Membaca Catatan Pinggir 11
Di dunia penulisan esai, Goenawan Mohamad adalah dewa.
Terlepas dari apapun kritik orang kepadanya, produktivitas menulisnya selalu
bikin merinding. Ia menulis dengan konsisten. Setiap minggu ia akan menulis
amatan atas apa yang ada di sekitarnya. Ia tak sekadar mencatat. Ia juga
berefleksi, membiaskan kembali semua amatan itu dengan lensa nuraninya yang
dibasahi puisi, syair, dan segenap kearifan. Diksinya khas. Hanya dengan
membaca dua atau tiga kalimat tulisannya, saya bisa menebak itu tulisan
Goenawan atau bukan.
Ia seorang pelahap buku yang paling lapar. Seorang kawan
menyebut kontribusi Goenawan pada diskursus ilmu sosial dan humaniora demikian
besar. Barangkali, dialah yang pertama memberitahukan pada warga Indonesia
tentang buku baru atau siapa saja pemikir yang karyanya tengah hangat dibahas
di luar sana. Di masa ketika Marxisme diharamkan di dunia akademis, Goenawan
memperkenalkan banyak nama, termasuk para pemikir kiri baru, juga para
pengkritiknya yang paling sengit.
Tak terasa buku Catatan Pinggir, yang menghimpun koleksi
tulisannya di Tempo telah memasuki buku ke-11, yang terbit tahun 2017 ini.
Biarpun esainya tak semua saya sukai, tapi selalu saja ada rasa dahaga yang
terpuaskan saat membaca satu demi satu kepingan kata darinya yang sedingin jus
markisa di siang terik.