Penari Perut Berbahasa Arab
dansa di acara Arabian Night |
DAHULU,
saya menganggap bahasa Arab adalah bahasa yang sakral, bahasa suci, bahasa
keramat yang dahulu digunakan oleh Rasulullah dan sahabat-sahabatnya. Ketika
melihat tulisan Arab, saya menganggapnya sebagai tulisan yang berasal dari
langit. Sebab kitab Al Quran pun ditulis
dalam bahasa itu.
Anggapan
itu saya pelihara selama bertahun-tahun. Setahun silam, saya singgah ke Ancol,
Jakarta. Saya menyaksikan sejumlah penari perut yang seksi asal Libanon. Mereka
menari dengan iringan lagu berbahasa Arab. Beberapa pria Libanon yang saya
saksikan menenggak wiski sambil berbicara dalam bahasa Arab. What? Apakah
bahasa ini memang suci? Ataukah hanya sebagai bahasa biasa, yang secara
kebetulan dipilih Tuhan sebagai medium pengantar wahyu?
Malam
ini, saya menghadiri acara Arabian Night di Athens, Ohio, Amerika Serikat (AS).
Para mahasiswa asal Arab itu menghadirkan musik-musik dengan irama padang
pasir. Banyak yang mengenakan jubah dengan songkok haji lalu menari dengan
gerakan serabutan. Mereka menari bersama perempuan sambil berpegangan tangan.
Suasananya serupa sebuah bar. Para penyanyinya menyanyi dengan menggunakan
bahasa Arab, bahasa yang pernah digunakan Rasulullah.
Apakah
Islam memang selalu identik dengan timur tengah? Apakah orang-orang ini berasal
dari satu peradaban yang pernah melahirkan manusia cemerlang bernama Muhammad?
Ataukah mereka adalah potret dari sebagian orang di Arab sana yang pada masa
Rasul akan ditimpakan bencana?
Saya
memelihara ribuan pertanyaan. Di kampung saya, bahasa Arab yang fasih adalah simbol
kesalehan. Pakaian jubah putih panjang adalah pakaian buat mereka yang memakmurkan
masjid. Atau minimal pakaian buat mereka yang pulang dari ibadah haji.
Namun
di ruangan itu, bahasa dan pakaian, yang dahulu saya sakralkan, hanya menjadi
aksesoris biasa, yang kemudian dikenakan untuk menari-nari sambil tertawa di
suasana serupa bar. Bahasa Arab yang dahulu amat kusegani, ternyata dipakai
dalam percakapan sehari-hari oleh para penari perut. Ini fenomena apakah?
Mungkin
kita seringkali mensakralkan sesuatu secara berlebihan. Barangkali esensi
sesuatu bukan terletak pada sebarapa fasih bahasa, atau seberapa panjang
pakaian. Pada akhirnya, apa yang disebut sakral atau suci akan berpulang pada
individu. Manusia yang memberi makna. Manusia pula yang kemudian memelihara
makna.
![]() |
rombongan penari perut |
Teman-teman
dari Arab itu telah mengajarkanku untuk tidak mudah mempercayai telinga serta mata.
Bahasa dan pakaian hanyalah penanda budaya yang tak merefleksikan apa-apa. Di
dalam diri setiap orang, terdapat sukma serta jiwa yang senantiasa mencari
ruang untuk mengekspresikan diri. Benar kata Rasul, bahwa dalam diri semua
orang terdapat sebongkah daging yang jika baik, maka baiklah semua perilaku
seseorang. Jika jahat, maka jahatlah prilaku orang itu.
Pesan
ini mengandung makna yang amat dalam. Jika saja kita melihat sesuatu dengan
cara pandang positif, maka bahasa apapaun yang kita gunakan, pakaian apapun
yang kita kenakan, akan membawa kebaikan buat semua. Jika tidak, maka negatiflah
semua perilaku manusia tersebut.
Bagi
saya, intisari dari sebuah ajaran selalu termanifestasi pada cara hidup yang
memancarkan hikmah bagi semesta, ketika keberadaan kita memberikan makna bagi
sesama, tanpa membeda-bedakan sesama tersebut. Esensi sebuah keyakinan adalah ketika
bisa menjadi cahaya, yang memisah batas terang dan gelap, bisa menjadi energi
yang mengisi sukma seluruh tindakan kita.
Setelah
melihat tarian di acara itu, saya lalu memutuskan untuk pulang. Tiba-tiba saja,
seorang kawan asal Saudi Arabia menemuiku lalu berbisik. Katanya, “Malam ini kami
akan kumpul di bar. Mau ikut?”
Athens, 6 Desember 2012