Datang Berjilbab, Pulang Ber-Seksi





KETIGA perempuan itu datang dengan mengenakan jilbab. Saya melihat mereka datang ke kawasan kota tua, lalu memasuki sebuah toko kecil di sudut jalan sana. Tak lama kemudian, tiga orang gadis seksi dengan dandanan ala gadis metropolis keluar dari situ. Tadinya saya tak mengenali. Namun setelah diperhatikan dengan seksama, ketiganya adalah tiga perempuan yang tadinya berjilbab.

Saya lalu mendekat. Tiba-tiba saja, salah satu dari mereka menyodorkan sebuah kamera dan meminta saya untuk memotretnya. Saya pun mengeluarkan kamera demi memotret mereka. Ada banyak pose menarik. Salah satunya adalah ketika seorang di antara mereka menatap kamera dengan lidah menyamping. Ia nampak genit. (Maafkan karena foto-foto genit tak akan terpajang di blog ini)

Mereka juga centil dan ceria. Katanya, mereka sama-sama belajar di sebuah madrasah di dekat Depok. Mereka lalu sama-sama janjian ke kawasan kota tua. Demi mempercantik penampilan, mereka menyiapkan baju-baju seksi. Pantesan, ketika datang mereka berjilbab, namun sekian menit berikutnya, mereka telah berganti dengan baju seksi. Apakah mereka tetap cantik? Entah.

Tiga perempuan itu menunjukkan sisi lain dari para remaja putri di tengah kota yang terus bergeliat. Saya teringat riset yang saya lakukan beberapa tahun silam, tentang seorang remaja yang nampak lugu di rumah dan sekolah, namun mendadak berubah 180 derajat ketika berada di mal. Ada sebuah konstruksi tentang panggung depan serta panggung belakang yang berubah-ubah, di mana para remaja adalah agen yang mereproduksi gaya hidup secara berbeda.

Saya sedang melihat dunia yang berubah. Dahulu, informasi dan pesan masuk lewat seleksi yang ketat, melalui banyak channel serta pilihan. Dahulu, seorang anak hanya terbatas menerima informasi dari orangtua, keluarga, paman, bibi, atau para tetangga. Sekarang, sang remaja akan menerima informasi langsung dari handphone yang dibawanya ke mana-mana. Bahkan pada saat menjelang tidur sekalipun, sebuah pesan bernada sayang akan menyapanya dengan manja.

Informasi mengalir bagai air bah dan tak bisa dibendung, dan seorang remaja menjadi seperti tanah liat yang mudah dibengkokkan ke mana saja oleh informasi tersebut.

Ketika sedang membayangkan tentang dinamika informasi, salah seorang remaja yang tadi saya potret itu datang menemui saya lalu bersuara lirih. “Apakah abang bisa memotret saya lagi? Kali ini saya ingin dipotret di hotel. Just two of us. Mau gak?”


Jakarta, 18 Mei 2013