Andi Afdal: Dari Dokter Puskesmas, Direksi BPJS, Hingga Pakar Manajemen SDM


TEPUK tangan terdengar riuh dan membahana. Saat pria itu, Dr dr Andi Afdal MBA, AKK, memasuki ruangan Ballroom BPJS di Jakarta, semua orang berdiri dan menyambutnya. Hari itu, Andi Afdal memasuki ruangan itu bukan dalam kapasitas sebagai Direktur SDM dan Umum BPJS Kesehatan. 

Dia memasuki ruangan itu sebagai penulis.

Hari itu, Jumat (17/1/2025) Andi Afdal meluncurkan buku berjudul The Art of Human Capital: Best Practices Transformasi Manajemen SDM. Buku setebal 456 halaman itu adalah kristalisasi pengalamannya selama berkarier di BPJS, dimulai dari staf hingga direktur. Dia berbagi inspirasi tentang perlunya membangun SDM kuat demi memajukan perusahaan.

Pria yang dulunya berprofesi sebagai dokter Puskemas itu tersenyum bahagia kepada semua orang. Sebagai penulis, dia telah meninggalkan jejak-jejak yang akan bertutur di sepanjang zaman, melintasi generasi ke generasi. Bukunya akan beredar dari satu perpustakaan ke perpustakaan lain, menjadi sumber inspirasi bagi siapa saja.

Sejak lulus dari Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, dia meniti karier sebagai dokter, lalu Kepala Puskesmas Kebun Sari Wonomulyo, Polmas, Sulawesi Barat. Pengalaman itu memberinya banyak pelajaran berharga, khususnya saat menyaksikan bagaimana pelayanan di lapis paling bawah.

Afdal tipe pembelajar. Hasrat ingin tahunya begitu kuat hingga dirinya terus mengejar pengetahuan.

Pria yang lahir di Makassar, 11 Mei 1973 ini memang ‘agak laen’. Saat rekan-rekannya mengejar spesialis lalu berkarier di bidang medis, dia justru menggemari ilmu manajemen dan bagaimana mengelola organisasi. 

Dia merasa pengetahuan kedokteran tak memadai untuk memahami satu persoalan secara komprehensif. Dia pun melanjutkan pendidikan untuk meraih gelar Magister Manajemen dari Universitas Gadjah Mada pada tahun 2016.

Dia pun menyelesaikan pendidikan doktoralnya dalam Ilmu Kesehatan Masyarakat di Universitas Indonesia pada tahun 2023.


Dalam buku The Art of Human Capital, dia bercerita tentang transformasi SDM di BPJS. Entah, apa karena dia berasal dari Makassar, dia mengibaratkan transformasi itu seperti perjalanan kapal yang sedang berlayar.

“Transformasi SDM saya ibaratkan seperti kapal yang terus berlayar sambil memperbaiki, mempercepat, dan memperkuat agar tetap kokoh dan siap menempuh perjalanan panjang. Tantangannya besar, tetapi di situlah terletak keindahannya,” katanya saat diminta menjelaskan buku.

Andi Afdal melihat manajemen pengelolaan sumber daya manusia bukan sekadar sains yang berhubungan dengan angka, analisis, dan sistem kerja. Baginya, manajemen adalah seni dalam mengembangkan strategi, leadership, dan bagaimana memotivasi karyawan. 

Dia melihat SDM bukan sebagai aset di belakang meja, tetapi sebagai jantung dari satu organisasi. Transformasi SDM bukan lagi pilihan, tetapi kebutuhan penting agar satu organisasi terus bergerak lincah di tengah disrupsi dan gelombang perubahan.

Dalam buku terbarunya, dia menampilkan strategi untuk menghadapi perubahan demografi tenaga kerja, termasuk pengelolaan generasi Z dan milenial sebagai agen perubahan.

Andi Afdal mengatakan, buku ini merupakan langkah kecilnya untuk meraih cita-cita besar. Dia percaya bahwa SDM adalah seni yang terus berkembang. Setiap orang harus terus belajar berinovasi agar organisasi tetap relevan dan kompetitif.

"Melalui buku ini, saya ingin berbagi pengalaman dan wawasan yang dapat membantu organisasi lain dalam menciptakan lingkungan kerja yang mendukung keseimbangan fisik, mental, dan sosial bagi para pegawai," ujarnya.

Dia menambahkan bahwa peluncuran buku ini sekaligus menjadi momentum penting untuk menekankan nilai organisasi BPJS Kesehatan, termasuk nilai-nilai INISIATIF (Integritas, Kolaborasi, Pelayanan Prima, dan Inovatif) yang menjadi fondasi dalam memperkuat budaya kerja dan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.

*** 

SUARA Utrich Farzach terdengar merdu saat memandu acara peluncuran buku. Utrich, presenter asal Makassar ini, mengundang Andi Afdal naik ke panggung. Dia juga mengundang beberapa kolega Afdal untuk ikut naik dan menerima buku dari Afdal.

Saat diskusi, pria yang berasal dari Bone ini menceritakan transformasi yang terjadi di BPJS.  Dia banyak bercerita pengalamannya saat megunjungi banyak titik di Indonesia. Hebatnya, dia mendengar semua masukan dan kritik, termasuk dari karyawannya sendiri.


Meskipun dia memegang posisi tinggi di tampuk organisasi, dia tak sedikitpun jumawa saat berhadapan dengan orang lain. Saat dia berkunjung ke Nias dan berjumpa para Duta BPJS, dia menolak untuk diposisikan sebagai atasan. 

“Posisi kita sama. Tidak ada atasan dan bawahan. Yang ada adalah fungsi dan tugas yang berbeda. Anda bertugas di sini, saya bertugas di Jakarta,” katanya.

Mungkin, di sinilah terletak seni mengelola manusia. Posisikan orang lain sejajar dan bekerja secara maksimal untuk satu organisasi. 

Belajar dari Andi Afdal, semua orang setara. Jika ingin satu organisasi terus maju dan berkembang, dengarkan semua suara-suara dan umpan balik. Perlakukan semua orang sebagai saudara yang memiliki gagasan, hasrat dan kehendak.

Andi Afdal seakan mengingatkan kalimat dari penyair Jerman, Johann Wolfgang von Goethe: “Berbicara adalah kebutuhan, mendengarkan adalah seni.”