrokan.
Ia juga berani menyatakan diri siap
menggantikan Soeharto sebagai presiden. Di zaman ini, pernyataan itu adalah hal
biasa. Semua orang bisa saja berbicara terbuka tentang niat menjadi presiden.
Tapi di zaman itu, zaman di mana orang berkumpul saja bisa diamat-amati oleh
intelijen, pernyataan Amien laksana guntur di siang hari di telinga rezim.
Ia menuai popularitas. Di tambah lagi ia
memimpin salah satu ormas terbesar. Popularitasnya
terkerek tinggi. Ceramahnya ditunggu. Setiap aktivis ingin bersama dengannya.
Ceramahnya juga ditunggu semua mahasiswa dan organ-organ pergerakan yang masa
itu sudah tak sabar untuk menetak leher rezim Orde Baru.
Akhirnya, rezim itu tumbang. Ia menjadi
lokomotif penarik gerbong reformasi. Dalam situasi politik yang sedemikian
kritis, ia digadang-gadang menjadi presiden. Kata Yusril Ihza Mahendra,
seharusnya Amien Rais jadi presiden menggantikan Soeharto. Tapi ia gagal menjaga
momentum. Ia terkesan ‘malu-malu tapi mau.’ Ia ingin didorong beramai-ramai,
tanpa ada penolakan. Ia tak ingin mengajukan namanya.
Momentum keragu-raguan ini dibaca oleh Gus
Dur. Saat Amien Rais setengah bercanda menawarinya jadi presiden melalui poros
tengah umat Islam, Gus Dur langsung mengiyakan. Maka melengganglah ia sebagai
Presiden RI ke-4 setelah Habibie. Dalam satu kesempatan, Gus Dur terkekeh saat
menyebut dirinya maju sebagai presiden dengan modal dengkul. “Itupun dengkulnya
Amien Rais,” katanya dengan terbahak-bahak.
Amien menjadi king maker. Ia menjabat sebagai Ketua MPR yang kuasanya tak sebesar
di masa Orde Baru. Saat Gus Dur lengah, ia berada di garis depan untuk
me-lengser-kannya. Gerakan itu berhasil. Gus Dur memang jatuh, tapi setidaknya ia
pernah menjadi presiden dan menjalankan agendanya.
Kisah Amien Rais adalah kisah
kecemerlangan yang tak dijaga momentumnya. Pernah menjadi tokoh nomor satu,
perlahan popularitasnya memudar. Ia masih kerap bicara tentang kasus korupsi
para aparat, tapi publik mulai kehilangan kepercayaan. Saat menjabat, ia sama
saja dengan pejabat lain yang hanya berceloteh, tanpa menunjukkan banyak kerja nyata.
Ia meninggalkan dunia yang membesarkannya
yakni dunia intelektual, dunia penuh gagasan-gagasan. Ia sibuk mendirikan
partai lalu berniat maju sebagai presiden. Tapi itu tadi, momentumnya telah
lewat. Malah partai yang didirikannya tak pernah bisa keluar dari kutukan 7
persen di pemilu legislatif.
***
KINI, Amien Rais masih mengitari panggung politik. Ia bukan lagi pemimpin perubahan, melainkan
pengikut di belakang tokoh yang lebih junior darinya. Kalimatnya tak sejernih
dulu. Kata orang-orang, ada kebencian di kalimat itu.
Beberapa tahun terakhir, ia malah hadir di
panggung politik dengan membawa politik identitas. Ia membawa-bawa kalimat
Tuhan untuk menghakimi banyak hal. Ia dengan mudah menyebut istilah seperti
“perang Badar”, “laknatullah”, hingga berbagai istilah lain demi memojokkan
pihak lain. Ia selalu menyebut dirinya mengatasnamakan barisan besar umat
Islam. Dahulu, ia menurunkan penguasa di Jalan Cendana, menantu penguasa itu di ajang pilpres belum lama ini.
Kalimatnya masih menikam seperti dahulu,
namun ia kehilangan daya gedor. Yang sekritis dirinya banyak di semua partai.
Ia tidak lagi menjadi idola anak muda yang setia menunggu tulisan ataupun
kalimatnya. Ia gagal memosisikan diri sebagai guru bangsa. Ia tidak setenang
Habibie yang hingga kini tetap setia merawat Indonesia dengan cara-cara yang menginspirasi.
Kisah Amien Rais adalah kisah kegagalan
menjaga kecemerlangan. Dahulu, ia adalah akademisi yang produtif dan kritis.
Tulisan-tulisannya menyengat pemerintah. Ia menuding berbagai praktik korupsi
di pemerintahan. Tak sekadar akademisi, ia juga aktivis yang dengan gagah
berani telah menuding pemerintah melakukan korupsi.
Berkat perlawanan terhadap korupsi,
namanya melambung. Dan perlawanan atas korupsi itu pulalah yang kini mulai
menghantui dirinya. Benar kata seorang akademisi, musuh para politisi hanya satu yakni dirinya
sendiri. Jika tergoda oleh wanginya kekuasaan, maka cepat atau lambat akan
segera terbius. Dalam politik yang serba mahal dan padat biaya, politisi
seringkali mudah bersekutu dengan siapapun. Politik itu mahal Bung!
Amien seperti sosok Oedipus dalam dongeng
Yunani, sosok raja yang di masa kecilnya ditakdirkan para dewa kelak akan
membunuh ayahnya dan menikahi ibunya. Oedipus menolak keinginan dewa. Dia lalu
bertualang ke satu kota dan menjadi raja. Saat terjadi kasus pembunuhan dan
pemerkosaan, dia memerintahkan penyelidikan atas kasus itu, yang ternyata
berujung pada dirinya. Tanpa disadari, dirinyalah yang ternyata menjadi
pelakunya. Oedipus lalu menusuk matanya sebagai hukuman.
Beranikah Amien Rais menjadi Oedipus yang
akhirnya mengakui sesuatu yang dahulu begitu dibenci dan dilawannya? Bisakah ia
menjadi Amien Rais yang mendukung pedang tajam pemberantasan korupsi meskipun pedang
itu akan memenggal dirinya?
Entah. Saya tak begitu yakin.
Bogor, 2 Juni 2017