Film EVA, Eco-Horror, dan Isyarat Antropologis
Di Epicentrum XXI, Jakarta, saya menonton film Eva: Pendakian Terakhir. Kisahnya horor, mistis, serta penuh dengan kejutan. Di kalangan para pencinta alam di Sulawesi Selatan, kisah ini sangat populer.
Bagi saya, film ini ibarat kotak pandora yang membuka banyak hal. Mulai dari perlunya terus menceritakan horor mengenai alam semesta, serta kembalinya genre eco-horror dan eco-phobia.
Jangan lupa, tanggal 16 januari 2025, film ini wajib ditonton.
***
Perempuan itu bernama Eva. Bersama rekannya, dia ikut mendaki di satu gunung. Saat itu, dia tengah berduka karena kepergian orang tuanya. Namun dia tetap ikut pendakian demi melabuh semua sedihnya. Padahal saat mendaki, dia tengah haid.
Rekannya memilih jalur berbeda, lalu mendirian tenda saat senja. Seorang rekan lain tanpa sadar mengencingi makam tua, lalu tak lama kemudian kesurupan, berbicara dalam bahasa Jawa. Dia menyebut ada yang mengencingi makam, ada juga yang datang dalam keadaan tidak suci.
Saat itu, Eva tengah menuju sungai, lalu mendengar panggilan. Eva menghilang di dekat sungai. Meski dicari rekan-rekannya, dia tak kelihatan. Dia seakan memasuki alam lain, di mana dirinya bertemu makhluk lain yang menyeramkan.
Saya menyaksikan kisah Eva: Pendakian Terakhir di bioskop Episentrum, Jakarta. Ini genre film horor, yang menyajikan banyak jump scare atau kejutan-kejutan sepanjang film.
Kisahnya mengingatkan saya pada film KKN Desa Penari, yang berkisah tentang sejumlah mahasiswa menjalani KKN di satu desa, kemudian melanggar pantangan, lalu memasuki alam siluman.
Bedanya, Eva berangkat dari kisah yang pernah terjadi di Sulawesi Selatan. Ada seorang pendaki bernama Bau Eva yang menghilang di Gunung Abbo, Barru, sekama empat hari.
Tim SAR beberapa kali menyisir tempat hilangnya Eva, namun tidak bersua. Hingga empat hari kemudian, Eva muncul di tempat itu, lalu bercerita tentang dunia kasat mata yang dimasukinya.Di media sosial, sosok Eva muncul dalam beberapa podcast. Dia menceritakan ulang semua pengalamannya saat memasuki alam lain.
Sebagaimana halnya kisah-kisah horor lainnya, saya melihat ada inkosistensi dalam cerita Eva. Kita tidak tahu persis apa yang dia alami, dan tidak ada cara untuk memverifikasi semua kisah-kisahnya.
Di kalangan pendaki di Sulawesi, kisah ini sangat populer. Media-media juga sering memuat berbagai versi cerita Eva. Tak ada narasi tunggal. Namun, ada satu benang merah yang menghubungkan semua cerita itu, yakni jika kita tidak menghormati alam, maka bencana akan datang.
Jika kita kencing sembarangan, serta mengabaikan berbagai pantangan, maka alam akan murka, mengirim hantu untuk mengganggu, yang bisa berakibat fatal.
Para antropolog menyebut genre ini sebagai ecohorror. Ini adalah genre penceritaan yang menggunakan elemen horor untuk menyoroti konsekuensi destruktif dari perilaku manusia terhadap alam.
Saya teringat bacaan dari Carter Soles dan Stephen A Rust berjudul Ecohorror Special Cluster: 'Living in Fear, Living in Dread, Pretty Soon We'll All Be Dead'. Kajian ini mengeksplorasi bagaimana genre ecohorror dapat digunakan untuk mempromosikan kesadaran ekologis, mewakili krisis ekologis, dan mengaburkan perbedaan antara manusia dan non-manusia.
Ecohorror menggambarkan alam sebagai kekuatan misterius yang bisa membalas tindakan destruksi manusia. Cerita-cerita dalam genre ini sering kali melibatkan bencana alam, serangan hewan, atau roh alam yang marah sebagai balasan atas tindakan merusak manusia.
Di Indonesia, mitologi lokal dan cerita rakyat sering menggabungkan elemen-elemen ecohorror, seperti kisah tentang penunggu gunung atau roh penjaga hutan yang akan menghukum siapa saja yang merusak lingkungan.
Cerita film Eva: Pendakian Terakhir menguatkan genre ecohorror, dengan menggambarkan adanya konsekuensi jika kita tidak menghormati alam. Kisah ini populer karena pada dasarnya semua orang Indonesia meyakini adanya makhluk-makhluk halus yang berdiam di hutan dan pegunungan.
Di beberapa masyarakat tradisional, kepercayaan ini masih lestari. Ada “hidden rationality” atau rasionalitas, jika ada merusak hutan, maka bencana akan datang, dalam bentuk banjir.
Dengan sains modern, kita bisa menjelaskan hal ini, padahal, masyarakat kita sudah lama tahu hal ini melalui eco-horror dan berbagai hikayat untuk tidak merusak hutan.
Yang perlu dikhawatirkan adalah munculnya ecophobia yang menganggap alam adalah hal yang penuh bahaya dan perlu dihindari. Padahal, kita perlu menyatu dengan alam melalui program-program konservasi dan perbaikan ekologis.
Saya pernah membaca satu kajian mengenai film horor di masa Orde Baru. Di masa itu, film horor menjadi ajang kampanye agar masyarakat meninggalkan hutan, setelah itu pemerintah dan berbagai perusahaan lalu masuk hutan, mengkapling-kapling, serta membawa mesin-mesin untuk menjarah. Lewat kisah horor, pemerintah memperkuat ideologi pembangunanisme, yang menyingkirkan warga dari hutan.
***
Di Epicentrum, seusai menyaksikan Eva, saya jumpa produsernya Anwar Mattawape. Dia adalah pengusaha yang berlatar pencinta alam. Dia bercerita tentang niatnya untuk menyelipkan pesan-pesan lingkungan melalui genre horor.
Alumnus Fakultas Teknik Unhas ini menjelaskan, dalam film Eva, ada ekspresi jari telunjuk di depan bibir. Dia melihat itu sebagai kode budaya agar kita tidak gaduh di alam. Sebagai tamu, yang menjelajah alam, kita lebih baik mendengarkan suara-suara alam, tanpa melakukan perusakan.
Saya teringat film Avatar yang dibuat James Cameron. Saat seorang marinir Jake Sully mengekspolrasi Planet Pandora dengan senjata yang sering menyalak, dia diserbu hewan liar. Naytiri, seorang warga lokal, menyelamatkannya, sembari menghardik Jake Sully untuk diam dan tidak gaduh. “You like a baby,” katanya.
Mengingat ini, saya mendapat pencerahan baru. Gerakan lingkungan akan lebih efektif jika menggunakan semua genre bercerita, termasuk menggunakan eco-horror. Lewat kisah-kisah itu, kita diajak untuk melihat alam bukan sebagai obyek mati yang diam, melainkan sesuatu yang dinamis, dan bisa memberi respon atas tindakan manusia.
Alam pun bisa murka jika kita tidak memelihara dan merawatnya. Kita bisa lihat dalam berbagai narasi bencana, mulai banjiir hingga kebakaran hutan yang menghanguskan rumah-rumah mewah di California.
Entah apa yang terjadi di sana, yang pasti, alam punya mekanisme sendiri untuk menghukum manusia atas tindakan yang abai pada alam, mengeksploitasi tanpa batas, dan meminggirkan manusia lain.
Persis kata Jake Sullly; “Sometime your whole life boils down to one insane move.”