Melihat FILDAN di Layar Kaca
SETIAP
kali Fildan hendak tampil di ajang Dangdut Academy 4 di Indosiar, setiap kali
pula timeline media sosial saya akan dipenuhi sorak-sorai dukungan dari semua
kawan, sahabat, guru, dan sahabat dari bumi Sulawesi Tenggara maupun dari
berbagai daerah lain di Indonesia. Pada setiap penampilan, apresiasi serta
harapan-harapan terpancar kuat. Dia menjadi magnit bagi semua orang yang punya
pertalian darah dengan Sultra.
Fildan
memang fenomena. Dia mengisi topik diskusi di berbagai lapak, warung kopi,
ataupun acara-acara arisan. Ia dibahas para nelayan di desa-desa pesisir
Buton-Muna hingga lupa melaut. Dia juga didiskusikan rakyat biasa di pasar
rakyat pebukitan Kolaka sembari berbelanja. Dua pekan silam, saat berkunjung ke
kantor Pemprov Sultra di Kendari, saya mendengar sendiri banyak pegawai
membahas Fildan sembari menyaksikan tayangan vokalnya di kanal Youtube.
Untuk
pertama kalinya saya menyaksikan vidio audisi kontestan lomba dangdut yang
ditonton hingga jutaan orang di Youtube, jumlah penonton yang memecahkan rekor
terbanyak untuk seorang calon bintang. Tak sampai di situ, vidio yang
menampilkan Fildan menyanyikan lagu India itu ikut ditonton dan didiskusikan
oleh orang-orang India. Semuanya memberikan apresiasi. Saat Fildan ikut audisi
dan menyanyikan lagu India berjudul Tum Hi Ho dan Muskurane, ada orang India
yang membuat vidio berisikan perbandingan antara vokal Fildan dengan Arijit
Singh, penyanyi asli lagu itu.
Saya
juga melihat hal lain. Di tengah heterogenitas atau keberagaman masyarakat
Sultra, Fildan adalah sosok pemersatu. Suara merdunya bisa menghadirkan
sebersit kebanggaan dari warga beragam etnik di sana. Dia bukan milik orang
Buton-Muna-Wakatobi. Dia milik semua etnik, mulai dari Kendari, Konawe, Kolaka,
hingga Bombana. Suara merdunya saat menyanyikan lagu dangdut adalah simbol dari
keseharian rakyat jelata yang menjadikan dangdut sebagai hiburan dari segala
getir dan nestapa.
Di
suara Fildan, terselip begitu banyak kebanggaan dan simbol daerah. Di daerah
sendiri, Fildan serupa virus amnesia yang menghapus banyak hal. Saat dirinya
menyanyi, banyak persoalan terlupakan. Selagi dia bersuara merdu, publik lupa
dengan pelayanan pemerintahan yang biasa saja. Selagi dia tampil, publik lupa
betapa buruknya kinerja aparat dan birokrasi. Selagi dia berdendang, publik
lupa betapa banyaknya agenda penting yang terabaikan.
Fildan
perlahan jadi komoditas politik. Di timeline saya, beberapa kepala dinas tak
henti membuat postingan tentang Fildan. Banyak bupati membuat spanduk dukungan.
Malah ada yang ngambek kalau daerahnya tak disebut Fildan. Kesannya, tak ada
lagi hal lain yang lebih penting terkait tugas-tugas dan wilayah kerjanya.
Fildan lebih penting dari apapun. Ataukah masyarakat memang sudah dalam keadaan
baik-baik dan sejahtera sehingga hari-hari diisi dengan postingan ataupun
pembicaraan tentang Fildan?
Untungnya,
saya seorang rakyat biasa dan pengangguran. Saya cukup bahagia bisa melihat
Fildan, putra La Suri, bisa bernyanyi. Saya yang tadinya tak begitu suka
dangdut bisa menyukai irama musik khas Indonesia ini. Di setiap Fildan
menyanyi, saya bahagia menyaksikan banyak spanduk dan pamflet dukungan dari banyak
titik di daerah. Lebih senang lagi melihat banyak sosok yang saya kenali duduk
di bangku penonton. Tampilnya Fildan tak hanya menghadirkan bahagia karena
suara merdu itu, tapi juga rasa nostalgia atas banyak hal.
Ah,
semoga saja Fildan tak berniat maju di ajang pilkada. Dia tak perlu mengikuti
vokalis yang kini jadi Wakil Walikota Palu. Biar dia tetap memancarkan pesona
di semua panggung yang dijejakinya. Biar dia tetap menjadi milik semua orang di
Sulawesi Tenggara, dari pesisir kepulauan, hingga pegunungan sana. Biar dia
tetap jadi milik kita, rakyat jelata yang butuh hiburan di sela-sela aktivitas
memantau para pejabat yang sibuk membawa-bawa nama Fildan.