Dua Piring di Atas Kuburan (Ekspedisi Buton Utara 5)
BENTUK kuburan di Kulisusu (Buton Utara) tidak jauh berbeda dengan di tempat lain. Namun ada hal unik yang kutemukan saat mengamati banyak kuburan di
Dupa yang diletakkan di situ bahannya adalah sabut kelapa yang kemudian dibakar hingga mengeluarkan asap tebal. Di tengah asap tebal tersebut, maka keluarga akan berdoa. Biasanya, doa yang dipanjatkan adalah zikir menyebut nama Laa Ilaaha Ilallah atau membaca surah Yasiin. Semuanya doa diambil dari khasanah Islam, namun tradisi memanjatkan doa tersebut bukanlah tradisi Islam. Artinya, ada semacam sintesis atau eklektisme di dunia ke-Islam-an Buton Utara.
Warga setempat masih yakin kalau dupa adalah elemen penting yang mempengaruhi apakah doa tersebut akan didengar oleh Allah ataukah tidak. Tradisi ini agak aneh bagiku. Islam tidak punya syariat yang merekomendasikan keberadaan dupa dengan asap mengepul sebagai prasyarat berdoa.
Namun, di Kulisusu, tradisi itu benar-benar dipegang teguh sehingga semua kuburan pasti punya dua buah piring di atasnya. Saya menduga, ini adalah pengaruh dari tradisi animisme lokal yang sebelumnya sudah lebih dulu ada dibandingkan Islam. Ternyata, kehadiran Islam di Kulisusu, tidak lantas menenggelamkan semua tradisi lokal. Islam mengalami sintesis (percampuran) dengan tradisi lokal sehingga dua-duanya hidup bersamaan.
Ikhwal tentang bagaimana proses membakar dupa di piring ini, akan saya ceritakan pada kesempatan yang lain.(*)