Tak Ada Skripsi di Amerika

kampus Ohio University

BEBERAPA orang teman di Athens, Ohio, akan segera menjalani ujian akhir. Tak ada ketakutan di raut wajah mereka. Saya melihat wajah mereka yang biasa-biasa saja, seolah ujian akhir adalah perkara yang biasa saja dalam kehidupan. Mengapa demikian?

Di Tanah Air, ujian akhir atau ujian meja menjadi ajang ‘pembantaian.’ Di banyak kampus di negeri kita, ujian meja menjadi ajang bagi para pengajar untuk menunjukkan superioritas akademiknya. Tujuan ujian adalah mencari sebanyak mungkin kesalahan si anak didik, apakah itu kesalahan menulis, kesalahan menganalisis, atau kesalahan-kesalahan kecil, misalnya tidak menulis nama-nama penguji di ucapan terimakasih.

Pendidikan kita dibangun di atas satu landasan yang memosisikan para penguji sebagai dewa-dewa penentu segala hasil kerja seorang mahasiswa. Pendidikan kita dibangun di atas pilar-pilar pencarian kesalahan seorang siswa didik. Mengapa harus mencari kesalahan? Mengapa ujian tak harus menjadi arena untuk menemukan inspirasi-inspirasi dari pengalaman seorang mahasiswa yang sedang belajar menemukan dirinya di tengah peta kehidupan yang demikian sulit?

ini ujian skripsi ataukah pengadilan?

Di beberapa kampus di tanah air, ujian menjelma sebagai pengadilan atas mahasiswa. Ujian akhir menjadi ujian apakah mahasiswa layak melangkahkan kaki di semesta kehidupan. Pernah, seorang teman di tingkat magister tiba-tiba saja meninggal, beberapa hari usai ‘dibantai’ oleh para penguji tesisnya. Entah apakah ia meninggal karena ujian itu atau tidak. Yang pasti, sepulang dari ujian, ia seakan linglung dan kehilangan api semangat.

Mengapa harus ada ujian skripsi atau tesis? Mengapa harus ada pengadilan? Apakah pendidikan memang identik dengan ujian?


Saat berkesempatan ke Amerika, saya agak terkejut saat mengetahui bahwa di tingkat sarjana dan magister di AS, ujian bukanlah hal yang wajib. Mahasiswa di tingkat sarjana dan magister bisa memilih untuk tidak ujian. Di sini, ada tiga pilihan; (1) ujian skripsi atau tesis, (2) professional project, bisa dalam bentuk film documenter, tulisan jurnal, atau presentasi ilmiah, bisa pula berbentuk karya lainnya, (3) ujian komprehensif, biasanya dalam bentuk tulisan. Dosen akan memberikan soal, yang kemudian dijawab di satu ruangan tertentu.

Di tingkat sarjana, saya belum pernah mendengar ada mahasiswa yang memilih skripsi. Setelah mencapai kredit kuliah tertentu, maka mahasiswa itu bisa mendaftar wisuda. Sangat mudah. Demikian pula di tingkat magister. Dari sejumlah 12 orang di angkatan saya, hanya dua orang yang memilih tesis. Yang lain akan memilih project atau ujian komprehensif.

Pertanyaannya, mengapa di Indonesia, semua mahasiswa wajib menulis skripsi? Bukankah mereka sedang dalam taraf belajar untuk mengenali paradigm riset serta mengimplementasikannya di lapangan? Saya tak ingin menghakimi. Tapi banyak di antara skripsi itu yang cuma kopi-paste atau mengandalkan jasa orang lain. Atau malah dibuat asal-asalan, tanpa menghasilkan rekomendasi yang bagus di dunia akademik.

Dengan model ujian ala pengadilan, yang tidak didukung dengan proses yang benar, kita tak bisa berharap banyak. Kita hanya bisa mengurut dada melihat sengkarut pendidikan kita yang entah harus diurai dari mana. Bisakah kampus-kampus kita melahirkan para pemimpin hebat? 

Kembali ke teman-teman saya yang santai-santai saja saat ujian tesis. Mengapa demikian santai? Sebab, ternyata ujian bukan menjadi ajang pembantaian. Ujian menjadi momen di mana para pengajar akan memberikan motivasi untuk berbuat terbaik. Jika ada keliru, mereka akan membetulkan dengan bahasa yang bijak. 

Mereka paham bahwa perjalanan menuju pengetahuan tidak mudah, dan seorang mahasiswa telah belajar untuk meniti di jalan itu. Mereka paham bahwa proses menuju pengetahuan itu jauh lebih penting, ketimbang pengetahuan itu sendiri. Para pengajar menjadi sosok-sosok yang menginspirasi dan mengulurkan tangan ketika mahasiswa sedang kesulitan. Mereka menjadi mata air di tengah kegelisahan mahasiswa untuk menemukan jalan terang di belantara pengetahuan. 

Entah jika ada kisah yang tak menyenangkan di ujian akhir. Tapi setidaknya, itulah yang saya saksikan di Athens, kota kecil yang saat tulisan ini dibuat, tengah dihujani salju yang turun bak kapas.(*)


Athens, 23 Januari 2013