Saat Mengemis Bersama Bayi Mungil

seorang pengemis bersama bayinya

DI jembatan penyeberangan dekat Sarinah, saya menyaksikan sebuah pemandangan yang kontras. Di tepi perbelanjaan yang memajang barang-barang mahal itu, saya menyaksikan seorang ibu bersama bayinya yang sama tertidur di atas kardus yang didekatnya ada gelas plastik berisikan beberapa uang receh. Saya tak sempat menanyainya. Tapi saya tahu bahwa ibu itu sedang mengemis bersama bayinya, menadahkan tangan selama seharian hingga tertidur di jembatan itu dan ikhlas menjadikan dirinya tontonan banyak orang.

Entah berapa receh yang didapatnya dalam sehari. Tapi saya amat yakin kalau sebulan pendapatannya di jembatan itu tidak akan sama dengan harga barang-barang mahal yang dilajang di mal itu. Saya sedang menyaksikan sebuah paradoks. Di negeri ini ada banyak orang yang bermewah-mewah di apartemen dengan kekayaan yang bertimbun-timbun, sementara pada bagian lain ada sosok seorang ibu bersama bayinya sedang menadahkan tangan demi sekeping uang receh.


Pada saat seperti ini, di manakah posisi negara yang berjanji akan memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat? Di manakah posisi politisi yang setiap saat menjual nama rakyat demi jabatan dan kuasa yang disimbolkan mobil-mobil mewah di jalan raya. Di negeri ini, mereka yang miskin adalah obyek dari berbagai kebijakan politik yang berganti-ganti dari rezim satu ke rezim yang lain. Mereka yang miskin adalah obyek yang dibahas di hotel-hotel mewah, di gedung-gedung tinggi berharga triliun, di istana-istana mewah di mana para presiden duduk bagai para kaisar masa silam. Sementara mereka yang miskin mesti bertarung demi hidup, berjuang demi menghidupi sesosok bayi mungil yang tak berdaya dan tak paham kalau ibunya tengah mengharap belas kasihan dari mereka yang lewat hingga sang ibu lelah dan tertidur.(*)



Jakarta, 22 Juni 2011

Yusran Darmawan
Yusran Darmawan just learn and practice