Rindu Ayah Untukmu Nak!
Anakku sayang…
Di sini, pada jarak ribuan kilometer, diriku hanya bisa memandang potretmu. Setiap melihat wajahmu, terasa ada sesuatu yang menggenang di pelupuk mata ini. Kau mulai bertumbuh. Bukan lagi bayi merah, sebagaimana yang pernah kusaksikan di Rumah Sakit Pertiwi, tanggal 2 Agustus silam. Kau sudah bisa tersenyum dan tertawa. Nak, apakah gerangan yang sedang kau tertawakan? Apakah diriku yang terjebak dengan rutinitas di sini?
Anakku sayang…
Sungguh, aku takut jika dirimu sedang mentertawakanku. Aku takut dirimu akan menuntut kasih sayang dan perhatian. Aku takut dirimu mempertanyakan, mengapa dirimu tak pernah dibelai seorang ayah yang menciumi ubun-ubunmu ketika hendak lelap? Aku takut dirimu bertanya mengapa seorang ayah harus pergi berkelana jauh ke negeri sana, sementara dirimu amat membutuhkan sentuhannya?
Di sini, pada jarak yang terbentang sekian ribu kilometer, aku tak henti-hentinya merajut rinduku untukmu. Kelak rinduku akan menjadi kain yang mengapung di samudera raya, menjadi jembatan yang mempertemukanku denganmu. Semoga waktunya tak lama lagi.(*)
Athens, Ohio, 19 Oktober 2011