Bukankah Engkau Juga Tuhannya Sapi dan Kambing?
IDUL Adha kembali menjemput. Hampir semua sudut-sudut Jakarta dipenuhi kambing dan sapi yang dijual untuk menjadi hewan kurban. Kita menyebut mereka sebagai kurban atau persembahan atas sebuah kejadian sekian abad silam ketika Ibrahim hendak menyembelih Ismail. Sekian abad silam, Tuhan menguji keimanan Ibrahim dan Ismail yang lolos ujian. Tuhan lalu memerintahkan agar sesembelihan itu diganti dengan hewan.
Selama berabad-abad manusia merayakan peristiwa itu. Dan sudah jutaan hewan yang dipenggal untuk menguji keimanan manusia. “Idul Adha adalah pembantaian bagi semua hewan,” kata seorang kawan di kampus UI di Depok, beberapa tahun silam. Idul Adha adalah perayaan atas kemenangan pada masa ratusan tahun silam, namun menjadi aneh karena dirayakan pada masa modern, pada masa ketika kita kehilangan darah, daging, serta napas dari kejadian tersebut. Puluhan abad silam, Ibrahim hanya menyembelih seekor kambing. Dan di zaman ini, kita telah menyembelih jutaan kambing dan sapi, kemudian merayakan kematian mereka.
Melihat begitu banyak hewan di pinggiran Jakarta, saya tiba-tiba saja sedih. Kita para manusia sedemikian barbar dengan menjadikan daging mereka sebagai santapan. Hari ini, saat melintas di satu sudut yang banyak kambing, saya mendengar teriakan kambing yang lirih. Saya merasa teriakan itu seperti tangisan yang merobek-robek nurani saya. Saya sepakat bahwa Idul Adha adalah momen perenungan atau kontemplasi tentang seberapa besar keimanan, namun haruskah mengurbankan hewan untuk dipenggal lalu membagikan dagingnya kepada sesama? Bisakah makna perayaan itu tetap hidup dalam hati kita tanpa harus membunuh banyak hewan?
saat-saat yang menegangkan bagi hewan |
Kita menyebutnya sebagai pengurbanan. Kita menyebutnya kegembiraan karena lepas dari ujian. Kita menyembelih hewan dan merayakannya sebagai hari kesetiakawanan sosial. Kita menebalkan rasa solidaritas pada sesama, justru di saat kita tak punya perasaan pada sesama mahluk hidup. Kita berbahagia di atas penderitaan semua hewan yang menanti saat-saat untuk dieksekusi, saat-saat ketika pisau tajam itu membelah leher dan memuncratkan darah.
Andai Tuhan menjelmakan diri kita sebagai mereka, bagaimanakah perasaan kita saat menanti saat-saat seperti ini? Apakah para hewan itu punya pilihan?
Tuhan yang berdiam di sana, bukan sekadar Tuhannya manusia saja, namun Tuhannya seluruh alam semesta, Tuhannya seluruh benda langit, Tuhannya seluruh binatang termasuk kambing dan sapi. Jika pesan ini sampai, berilah jalan terang untuk para sapi dan kambing yang mengurbankan dirinya sebagai martir demi mengasah solidaritas manusia. Tuhan yang berdiam di sana. Berilah jalan yang jauh lebih terang bagi semua binatang itu di alam sana. Jalan yang jauh lebih terang dari manusia yang menjadikan mereka sebagai martir tak berdaya demi sebuah perenungan. Jalan yang jauh lebih benderang di banding manusia yang merayakan perintah-Mu dan memenggal hak hidup mereka. Bukankah Engkau juga Tuhannya para sapi dan kambing?
menyeret sapi dengan tali |