Ada Apa dengan Sandiaga dan Dewi Perssik?
JIKA semua orang yang melanggar jalur
busway akan diangkat menjadi duta atau mitra, berapa banyak mitra yang akan
dimiliki oleh Pemprov DKI Jakarta? Ataukah karena pelanggar itu seorang Dewi
Perssik makanya mendapatkan tawaran menjadi Duta Transjakarta?
Dua hari terakhir, nama Dewi Perssik
kembali mencuat ke permukaan. Mulanya, dia menerobos jalur Busway. Dia mengaku
kondisinya sedang darurat sebab harus membawa asistennya yang sedang sesak
napas.
Di Instagram, ia mengaku dikawal seorang
anggota kepolisian, klaim yang lalu dibantah petinggi polisi. Namun, Wakil
Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno memberi komentar berbeda.
Alih-alih menegakkan aturan dengan
memberlakukan sanksi, sebagaimana diberikan kepada warga biasa yang melanggar,
ia justru mengangkat wacana tentang perlunya mengangkat Dewi Perssik sebagai
Duta Tertib Berlalulintas. Publik heboh. Media-media langsung meradang. Infotaiment
ibarat kucing lapar yang disodori ikan.
Yang dipersoalkan publik adalah pernyataan
Sandiaga yang dengan mudahnya mengangkat seorang pelanggar menjadi duta atau
representasi pemerintah. Benar, seorang duta adalah seorang public figur yang
dikenal publik sehingga pesan-pesan komunikasi bisa lebih mudah disampaikan. Tapi,
penunjukannya, tetap melalui mekanisme. Seseorang tidak serta-merta diangkat
begitu saja hanya karena melanggar.
Mungkin saja, yang dilakukan Sandiaga
adalah bentuk lain dari pembelajaran. Ia sedang memberikan hukuman, tapi dengan
cara yang kreatif. Tindakannya ibarat seorang guru yang menemukan seorang anak
melanggar, kemudian memberinya sanksi dengan cara menjaga agar temannya tidak
melanggar. Hanya saja, ia tetap harus mengamati rekam jejak seorang selebritis
sebelum memintanya menjadi wakil pemerintah.
Tapi, saya justru berpikir lain. Saya
menduga Sandiaga tidak begitu serius dengan pernyataannya. Dia sengaja
mengeluarkan pernyataan kontroversial. Dia benar saat mengatakan bahwa persoalan
ini tidak perlu diperpanjang. Tapi di bagian akhir kalimatnya, ia menyelipkan
diksi perlunya mengangkat Dewi Perssik sebagai duta yang segera menyita
perhatian semua media. Ia membuat hal yang sederhana itu menjadi ramai sehingga
seolah-olah besar. Padahal ini perkara yang sering terjadi dan berulang.
Sepekan terakhir, saya banyak mengamati
pernyataan Sandiaga yang justru banyak menjadi “gorengan” media-media massa.
Saya menangkap kesan kuat kalau Sandiaga lebih populer di media karena
pernyataan-pernyataannya yang cenderung spontan dan lepas begitu saja.
Media membutuhkan sensasi. Sandiaga
melempar banyak umpan. Maka ramailah jagad media dengan pernyataan Sandiaga. Dari
sisi politik, posisi Sandiaga sebagai Wakil Gubernur justru memberinya
keleluasaan. Sebagai Wagub, ia tidak dalam posisi politik yang rawan sebab
tidak menandatangani kebijakan apapun. Ia hanya mendampingi seorang Gubernur.
Sandiaga memainkan posisi sebagai playmaker yang selalu diburu oleh
semua bek lawan, dan di saat bersamaan, sang striker berlari sendirian untuk
mencetak gol.
Ia memainkan peran Lionel Messi yang
diburu semua bek lawan, dan di saat bersamaan, posisi Luis Suarez tidak terjaga
sehingga leluasa saat menjadi target man di depan gawang.
Lihat pula media-media sepekan ini. Anies
Baswedan justru tak banyak dibahas. Ia sepi dari kejaran media. Posisi ini
memberinya keleluasaan untuk melakukan banyak hal.
Ia juga sukses “bersembunyi” dari kejaran
media yang ingin mengorek beberapa hal darinya. Entah apa yang dikerjakan
Anies, yang pasti ia bisa lebih leluasa dalam menyusun taktik dan strategi.
Memang, ada juga berita tentang Anies
mengucurkan anggaran untuk PAUD 63 miliar, serta istrinya jadi Bunda PAUD.
Namun, berita tentang Sandiaga selalu lebih heboh.
Sejauh ini kita jarang mendengar
pernyataan Anies mengenai APBD DKI Jakarta yang amburadul. Kita juga tak pernah
mendengar responnya atas berbagai dinamika yang dihadapinya. Dalam banyak hal,
ia memilih no comment. Bahkan, tak ada juga pernyataan apakah ia akan
bergabung dengan aksi reuni 212 ataukah tidak.
Bagaimanapun juga, aksi ini punya
kontribusi pada kemenangannya. Ia bisa “bersembunyi” dari kejaran media, dengan
cara mendorong Sandiaga bermain lebih agresif dan mengeluarkan diksi-diksi yang
segera akan menyita perhatian publik. Dengan cara ini, Anies tidak menjadi
sasaran tembak. Perhatian publik dipecah.
Langkah ini jelas mengundang risiko. Jika
tidak dikendalikan dengan baik ritmenya, bisa-bisa banyak blunder yang dibuat.
Dunia politik kita ibarat permainan baseball.
Ada spin dan counter spin.
Ada permainan isu, dan ada pula counter atas isu. Sandiaga menjaga ritme
dan melempar pernyataan yang bisa menggiring semua wacana.
Ia menjalankan peran yang dilakukan para
konsultan manajemen media yakni moulding the image atau merancang
serangkaian kata-kata untuk didengar dan dilihat, juga menyita ketertarikan
media.
Sebagai pubik, tugas kita adalah tidak
ikut larut dalam hal remeh-temeh seperti ini, namun tetap memelihara sikap
kritis dan peka terhadap hidden agenda yang bisa saja terjadi di
belakang. Kita harus tetap fokus mengawal agenda-agenda yang menyangkut publik,
sembari tetap kritis untuk mengamati sejauh mana kartel berperan dan menyokong
rezim terpilih di ibukota ini.
Mengingat terpilihnya Anies-Sandi karena
dukungan dari banyak kekuatan, maka pola-pola kompromi akan dipilih demi
mengatasi rasa dahaga banyak pihak, yang tentu saja berpotensi untuk membuat
masyarakat semakin terpuruk. Publik harus tetap waras biar selalu waspada.
Btw, pola spin dan counter spin ini
bukan hal baru. Pernah, dalam satu persidangan penting di Makassar pada akhir
tahun 1990-an, saya melihat pengacara OC Kaligis membawa artis Sarah Azhari dan
Zarima di ruang sidang.
Sidang, yang tadinya dipenuhi kemarahan
atas terdakwa yang diduga menilep uang petani, berubah menjadi tenang. Semua
massa dan demonstran yang marah itu tak berdaya saat Sarah Azhari datang dengan
pakaian seksi dan menyilangkan kaki.
Di akhir sidang yang memenangkan
klien-nya, OC Kaligis berkata dengan pongah. “Saya tunjukkan apa yang tidak
mungkin kalian pelajari di semua kampus. Saya sengaja bawa Sarah Azhari untuk
meredakan emosi massa. Lihat persidangan itu. Semuanya tenang karena fokus pada
pakaian seksi artis yang saya bawa.”
Entah kenapa, saya menemukan strategi
berulang sedang dimainkan Sandiaga. Ia memecah perhatian publik dengan cara
melempar diksi tertentu yang bikin geram banyak orang. Jika Dewi Perssik masuk
balai kota, maka fokus dan perhatian publik akan mengarah ke pedangdut seksi
itu.
Hari ini, saya membaca respon Dewi Persik
yang cukup cerdas. Ia menolak permintaan Sandiaga. Melalui akun instagram-nya,
ia mengatakan:
Kepada bapak yang terhormat bapak wagub
@sandiuno terimakasih atas kepercayaannya pak utk menjadikan saya DUTA
TRANSJAKARTA (BUSWAY) tapi dengan tidak mengurangi rasa hormat dan kerendahan
hati sepertinya sy blm ada kemampuan dan berani mjd duta. Lain hal kalau duta
goyang dan nyanyi blh.. krn itu bidang saya,
Respon Dewi Perssik menunjukkan bahwa ia
tahu peran apa yang harus dimainkannya, tanpa harus terjebak dengan retorika
seorang politisi. Pedangdut seksi ini cerdas.