Suatu hari di Perbatasan Papua New Guinea


anak-anak kecil di perbatasan Indonesia dan Papua New Guinea

SETIAP kali ke tanah Papua, hati saya selalu berdebar-debar. Betapa tidak, kawasan ini selalu punya banyak eksotisme yang tak pernah habis untuk ditelusuri. Selalu ada banyak kisah yang tak pernah habis untuk dibahas. Selalu saja ada kisah tentang petualangan menelusuri alam, bercengkerama di danau-danau indah, lalu mendaki gunung-gunung. Papua tak pernah kehabisan kisah petualangan.

Saat berkunjung ke Merauke dan bertemu banyak sahabat di sana. Saya pun ikut menelusuri perbatasan Indonesia dan Papua New Guinea (PNG). Saya merasakan langsung bagaimana denyut nadi warga Papua yang tanahnya terus dibagikan kepada pendatang. Saya membayangkan betapa banyaknya kerja keras yang harus dibumikan di tepian tanah air sekaligus teras depan republik ini.

Di perbatasan Indonesia dan Papua New Guinea (PNG), saya menyimpan banyak catatan yang tak hanya berisikan sedu-sedan, tapi juga beberapa pelajaran dari negara tetangga yang sejatinya satu suku bangsa dengan saudara kita di Papua.

***

PEMUDA itu menyilahkan saya masuk ke dalam warung. Ia nampak bukan asli Papua. Kulitnya putih, serta rambutnya lurus. Bapak itu lalu menunjuk lemari pendingin yang berisi banyak minuman. Saya lalu mengambil teh kotak dan langsung meminumnya. Airnya terasa segar.

Warung itu terletak di tepi jalan di Distrik Sota. Dari Merauke, saya menempuh perjalanan sekitar 75 km. Saya melewati Taman Nasional Wasur, yang menjadi rumah bagi burung cenderawasih, kasuari, dan kanguru. Jalan-jalan mulus, meskipun sedikit bergelombang. Jika tak hati-hati sangat rawan kecelakaan sebab semua kendaraan melaju dengan kecepatan tinggi. Sepanjang perjalanan, saya menyaksikan musamus atau rumah rayap yang sungguh menakjubkan. Ternyata rayap adalah arsitektur hebat yang bisa membuat bangunan-bangunan hebat. Alam terkembang adalah guru.

Distrik Sota adalah perkampungan yang dihuni warga transmigran serta warga lokal. Di jalan menuju perbatasan, perkampungan terbagi atas dua populasi besar. Kata bapak yang saya temui di warung, dari jalan poros, kita berhadapan dengan dua belokan. Jika belok kanan akan menemui perkampungan para transmigran yang semakin modern. Penduduknya sejahtera. “Di sana banyak toko yang menjual barang elektronik,” katanya.

Jika membelok ke kiri, yang ditemui adalah perkampungan warga asli Merauke, khususnya suku Malind Anim yang nampak memprihatinkan. Rupanya warga lokal tidak selincah para pendatang yang bisa membuka lahan, bertani, lalu memanen rupiah dari kegiatan itu. Saya membatin bahwa ada banyak hal yang harusnya dilakukan negara demi menunjukkan kehadirannya di sini.

Saya juga baru tahu kalau di kalangan warga lokal Papua, terdapat banyak suku dan kelompok. Di kalangan orang Papua sendiri, terdapat juga kompetisi untuk memperebutkan sumberdaya serta persaingan di lapangan ekonomi. Di Sota, warga lokal nampak serba gagap ketika dipaksa berlari dalam kompetisi dengan para pendatang. Akan tetapi, warga Papua asal Suku Munyu di Boven Digul tampak lebih bisa bersaing. Mereka memiliki banyak lapak dagang. Orang Munyu punya spirit wirausaha yang sangat hebat dan bisa memenangkan persaingan dengan pendtang.

baju yang dijual di perbatasan
beberapa aksesoris yang dijual warga lokal
aksesoris di perbatasan
Buktinya, warung yang saya singgahi ternyata dimiliki oleh bapak tua dari Suku Munyu yang duduk di kursi di depan warung. Ia nampak serupa petani yang baru kembali dari kebun. Ternyata ia pemilik warung. Rupanya, ia berpikir kalau dirinya yang menjagai warung, maka pengunjung enggan untuk singgah. Ia lalu merekrut anak muda berkulit putih ini untuk menjadi pelayan agar warungnya ramai. Bapak itu seorang marketer hebat yang bisa membaca selera pasar.

“Di toples sana ada donat. Silakan dicoba,“ kembali anak muda  itu mempersilakan. Ternyata dirinya adalah guru yang mengajar di satu SMK yang tak jauh dari situ. Ia bercerita tentang orang-orang PNG yang banyak datang ke Sota. Mereka selalu datang dengan menggunakan sepeda onthel. Ada beberapa siswa dari PNG yang belajar di sekolah di Sota. Padahal, bahasa sehari-hari yang digunakan warga negara tetangga itu adalah bahasa Inggris. Ternyata, perbedaan budaya bisa dijembatani oleh kesadaran bahwa mereka satu bangsa yakni Papua.

Kerap, sekolah-sekolah di PNG mengundang sekolah di Sota untuk menghadiri upacara tertentu, biasanya upacara kemerdekaan, yakni tanggal 16 September. “Makanya, kami di sini akrab dengan banyak warga sebelah. Apalagi, mereka memang belanja di sini,” katanya.

***

SEUSAI berbincang dengan anak muda itu, saya melanjutkan perjalanan. Sebelumnya, saya mengambil gambar di tugu kembar di persimpangan jalan ke titik perbatasan dan jalan ke Boven Digul. Konon, tugu kembar ini hanya ada dua di Indonesia. Satu ada di Sabang, Aceh. Satunya lagi ada di Merauke. Tugu ini menjadi jejak keindonesiaan, menjadi jembatan yang menghubungkan lebih 17 tibu pulau. Tugu ini mengingatkan saya pada lagu “Dari Sabang Sampai Merauke.”

Akhirnya saya tiba di perbatasan. Di dekat pos militer, saya menyaksikan bebeapa lelaki tak bersepatu sedang menuntun sepeda. Kata sahabat saya, mereka adalah warga PNG yang baru pulang berbelanja. Yang menarik, di sepeda onthel itu, mereka meletakkan tas yang lalu diisi dengan berbagai bahan makanan, seperti indomie, gula pasir, hingga beras. Beras? Ya, sejak Merauke menjadi lumbung pangan, yang ditandai pembangunan sawah sejuta hektar, beras mulai menjadi makanan pokok. Baik warga Merauke, maupun warga desa-desa di sekitar PNG, sama-sama mulai mengonsumsi beras. Bahan pangan itu dianggap lebih berkelas ketimbang bahan pangan lainnya.

Yang saya pikirkan adalah betapa pemerintah kita telah mengubah pola makan, mengubah kearifan lokal berupa konsumsi pangan lokal yang telah bertahan selama ratusan tahun. Yang juga muncul adalah ketergantungan pada beras, yang kelak bisa menimbulkan kerawanan pangan. Beberapa tahun lalu, rawan pangan pernah terjadi di satu distrik. Banyak warga yang tewas karena kelaparan. Ternyata, setelah diusut, rawan pangan terjadi karena tiadanya pasokan beras yang mengjangkau distrik itu. Nah, andaikan warga tetap setia pada pangan lokal, yang faktanya banyak bertebaran di desa-desa Papua, tak perlu ada berita tentang kelaparan.

Secara fisik, saya tak bisa membedakan antara warga Merauke dengan saudaranya di PNG. Apalagi, mereka memang masih berkeluarga. Banyak warga Merauke yang masih memiliki kebun-kebun di PNG. Seorang lelaki yang saya temui di perbatasan bercerita kalau garis batas antar negara yang memisahkan antar negara itu masih jadi perdebatan. “Banyak tanah keluarga saya masuk wilayah PNG,” katanya.

beberapa warga Papua New Guinea

Rasanya agak aneh saja. Sebab batas negara hanya dibuat berdasarkan kesepakatan antara kolonialis Inggris dan Belanda. Boleh jadi, mereka hanya menarik garis di peta, lalu menyatakan ini wilayah masing-masing. Mereka tak sadar kalau setiap tarikan garis itu kelak akan menimbulkan konflik di level bawah. Setiap tarikan garis itu membawa konsekuensi pada kepemilikan tanah serta berdampak pada kegiatan ekonomi. Yah, namanya juga kolonialis yang mengatur ruang seolah-olah miliknya sendiri, tanpa perlu mendengar suara warga lokal.

Kata seorang sahabat, semiskin-miskinnya orang Indonesia, masih lebih miskin lagi warga PNG. Di perbatasan itu, saya bertemu beberapa orang PNG yang datang ke Sota untuk belanja. Mereka nampak lebih miskin dari warga setempat. Mereka datang tanpa alas kaki demi untuk menjual hasil bumi, lalu berbelanja beberapa barang, setelah itu kembali melintasi perbatasan. Akan tetapi, penuturan sahabat ini mesti dicek lagi.

Seingat saya, PNG adalah negara yang mengakui hak-hak semua masyarakat adat, menjamin pengaturan masarakat berdasarkan sistem tradisional, serta memberikan ruang bagi komunitas lokal. Pengakuan itu terlihat pada konstitusinya yang melestarikan semua kampung dan komunitas tradisional. Tak hanya itu, PNG juga memiliki undang-undang yang mengatur tanah ulayat, yakni tanah radisional milik pribumi yang harus diproteksi dari campur tangan kaum pendatang. Dengan demikian, meskipun warga PNG tampak miskin, tapi mereka punya kedaulatan penuh atas tanah.

Sebagai pribumi, mereka tak perlu khawatir terhadap para pendatang yang bisa mencaplok tanah-tanah mereka. Konstitusi menjamin hak-hak mereka sebagai warga desa yang memiliki tanah. Sebagai pribumi, mereka tak perlu khawatir jika negara akan mencaplok tanah-tanah mereka lalu memberikannya kepada orang lain.

Ternyata, di balik penampilan yang bersahaja itu terdapat banyak pelajaran. Mungkin Indonesia perlu belajar pada PNG tentang pelestarian hak masyarakat adat, serta perlindungan hak-hak mereka dari para pendatang. Indonesia mestinya mengakui hak-hak semua warga lokal, sembari melakukan berbagai penguatan kapasitas dan kemampuan warga sehingga mereka tidak seperti anak ayam yang mati di lumbung padi. Dengan mengakui hak-hak dasar mereka, warga bisa setapak demi setapak menggapai kesejahteraan.

 
saya di perbatasan
tugu perbatasan

Tak salah pula semua kekhawatiran tentang nasib warga asli Papua di tanahnya. Harus diakui, para pendatang memang lebih gesit saat bertarung di lapangan ekonomi. Sementara warga Papua lebih banyak yang menjadi penonton atas pencapaian ekonomi para pendatang di tanah mereka sendiri. Di sisi lain, negara juga abai terhadap hak warga lokal. Pendekatan yang dilakukan negara lebih mengarah pada ‘bagi-bagi proyek dan uang’ yang sejatinya hanya akan menguntungkan sejumlah elite lokal, yang notabene adalah warga lokal Papua sendiri.

Yang dilakukan negara adalah merampas tanah-tanah rakyat demi menyukseskan program lahan pertanian sejuta hektar. Setelah tanah dicaplok, penduduk dipaksa untuk menjadi petani. Ketika mereka tak mau, datanglah warga pendatang yang diharapkan bisa membuka lahan lalu menanaminya dengan padi. Warga lokal yang bisa menjadi penonton dari satu orkestrasi besar bernama pembangunan. Mereka lalu menjadi marginal, sembari menunggu program baru dari pemerintah yang konon akan memberdayakan mereka.

Ada banyak solusi bertebaran di sekitar kita. Namun, saya memikirkan rekognisi atas hak masyarakat adat, memberikan kemandirian, lalu mengembalikan semua aset yang dirampas negara. Yang barangkali perlu dilakukan adalah mendengarkan berbagai suara-suara mereka yang selama ini seakan lenyap, lalu menyerap makna di sekitar mereka, untuk kemudian memberikan mereka keleluasaan untuk berusaha, tanpa harus ada kekhawatiran akan kian massifnya para pendatang di sektor ekonomi. Lantas, mengapa tak belajar pada PNG yang memberikan pengakuan atas hak-hak masyarakat lokal?

***

“Bapak dari mana dan mau ke mana?” Saya memberanikan diri untuk bertanya pada lelaki tua yang membawa sepeda penuh barang bawaan.
“Saya dari PNG dan mau datang belanja di Sota,” katanya pelan.

Ia tersenyum lalu berlalu. Saya menatap lelaki itu hingga menghilang di rerimbunan pohon di ujung sana. Tadinya, saya ingin singgah dan berkunjung ke satu desa di sana, tapi saya lalu mengurungkan niat. Ada banyak hal yang tak terduga di sana. Boleh jadi, situasinya tak aman. Saya bukanlah warga Merauke yang bisa bebas wara-wiri sebab wilayah PNG masih menjadi tanahnya.

Yang pasti, saya kembali ke Merauke sembari membawa banyak catatan.(*)


7 November 2015


BACA JUGA: