Saling Pukul di Hari Kemerdekaan
DUA orang itu sama-sama duduk di atas
bambu yang diletakkan di atas kolam. Keduanya dalam posisi berhadapan. Di
tangan mereka ada guling[1]
yang dibungkus plastik. Ketika peluit dibunyikan, keduanya lalu saling pukul di
tengah riuh dan sorak-sorai penonton. Saat seorang di antaranya terjatuh ke
air, keriuhan itu semakin membahana.
Di Taman Topi, Bogor, aku ikut bersorak
saat menyaksikan adegan itu. Keduanya adalah pengunjung taman bermain itu.
Keduanya sama-sama bergembira dan sengaja berpartisipasi pada peringatan hari
kemerdekaan Indonesia yang ke-69. Pada hari itu, ada banyak permainan yang
tujuannya adalah kemeriahan. Barangkali niatnya adalah agar semua orang ikut
bergembira dan merasakan indahnya hari kemerdekaan.
Aku melihatnya sebagai ekspresi kultural
warga biasa. Mereka ingin merayakan kemerdekaan dengan cara masing-masing.
Mereka tak beda dengan mereka yang berupacara di istana, atau mereka yang
upacara di Bukit Hambalang, dalam hal mengenang dan memeriahkan acara itu.
Mereka yang saling pukul dengan guling itu adalah patriot di tengah-tengah
kita, yang barangkali memaknai upaya kemerdekaan sebagai kegembiraan sekaligus
keceriaan, yang diwujudkan dengan tertawa bersama.
Para sosiolog percaya bahwa segala bentuk
kemeriahan itu adalah ritual yang sengaja dibuat untuk mengingat sesuatu. Yang
hendak dilestarikan bukan hanya ingatan tentang peristiwa sejarah pada suatu
masa, tapi juga aktor-aktor di belakang peristiwa, serta suasana batin yang
sangat kaya, dan diharapkan bisa mengisi semangat di masa kini. Kesemuanya
ibarat tali-temali yang menjaga ketersambungan sjarah antara masa kini dengan
masa silam, antara peristiwa hari ini dengan peristiwa masa silam.
Bagiku, kegembiraan rakyat jelata itu jauh
lebih bermakna jika dibandingkan dengan para petinggi negeri ini yang menggelar
upacara di banyak titik. Para petinggi kita tak beda dengan masyarakat periode animisme yang amat rajin menggelar upacara demi memahami semesta. Bedanya adalah upacara di masa kini mengalami kehampaan makna. Entah kenapa, para petinggi negeri suka sekali dengan upacara. Mungkinkah karena di upacara itu ada pembacaan
teks proklamasi, ada pembacaan Pancasila, ada juga baris-berbaris, serta
pengibaran bendera?
Pernahkah kita bertanya dengan
jernih, apakah seorang peserta upacara itu mengingat peristiwa dahsyat di masa
silam itu dan menyerap hikmahnya? Jangan-jangan yang muncul adalah kesadaran sebagai
peserta upacara yang harus berdiri tegap dengan keringat bercucuran karena
dipanggang matahari, setelah itu menyaksikan kain berwarna merah dan putih
ditarik seorang pengerek bendera? Tidakkah yang hadir hanya mengingat rasa
lelah karena harus berdiri tegap sekian lama?
Jika demikian halnya, maka mereka yang
saling pukul dengan batal itu jauh lebih memahami esensi kemerdekaan. Mereka
tak perlu upacara. Mereka merayakannya dengan bermain di tengah suasana tawa
dan ceria. Mereka paham bahwa esensi kemerdekaan adalah kebahagiaan atas kebebasan
untuk melakukan banyak hal tanpa harus takut pada satu otoritas. Mereka
mengingat dengan cara sederhana bahwa kemerdekaan adalah saat-saat ketika kamu
diliputi bahagia serta saat-saat ketika dirimu menyadari bahwa ada banyak momen
indah untuk dikenang.
Aku tiba-tiba saja membayangkan peristiwa
di tahun 1945. Aku membayangkan sosok Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka.
Aku membayangkan masyarakat di masa itu yang barangkali amat bahagia mendengar
berita tentang kemerdekaan. Berita kemerdekaan adalah berita paling
menggembirakan bagi semua warga. Ada bahagia karena bisa lepas dari cengkeraman
para kolonialis. Ada juga harapan yang terbit karena keyakinan bahwa
kemerdekaan adalah jembatan emas untuk menggapai cita-cita.
Memang, di masa itu ada pula rasa was-was
dan khawatir atas kaki tangan bangsa asing yang masih bercokol. Tapi aku yakin
bahwa masa itu juga penuh kisah-kisah lucu, bahagia, dan mengharukan yang
kemudian diekspresikan secara kultural para rakyat jelata. Salah satu gambar
paling kusuka dari buku sejarah 1945 adalah gambar corat-coret di tembok-tembok
yang entah dibuat siapa. Coretan itu unik-unik, ada tulisan “Merdeka atau
Mati!”. Ada juga kalimat “Indonesia Never Die!”
Yup. Itulah ekspresi kultural rakyat. Di
masa lalu ada corat-coret, di masa kini, ada pula aksi saling pukul dengan
bantal. Keduanya menyisakan butiran hikmah yang seharusnya kita serap demi
memperkaya rasa kebangsaan kita di masa mendatang.
[1] Konon, guling pertamakali dibuat pada periode kolonialisme
Belanda di tanah air. Konon, orang Belanda banyak yang kesepian sebab saat itu
tak banyak perempuan Belanda yang datang. Akhirnya, terciptalah guling, yang
pada masa itu disebut the Dutch Wife. Namun, jangan2 istilah The Dutch Wife itu
muncul untuk menyebut para nyai pribumi yang menikah dengan orang Belanda.
Entah.