Kemiskinan yang Terwariskan (Ekspedisi Pasarwajo-Wabula 2)

HAL miris yang kusaksikan sepanjang perjalanan ke Pasarwajo adalah menyaksikan kemiskinan masyarakat. Saya tidak sedang berbicara tentang kemiskinan versi Bank Dunia yang parameternya banyak didebat di mana-mana. Namun, saya sedang berbicara tentang kemiskinan warga yang terlihat dari bangunan rumah yang reot, kumuh, serta tingkat pendidikan yang tidak memadai.

Betapa kasihannya rakyat kebanyakan sebab hidup dalam kondisi yang serba sulit. Mengamati banyak kampung yang saya lewati, saya menarik kesimpulan bahwa kemiskinan lebih sering ditemukan pada kampung yang tertak di tengah hutan (kita sebut saja kampung hutan), di mana warganya menggantungkan hidup sebagai peladang. Sementara kampung yang ada di pinggir laut (kita sebut saja kampung laut), justru lebih sejahtera. Indikatornya jelas, dengan mengamati bagaimana bentuk rumah, serta suasana kampung di hutan dan kampung nelayan. Perbedaannya sangat jelas bagiku.

Saya sempat singgah dan ngobrol dengan warga di dua kampung tersebut. Warga di kampung hutan mengaku pendapatan sebagai peladang tidak menentu. Kondisi tanah yang tandus, kemudian kurangnya curah hujan, menjadi faktor yang menyebabkan kondisi ladang. Apalagi, tanaman mereka bukanlah tanaman yang menghasilkan laba besar. Mereka hanya menanam jambu mente, jagung, ubi kayu, serta ketela. Pola perladangan mereka hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, seperti jagung dan ibu kayu. Tanaman itu kalau dijual harganya murah. Jika tidak laku, warga menyimpannya di lumbung yang diletakkan di langit-langit rumah. Di sisi lain, pemerintah tidak memperkenalkan mereka dengan tanaman dengan orientasi ekspor seperti coklat atau cengkeh. Atau tanaman seperti jati dan kayu hitam. Padahal, tanah di Buton sangat cocok untuki tanaman tersebut.

Namun, ada yang unik dengan kampung-kampung miskin itu. Saat singgah di satu kampung, saya sempat bertanya pada warga apakah dia mengalami krisis pangan. Warga yang termasuk golongan miskin itu mengaku tidak pernah krisis pangan. Menurutnya, warga miskin di situ tidak banyak tergantung pada beras. “Kami di sini, punya banyak makanan pengganti seperti kasoami, ubi kayu, ubi jalar, kambose, kapusu, serta makanan lainnya.” Kasoami adalah makanan yang sangat populer dan diolah dari hasil kukusan perasan ubi kayu. Makanan ini adalah ciri khas dari orang-orang Buton. Sedang kambose dan kapusu adalah makanan yang diolah dari jagung. Masyarakat setempat telah lama menemukan teknologi atau cara untuk menyimpan jagung hingga bertahan selama puluhan tahun, yaitu disimpan di langit-langit rumah dan setiap saat terkena asap dari dapur.

Beragam makanan pengganti ini adalah khasanah lokal yang membuat warga miskin di Buton memiliki daya tahan hebat ketika digempur krisis pangan dunia. Barangkali wacana kurang pangan sehingga warga kelaparan, makan nasi aking, atau terkena busung lapar, adalah wacana yang hanya dimungkinkan pada satu tempat yang punya ketergantungan pada beras atau nasi. Kemampuan untuk melakukan diferensiasi pangan inilah yang menjelaskan mengapa jarang sekali terdengar kasus gizi buruk di Buton. Masyarakat punya daya tahan dalam beradaptasi dengan situasi ketika beras tidak ada. Itulah kearifan lokal.

Dalam hal pangan, saya rasa tidak masalah. Bagaimana dengan kesejahteraan? Saya kira masyarakat di situ hanya bisa pasrah. Saya teringat Clifford Geertz. Dia pernah melakukan riset di satu desa pertanian di Jawa dan melihat gejala kemiskinan yang diwariskan secara turun-temurun. Akibatnya, muncul pola yang selalu melingkar dan mengalami pengulangan secara terus-menerus. Dalam konteks berbeda, kemiskinan di kampung-kampung itu juga mengalami involusi atau gerak melingkar tersebut. Kasihan mereka!!!(*)


Yusran Darmawan
Yusran Darmawan just learn and practice