Suka Duka Belajar Filsafat di Ohio
Mc Cracken, tempat belajar filsafat dan pendidikan di Ohio University |
SERING saya beranggapan bahwa kuliah filsafat adalah kuliah paling memusingkan. Betapa tidak, melalui filsafat, pikiran kita berkelana ke mana-mana, menelusuri pencapaian manusia di jagad pemikiran, memutari lorong-lorong gelap perenungan manusia, hingga menggapai angkasa terjauh.
Anggapan tentang filsafat yang memusingkan itu, saya pelihara selama beberapa tahun. Tapi di sini, di kampus Ohio, saya akhirnya merevisi anggapan itu. Ternyata belajar filsafat bisa jadi sangat menyenangkan sebagaimana anak kecil yang tiba-tiba menemukan mainan baru. Filsafat bisa jadi sesuatu yang mengasyikkan. Kesimpulan ini saya dapatkan setelah mengambil kelas filsafat yang diasuh Professor Jaylyne Hutchinson.
Jaylyn (demikian ia disapa) adalah Ketua Program Cultural Studies di Ohio. Saya sengaja mengambil kuliah filsafat demi menguatkan basic teoritik di ranah teori kebudayaan. Mengingat latar belakangnya yang merupakan doktor bidang filsafat, saya memberanikan diri untuk berguru kepadanya. Selain itu, saya ingin menemukan tantangan dengan mengambil kelas yang mayoritas dihuni oleh warga Amerika. Saya ingin tahu bagaimana interaksi di kelas bersama mereka.
Mulanya saya tak menyangka dirinya seorang professor. Penampilannya santai. Ia tak pernah berpakaian rapi. Wanita yang berusia sekitar 50-an tahun ini, selalu memakai celana jeans dan sandal jepit. Rambutnya yang pirang dibiarkan tergerai. Telinganya dipenuhi aksesoris yakni cincin hingga memenuhi daun telinganya, sebagaimana layaknya penampilan seorang punk. Malah, di lengannya, saya melihat banyak gelang berbagai jenis, sebagaimana yang sering saya lihat pada film-film tentang Indian.
menjelaskan filsafat lewat drama |
dialog-dialog filsafat melalui drama |
Dari sisi penampilan, ia amat jauh dari penampilan seorang professor sebagaimana sering dilihat di Indonesia, yakni memakai pakaian rapi, dengan rambut sedikit atau kaca mata tebal, demi mengesankan diri sebagai seseorang yang menenggelamkan diri pada bacaan serius. Penampilan Jaylyne seperti penampilan seorang mahasiswa yang serba santai dan tak pernah memikirkan akademik. Dalam setiap perkuliahan, ia selalu memperkenalkan tentang kebebasan. Ia tak peduli, apakah kita sedang memperhatikan kuliahnya atau tidak. Sepanjang kita tidak menganggu yang lain, maka peserta mata kuliahnya bebas berekspresi.
Kadang, peserta mata kuliah itu duduk sambil mengangkat kaki ke kursi. Atau tiba-tiba saja ada peserta mata kuliah yang ingin duduk di lantai, atau berbaring di karpet bersih di ruang kelas. Ia membebaskan semuanya. Ia juga memosisikan dirinya sebagai seorang teman.
Di kelas itu, tak ada tekanan. Anda bebas untuk berbicara apapun.
peserta bebas hendak duduk di kursi, ataukah mau duduk di lantai |
Awal kuliah, biasanya ia melontarkan pertanyaan yang gampang-gampang. Pernah ia bertanya, jika diberi kesempatan menjadi satu benda atau mahluk di alam, maka kita memilih menjadi apa? Pada kesempatan lain, ia akan bertanya apa permainan yang paling menyenangkan semasa kecil. Kelihatannya simple. Namun ia sangat mendengar apapun yang kita katakan. Jawaban kita akan menunjukkan sejauh mana kita memandang diri kita, dunia sekitar, serta refleksi tentang masa depan. Ia juga membebaskan peserta mata kuliah yang menolak untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Peserta mata kuliah juga dituntut untuk memberikan presentasi kelompok. Ia membebaskan semua orang untuk memilih metode yang disukainya. Makanya, ada kelompok yang presentasi dalam bentuk drama, ada yang kemudian bermain music, malah ada yang presentasi dengan cara membaca sajak atau dengan gerakan tubuh (body language). Ia sangat fleksibel dan menghargai kreativitas.
Membumikan Filsafat
Ketika suasana diliputi kebebasan, mulai ia mengurai beberapa hal dalam filsafat. Saya dan teman-teman belajar tentang semua mazhab dalam filsafat, mulai dari idealisme, realisme, materialism, post-modernisme, hingga pragmatisme.
Ia juga menjelaskan berbagai isu yang hangat di Amerika, misalnya posisi kaum kulit hitam, nasib bangsa Indian yang masih terjajah, hingga kelompok-kelompok marginal yang tinggal di seputaran Ohio.
Jaylyn (duduk di belakang) mengamati drama |
Nampaknya, ia berusaha untuk menarik filsafat agar tidak melulu berkutat pada hal-hal yang melangit, namun menariknya turun ke bumi untuk berdialog dengan hal-hal real yang dihadapi masyarakat. Ketika ia sedang membahas filsafat, ia bisa menjadi magnet yang kemudian menyedot semua perhatian. Kata-katanya serupa seseorang yang telah berkelana selama ratusan tahun, mengunjungi banyak tempat, serta memahami seberapa jauh perjalanan manusia di rimba filosofis.
Kalimatnya sederhana, namun penuh makna. Sering, di kelas itu, saya menjadi seorang pendiam. Tapi, kadang saya tiba-tiba banyak bicara demi mengetahui apakah ide saya didebatnya ataukah tidak. Ia sangat merespon ide-ide tersebut, yang disebutnya sering tidak dikuasai oleh mahasiswa Amerika. Saya juga baru tahu kalau mahasiswa di Amerika tidak banyak yang menguasai filsafat. Makanya, fundasi epistemologis mereka juga lemah. Saya pernah menguraikan pahaman saya tentang Marxisme. Kata Jaylyne, gagasan-gagasan seperti ini tidak banyak diketahui mahasiswa Amerika karena proses sejarah serta pengaruh politik. Makanya, ia merespon dengan sangat baik semua penjelasan saya.
Tapi, saya jauh lebih suka caranya yang sederhana ketika mengurai perkara-perkara rumit dalam filsafat. Saya belajar banyak di situ. Ketika menjelaskan idealisme, ia memulai dengan menulis kata “truth” dnegan “t” kecil, serta “Truth” dengan “T” besar. Lalu menjelaskan bahwa kaum idealis meyakini ada yang disebut “T” besar dalam hal kebenaran yakni sesuatu yang disebut absolut atau mutlak.
Sayang sekali, sistem quarter yang diterapkan di Ohio, membuat kelas ini cepat tuntas. Padahal, saya masih ingin belajar banyak darinya. Ujian akhir yang diberikannya juga unik. Kami disuruh membaca buku karya Bell Hook, kemudian membuat puisi atau syair berdasarkan bacaan itu, lalu membacanya di hadapan semua warga kelas. Saya hanya membutuhkan sekitar setengah jam untuk menulis puisi, lalu membacakannya.
Kini, setelah kelas itu berakhir, saya tiba-tiba rindu untuk kembali ke kelas yang diasuh Jaylyne. Mudah-mudahan pada kesempatan lain saya bisa kembali berguru kepada professor yang cerdas, mencintai ilmu pengetahuan, amat humble dalam mengajar, serta memahami semua kebutuhan peserta didiknya. Semoga bisa bersua kembali di kelasnya.(*)
Athens, Ohio, 8 April 2012