Kuasa LITERASI di Balik Sejarah MAKASSAR
LITERASI adalah kekuatan yang mengubah Makassar
menjadi salah satu wilayah yang paling cemerlang di Nusantara pada awal periode
modern di abad ke-16. Siapa sangka, literasi memiliki peran vital sebagai
faktor pembentuk sejarah, menjadi alat legitimasi kekuasaan, melahirkan
hierarki baru tentang bangsawan dan rakyat biasa. Sejarah, sistem pelapisan tradisional,
serta distribusi kekuasaan ditentukan berdasarkan catatan tertulis yang selalu
sarat dengan kuasa.
Demikian kesan saya seusai membaca buku bagus
berjudul Making Blood White yang ditulis William Cummings, yang diterjemahkan
ke bahasa Indonesia oleh Penerbit Ombak dengan judul Penciptaan Sejarah
Makassar di Awal Era Modern. Buku ini sungguh jeli dalam melihat bahwa apa yang
kita sebut sejarah selalu diciptakan oleh kelas tertentu melalui kata. Tak
hanya itu, kekuasaan pun bisa didefinisikan melalui kata.
***
DALAM satu publikasi yang ditulis sejarawan Anthony
Reid, saya menemukan fakta bahwa di antara banyak kerajaan yang pernah eksis di
Asia Tenggara, Makassar sangat pantas untuk dibahas dalam hal kekayaan literasi
dan upayanya untuk merawat pengetahuan. Makassar adalah wilayah yang paling
bersinar sebagai produsen berbagai literasi dan khasanah pustaka
Makassar adalah satu wilayah di Nusantara yang
paling ambisius untuk merengkuh ilmu pengetahuan. Sebagai kerajaan maritim yang
menjadikan laut sebagai ruang yang menghubungkan wilayah ini dengan berbagai
wilayah lain, Makassar bisa menjalin hubungan dengan berbagai pusat pengetahuan
dunia. Melalui persentuhan dengan banyak budaya, termasuk dengan kolonialisme
Eropa, orang Makassar mulai mengenal tradisi literasi.
Saya sedang tertarik mengetahui banyak hal
tentang literasi di Makassar. Saya membaca buku berjudul Penciptaan Sejarah Makassar di Awal Era Modern yang ditulis William
Cummings, terbitan Ombak tahun 2015. Sebelumnya, saya membaca buku ini dalam
versi bahasa Inggris berjudul Making
Blood White yang diterbitkan University of Hawaii Press tahun 2002 lalu.
Cummings menjelaskan tentang transisi dari
tradisi oral ke budaya literasi pada abad ke-16 dan 17, sebagai awal periode
modern Makassar. Ia hendak mengeksplorasi kekuatan-kekuatan yang menggerakkan
transformasi sosial dan budaya. Masa-masa ini ditandai interaksi dengan
kolonialisme Eropa dan kepentingan komersial. Kapitalisme datang sebagai tamu
yang tak hanya bengis, tapi juga membawa tradisi tulis yang lalu mengubah
sejarah.
Berbeda dengan para sarjana lain yang fokus
pada arsip kolonial, Cummings dengan berani mengisahkan ulang sejarah Makassar
melalui berbagai sumber yang dibuat orang Makassar sendiri. Ia menjelaskan
pandangan warga setempat (indigenous) ketimbang pandangan kolonial. Ia fokus
pada bagaimana sejarah diciptakan, bukan pada bagaimana sejarah dirangkai
melalui peristiwa.
Di mata saya, Cummings adalah tipe peneliti
yang ikhlas berpeluh dengan data-data lapangan, lalu memahami realitas sebagai warga
setempat. Saya membayangkan usaha kerasnya untuk memahami bahasa Makassar lalu memahami naskah-naskah yang ditulis orang Makassar. Saya saja yang pernah tinggal lebih 10 tahun di Makassar, malah tak bisa berbahasa Makassar. Tentu saja, tak paham aksara Makassar. Ia mengatakan, “Kesulitan terbesar dari para
sarjana yang saya temukan di luar Makassar adalah ketidakmampuannya untuk
memahami sumber-sumber dari orang Makassar sendiri yang ditulis dalam bahasa
Makassar."
Cummings mempertanyakan konsensus di kalangan sejarawan pada awal era
modern Asia Tenggara yang menyatakan bahwa aktivitas komersial adalah kekuatan
yang mendorong transformasi sosial dan politik pada periode itu. Dia berargumen pada pentingnya kekuatan budaya dan
makna sebagai penggerak sejarah.
Pada pengantar awal, ia membuat sejumlah klaim historiografi yang menyebutkan bahwa budaya, sosial, agama, dan formasi intelektual direpresentasikan melalui sumber-sumber tertulis. Kekuatan sejarah ini menyatu dalam rekaman tertulis yang muncul pada periode ini, suatu aspek yang justru luput di kalangan orang Eropa, dan sempat hilang dari analisis para sejawan.
Berbeda dengan para sejarawan yang melihat
historiografi sebagai teks sejarah yang merupakan rekaman masa lalu, Cummings
memberikan ruang bagi material sejarah Makassar untuk berbicara tentang Makassar
itu sendiri, sebelum memosisikan argumentasinya dalam debat historiografi yang
lebih luas. Dia secara sistematis mengkonstruksi pandangan yang kokoh tentang
teks sejarah Makassar sebagai kekuatan yang mempengaruhi rangkaian perubahan
pembangunan politik dan sosial
Ia ingin menemukan bagaimana masa lalu diterima,
diinterpretasikan, dan digunakan dalam awal Makassar modern. Dia lalu
mendemonstrasikan penguasaan pada sejumlah teks-teks Makassar dan genre literasi.
Dia lalu menggunakan kemampuan analitik dan bahasa untuk menunjukkan bahwa
orang Makassar telah mencapai periode penting dalam sejarah melalui upaya
mengenal literasi pada awal abad ke 16.
Yang mengejutkan buat saya adalah pandangannya
yang menyatakan bahwa tradisi lisan memiliki kisah yang berbeda dengan tradisi
tulis. Fundasi pembentuk tradisi lisan adalah mitos dan sesuatu yang sakral.
Sementara tradisi tulis bisa mengombinasikan mitos dan rasionalisasi, yang
kemudian menjadi alat legitimasi bagi para penguasa Gowa untuk membentuk
sejarah, membuat klaim atas silsilah, menentukan mana bangsawan dan mana rakyat
biasa.
Pada bagian ini saya menjadi sangat tertarik.
Saya penasaran bagaimana tradisi tulis ini menjadi sesuatu yang membedakan
manusia satu dengan manusia lainnya. Saya tak menyangka kalau teks tertulis
memutuskan kisah dalam tradisi oral, lalu menggantinya dengan kisah baru yang
memosisikan satu kerajaan sebagai pusat dalam dinamika percaturan antar
kerajaan.
Buku ini terdiri atas dua bagian, Pada bab awal
berjudul "History Making”, Cummings menggambarkan naskah dan cerita
tentang awal Makassar dan munculnya literasi pada abad ke-16 untuk mengisahkan
masa lalu. Catatan sejarah ini mencakup kronik kerajaan, genealogi, kompilasi
adat dan hukum yang ditenun secara bersama lau menjadi jejaring suara sejarah. Ia
mendiskusikan evolusi dari naskah tertulis dan menggambarkan perpindahan dari
oral ke catatan sejarah.
Bagian dua membahas “Making History”, Cummings menunjukkan
bagaimana tulisan telah mengubah banyak hal sehingga melahirkan berbagai hal
baru. Salah satunya adalah memosisikan Kerajaan Gowa sebagai pusat dari sistem
sosial dan politik Makassar. Tradisi tulis lalu membangun standar dari
legitimasi kultual kerajaan dan menaikkan pemimpin Gowa di atas pemimpin lokal
lainnya. Di titik ini, tradisi tulis menjadi vital dalam hal penciptaan
hierarki sosial yang dibangun melalui kodifikasi konsep darah putih yang membedakan
bangsawan dan warga biasa.
Masa silam lalu dilihat sebagai sesuatu yang
bisa diturunkan dalam bentuk teks dan dimiliki. Dalam proses yang disebut
Cummings sebagai "pemusatan", model teks mengalir dari Gowa ke
pinggiran dan regalia suci hanya ada di Gowa, yang memberikan kesempatan bagi
Gowa untuk berada di puncak dari semua kerajaan lokal yang ada di Sulawesi
Selatan.
Satu hal yang belum saya temukan dalam proses
membaca cepat ini adalah argumentasi mengapa Cummings menyebut bangsawan
Makassar berdarah putih. Yang saya tahu, di Nusantara, para bangsawan selalu
disebut berdarah biru, Mengapa pula ia mengambil judul Making Blood White?
Apakah bangsawan Makassar berdarah putih?
Ah, mungkin saya harus membaca lebih detail.
Namun dari hasil membaca kilat, saya simpulkan kalau buku karya William Cummings
menawarkan sesuatu yang beda.
Bogor, 26 Juni 2016