Lima Salah Kaprah tentang Indonesia Timur


sampul buku

SEBAGAI seorang warga Indonesia timur, yang kini berdiam di Indonesia sebelah barat, saya mengalami banyak salah kaprah tentang kawasan timur. Sering saya menemukan anggapan yang keliru dari penduduk di Indonesia barat terhadap kami yang di timur. 

Makanya, saya berkesimpulan kalau orang timur lebih banyak tahu tentang kota-kota, jarak, serta masyarakat di barat. Sementara orang Indonesia barat malah tak banyak tahu tentang apa yang terjadi di timur.

Kesimpulan itu semakin kokoh saat membaca catatan pengantar dari Roem Topatimasang di buku berjudul Melawat ke Timur. Catatannya membuka banyak hal. Mulai dari stereotype, pandangan tentang kemajuan, serta salah kaprah yang terus eksis dalam sejarah kita.

***

SUATU hari, Roem Topatimasang sedang berada di Tual, Kepulauan Kei. Ia dihubungi rekannya yang sedang transit di Bandara Pattimura, Ambon, Maluku. Teman itu memintanya untuk bertemu di bandara. Ada hal penting yang ingin dibicarakan. Saat Roem mengatakan sedang berada di Tual, teman itu mengatakan akan menunggu. Katanya, waktu transitnya cukup panjang yakni enam jam.

Roem bersungut-sungut lalu menutup telepon, Ia lalu berkata, “Dasar.. dorang pikir jarak Tual sampai Ambon itu sama dengan Grogol – Cengkareng kah?” Saya tersenyum-senyum saat membaca catatan Roem tentang salah kaprah atas mereka yang di barat terhadap keadaan di timur. Saya punya banyak pengalaman sebagaimana yang dialaminya.

Semasa jadi jurnalis, saya pernah meliput satu peristiwa di Makassar. Tak lama kemudian, datang telepon dari redaktur di Jakarta yang meminta saya untuk bergerak ke Bulukumba dalam waktu setengah jam. Katanya, ada kejadian besar di sana. Saya berteriak melalui telepon, “Ko pikir jarak Makassar ke Bulukumba hanya setengah jam?”

Mungkin pelajaran geografi tidak banyak diberikan di sekolah dasar. Buktinya, banyak orang yang mengira jarak tempuh antar kota di timur sama dengan jarak tempuh antar kawasan di barat sana. Tak banyak yang paham bahwa infrastruktur di timur sedemikian parah sehingga jarak tempuh itu menjadi sedemikian jauh.

Catatan yang dibuat Roem untuk buku yang berisikan pengalaman berpetualang di timur ini telah membuka banyak lapis kenyataan. Betapa banyaknya salah kaprah tentang timur di barat. Tak banyak yang tahu kalau Ternate adalah salah satu dari tiga kerajaan Islam terbesar di Nusantara, selain Samudra Pasai di Sumatra, dan Demak di Jawa. 

Wilayah Ternate mencakup seluruh Kepulauan Maluku, Sulawesi bagian tengah, selatan Filipina, hingga ke Nusa Tenggara Timur (NTT). Tak banyak yang tahu kalau Papua adalah wilayah kekuasaan Kesultanan Tidore.

patung Santo Xaverius di Ambon

Tak hanya kisah tentang wilayah. Ada banyak hal unik di timur. Sultan Khairun dari Ternate bersahabat baik dengan Santo Fransciscus Xaverius, pembawa agama katolik di Maluku. Ayah Sultan Baabullah yang merupakan satu-satunya raja di Nusantara yang pernah mengalahkan Portugis, Spanyol, dan Belanda itu pernah tinggal di Biara Katolik dan mengikuti pendidikan tarekat Jesuit di Goa (India), lalu mendapatkan nama baptis: Ben Acorata.

Barangkali tak ada pula yang tahu kalau salah satu intelektual yang cemerlang di Nusantara pada abad ke-17 bernama Karaeng Pattingaloang, seorang mangkubumi di Kesultanan Goa di Makassar, Sulawesi Selatan. 

Pattingaloang mendatangkan teleskop Galileo ke tanah Makassar demi mengamati bulan dan pergerakan bintang. Ia mendirikan satu observatorium bintang, yang dalam bahasa Makassar disebut Maccini Sombala. 

Ia bercakap dalam banyak bahasa, menerjemahkan beberapa kitab ilmu pengetahuan ke dalam bahasa Makassar.  Di masa itu, Makassar adalah kota dunia yang melakukan reproduksi pengetahuan untuk membangun peradaban yang kokoh.

Bahkan seorang dramawan dan penyair terbesar Belanda, yang hidup sejaman dengan pelukis Rembrandt, Joost van den Vondel, memuji Pattingalloang dalam sajak khusus yang dibuat untuknya. Tak hanya itu, peta kuno yang dibuat Joan Bleu menempatkan Pattingalloang sejajar dengan Mercator, nabi modern kartografi Eropa.

Pertanyaannya, seberapa pahamkah kita tentang beberapa keping sejarah yang menakjubkan di kawasan timur?

***

SEJAK Indonesia berdiri, kawasan timur menjadi kawasan yang seolah terabaikan. Sejarah Indonesia identik dengan apa yang terjadi di Indonesia barat. Apa yang terjadi di timur tidak menjadi memori kolektif bagi bangsa Indonesia. 

Pengetahuan dipancarkan dari pusat-pusat pertumbuhan, yakni kota-kota yang benderang oleh kebijakan pemerintah di barat sana. Timur menjadi tertinggal, sampai-sampai pernah dibentuk kementerian untuk urusan ketertinggalan di timur.

Patung Martha Christina Tiahahu di Ambon

Dikarenakan pengetahuan seolah berpusat di kota-kota di Indonesia bagian barat, salah kaprah tentang timur menyebar merata di banyak tempat. Orang-orang di barat merasa tak punya kepentingan untuk memahami timur. Mereka lalu menggeneralisir, membangun stereotype, dan menganggap orang di Indonesia tiur, sebagaimana kampung halamannya yang punya infrastruktur lengkap.

Mengacu pada pengalaman Roem Topatimasang, saya mencatat ada sekurang-kurangnya lima salah kaprah tentang timur di mata orang Indonesia barat. Saya menemukan salah kaprah ini dalam berbagai interaksi dengan banyak sahabat berbagai etnik di Jakarta.

Pertama, anggapan tentang bahasa. Sering saya susah menjelaskan ke banyak orang kalau di kampung halaman saya, Buton, Sulawesi Tenggara, terdapat begitu banyak bahasa. Orang luar mengira semua orang Buton akan berbahasa lokal yang sama. 

Padahal, faktanya tidak demikian. Pemetaan bahasa yang dilakukan beberapa peneliti menunjukkan adanya keragaman bahasa di wilayah ini, sehingga antara warga satu kampung dan warga kampung lain malah tidak saling mengerti.

Semakin ke timur, semakin banyak bahasa. Jika pernah ke Maluku Utara hingga Papua, jangan terkejut ketika menemukan begitu banyak bahasa lokal. Terkadang satu bahasa daerah hanya digunakan oleh warga satu kampung. Sungguh berbeda dengan orang Jawa dan Sunda yang bahasa lokalnya satu dan dimengerti oleh jutaan orang.

Karena bahasa yang demikian beragam, bahasa Indonesia menjadi bahasa yang mempersatukan dan mengikat warga yang berbeda bahasa lokal tersebut. Di timur, saya bisa menggaransi kalau semua orang bisa bahasa Indonesia. Sungguh beda dengan keluarga mertua kakak saya di Cangkringan, Yogyakarta, yang setiap hari berbahasa Jawa, dan sama sekali tak paham bahasa Indonesia.

Kedua, anggapan tentang geografis. Entah kenapa, saya banyak bertemu dengan orang yang menganggap jarak-jarak antar wilayah dekat. Dari kampung saya di Buton menuju Makassar, saya butuh waktu semalam perjalanan kapal. Beberapa orang Wakatobi yang berlayar ke Taliabu, Bacan, hingga Obi, sering membutuhkan waktu lebih sebulan dengan menggunakan kapal layar.


Saat saya ceritakan ini ke teman di Jakarta, ia malah terheran-heran. Dipikirnya, semua tempat bisa dijangkau dengan kereta, sebagaimana di Jawa. Padahal, timur itu identik dengan pulau-pulau. Tak selalu ada “kapal putih”, sebutan untuk kapal Pelni yang bisa singgah dan mengangkut penumpang. 

Perjalanan ke beberapa wilayah di timur mesti menyiapkan fisik kuat sebab seringkali harus ditempuh dengan kapal layar. Bagi yang pernah bertualang ke Papua pasti punya banyak kisah bagaimana bergerak ke satu desa bisa butuh waktu berhari-hari.

Ketiga, anggapan tentang penduduk yang mayoritas beragama Kristen. Tentu saja, anggapan ini keliru. Buku Melawat ke Timur ini menunjukkan kekeliruan itu. Maluku, yang dianggap Kristen, ternyata memiliki banyak desa-desa beragama Islam. 

Tahukah anda bahwa Pattimura, pahlawan beragama Kristen yang punya nama lengkap Thomas Mattulessy, ternyata punya saudara adat (pela-gandong) dengan pahlawan Maluku lain yang beragama Islam yakni Said Perintah. 

Tahukah anda Sekjen pertama Dewan Adat Papua adalah seorang muslim asal Fakfak bernama Thaha Alhamid? Tak banyak pula yang tahu kalau nama bandara di Ende adalah Haji Hasan Aboeroesman, yang merupakan raja terakhir, sekaligus bupati pertama. Dia seorang Muslim.

Sejarah masyarakat di timur tak pernah mempersoalkan perbedaan agama tersebut. Saat Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterzoon Coen membantai banyak warga Muslim di Banda pada tahun 1621, warga Kei beragama Kristen justru menyediakan tanah untuk menampung saudaranya yang Muslim itu. 

Mungkin anda akan tercengang saat tahu kalau di wilayah Kesultanan Ternate di Halmahera Utara, terdapat warga Tobelo yang beragama Kristen. Semuanya baik-baik saja.

anak kecil di perbatasan Papua

Memang, belakangan terjadi konflik atas nama agama di Maluku, akan tetapi warga menganggap konflik itu lebih bernuansa politik ketimbang agama. Perdamaian antar warga dibangun berdasarkan spirit kekeluargaan, serta keyakinan kalau mereka sama-sama orang maluku, meskipun punya keyakinan berbeda.

Keempat, hubungan antara agama dan adat. Di banyak tempat, seringkali adat disesatkan oleh agama. Makanya, kita membaca episode sejarah tentang Perang Padri di Sumatera Barat, Perang Cumbok di Aceh. Semuanya menunjukkan bagaimana benturan antara agama dan adat di masyarakat.  

Tapi di timur, adat dan agama bisa hidup berdampingan. Adat bisa menjadi wadah, sedangkan agama menjadi isinya. Agama menjadi spirit kuat yang lalu dijelmakan dalam adat.

Saya setuju dengan pernyataan Roem di buku ini yang melihat adanya pola berbeda dengan sinkretisme Islam ala Jawa. Makanya, yang harus dilakukan adalah berusaha memahami kenyataan itu secara mendalam, lalu menyusun argumentasi sendiri yang khas Indonesia timur.

Kelima, adanya stereotype tentang penduduk di timur yang dianggap kasar-kasar. Terhadap anggapan ini saya punya banyak pengalaman. Memang, dari sisi intonasi suara, orang Timur punya suara yang keras di telinga warga Indonesia barat. 

Namun yakinlah, itu bukan ekspresi kemarahan. Intonasi suara yang keras itu biasanya dimiliki warga yang tinggal di pesisir, yang berusaha mengalahkan suara ombak. Warga di pegunungan pun punya intonasi yang sama. Tak ada kaitan antara suara yang keras dengan peibadi yang kasar.

Untuk soal pertemanan, orang di timur adalah teman-teman terbaik. Saya tak menemukan solidaritas sehebat teman-teman di timur itu. Jika anda dianggap sebagai sahabat, maka mereka akan siap menyabung nyawa demi anda. Mereka siap melakukan apapun demi seorang sahabat. 

Tapi, sekali anda hendak berkonflik dengan mereka, maka mereka bisa menjadi sangat jahat. Mereka bisa nekad jika anda menyinggung kehormatannya. Tapi, kepribadian mereka selalu luwes. Jika sebelumnya marah, mereka bisa kembali menjadi baik jika ada yang bertindak sebagai pendamai. Bersama mereka, kehidupan menjadi lebih indah.

***

DAFTAR di atas memang terlampau singkat untuk menjelaskan banyak salah kaprah tersebut. Saya hanya menyederhanakannya saja. Dalam interaksi sehari-hari, saya menemukan banyak hal menarik yang semakin menguatkan pandangan saya tentang dinamika di timur dan barat tanah air kita.

Dalam hal pengetahuan tentang wilayah, saya sangat yakin kalau orang timur cukup mengenali keadaan di barat. Hampir semua orang di timur tahu tentang Bandung, Semarang, juga Surabaya. Tapi coba anda tanya tentang kawan di Indonesia barat tentang kota-kota seperti Tual, Morotai, Kaimana, Nabire, atau Paniai, pastilah mereka akan melongo. 

Kita bisa mengatakan bahwa terjadi disparitas informasi antara timur dan barat. Harus diakui, Indonesia barat lebih banyak dideskripsikan di media massa kita. Makanya, timur menjadi wilayah yang misterius dan tak banyak dikenal. Timur menjadi asing. Logat ala timur menjadi aneh di telinga.

Disparitas informasi jelas dipengaruhi tayangan media. Tentu saja, media massa akan banyak membahas daerah yang berpenduduk padat, sebab di situ ada pasar pembaca yang besar. Logika inilah yang membuat timur tak banyak dideskripsikan. 

Timur menjadi sesuatu yang lain, sesuatu yang eksitik dan tak banyak dikunjungi. Sejarahnya menjadi gelap dan seakan lenyap dari sejarah. Padahal, ada banyak sejarah gemilang tanah air kita yang ada di timur sana. 

Yang kita butuhkan adalah kesediaan untuk menyerap pengetahuan, lalu menjadikan timur sebagai pusat pengetahuan, sekaligus pusat pertumbuhan ekonomi.

Selama puluhan tahun tanah air kita dikelola dengan logika populasi. Timur seakan tak tersentuh pembangunan, sebab penduduknya dianggap sedikit. 

Pernah, saya mengalami perjalanan yang sangat jauh di Mamasa, Sulawesi Barat, ke satu desa terpencil. Butuh perjalanan seharian untuk menjangkau desa di pegunungan. Jalan rusak parah. Sepanjang jalan saya membatin, mengapa pula jalan kita rusak parah. Saat saya tanyakan ke warga, dijawab kalau jalan itu adalah jalan nasional, yang sejak puluhan tahun diabaikan pemerintah.

jalan rusak di Mamasa, Sulawesi Barat

Saya membatin kalau pemerintah kita lebih fokus ke daerah-daerah padat penduduk. Pemerintah lebih fokus membangun kereta cepat Jakarta – Bandung, ketimbang membangun jalan nasional di kawasan timur. Ah, kali ini saya tak bisa berkomentar apa-apa. Saya hanya bisa masygul.


Bogor, 16 Februari 2016