Ingatanku tentang Van der Wijk


poster film

SETIAP kali mendengar judul buku Tenggelamnya Kapal Van der Wijk, aku langsung terkenang pada seorang guru bernama La Mane Masrul. Sekitar belasan tahun lalu, Bapak La Mane mengajar bahasa Indonesia di kelasku. Ketika membahas tentang novel-novel, metodenya sangat unik. Ia akan meringkas kisah novel itu di kelas, lalu menunggu respon dari semua mahasiswa.

Aku tak paham, apakah metode ini dipakai di semua sekolah. Yang pasti, dari semua guru yang pernah mengajariku sastra Indonesia, guru yang satu ini unik. Seingatku, ia pernah mengisahkan beberapa novel. Namun dari semua yang dikisahkannya aku hanya mengingat novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijk karya Hamka.

Aku masih ingat. Sebanyak 40 siswa mematung ketika mendengar kisah cinta antara Zainuddin dan Hayati. Guru bercerita dengan retorika yang cukup menyentuh. Aku tak akan pernah lupa kata-kata guru ketika menyebutkan kalimat Zainuddin yang penuh dendam, “Pantang pisang berjantung dua, pantang lelaki diberi sisa.”

Entah kenapa, dahulu aku tak pernah menemukan novel itu di kampungku. Padahal aku membaca banyak novel sejamannya seperti Siti Nurbaya, Sengsara Membawa Nikmat, Merantau ke Deli, Atheis, Jalan Lain ke Roma, ataupun Ave Maria. Selama belasan tahun aku tak sempat mencocokkan, apakah benar Zainuddin mengucapkan kata, seperti yang pernah dikatakan guruku itu.


Bulan lalu, aku menyaksikan film yang merupakan adaptasi atas novel itu. Menjelang film berakhir, ternyata Zainuddin memang mengucapkan kata itu. Hayati berurai air mata, kemudian berangkat meninggalkan Surabaya dengan kapal Van der Wijk. Sebagaimana kisah dalam novel, kapal itu kemudian karam sebagaimana hati Zainuddin yang dirundung penyesalan karena telah mengucapkan kalimat pengiris hati Hayati.

Kalimat guruku itu agak keliru. Belasan tahun lalu, ia mengutip Zainuddin yang berkata, “Pantang pisang berjantung dua, pantang lelaki diberi sisa.” Dalalam versi film, kalimat yang benar adalah “Pantang pisang berbuah dua kali, pantang pemuda makan sisa!” Tak puas dengan filmnya, aku lalu mencari bukunya, dan menemukan kalimat Zainuddin itu di halaman 234.

Pelajaran berharga yang kupetik dari kisah ini adalah seringkali sastra jadi amat menarik dan melekat di hai siswa apabila dikisahkan dnegan cara yang menarik. Siapa sangka, belasan tahun lalu guruku mengisahkan novel, yang kemudian terpatri dalam ingatan, tak lekang oleh waktu, dan selalu muncul di kepalaku tatkala mendengar judul novel tersebut. Guruku di sekolah menengah telah sukses membangkitkan hasrat ingin tahu tetang sastra, serta mengajarkan sastra dengan cara unik yang membekas di hati siswanya.

Jika suatu saat bertemu guruku itu, aku akan mengucapkan banyak terimakasih.