Celoteh Seorang Prajurit Kecil yang Jumpa Letkol Deddy


Ada seorang prajurit kecil. Di pagi buta, ia merapikan kasur lipatnya, lalu bergegas ke lapangan untuk apel pertama. Langkahnya tegap, matanya menyusuri garis-garis pangkat di seragam para perwira. Di dadanya, hanya ada satu tanda. Pangkat yang begitu rendah dalam rantai panjang hierarki. Ia membayangkan, berapa jauh jalan menuju gelar kolonel.

Ia harus melewati serangkaian ujian. Bertahun-tahun. Peluh di lapangan tembak, simulasi perang, operasi militer yang mengantarnya ke perbatasan sepi. Setiap garis pangkat bukan sekadar sulaman benang, melainkan tapak panjang kesetiaan. 

Ia harus menunggu. Bertempur. Kadang harus diam, tunduk, menelan perintah tanpa pertanyaan. "Pangkat bukanlah sekadar tanda di bahu, melainkan sejarah yang tertulis di tubuh," gumamnya.

Namun, di sudut lain negeri ini, ada seorang pesulap yang tak perlu menunggu. Ia tak perlu latihan fisik. Ia tak pernah memanggul ransel berat dalam gerimis pagi atau berbaris dalam disiplin yang mengukir tubuh. Tidak ada hierarki yang mesti didakinya pelan-pelan. Tidak ada medan perang yang harus dijelajahi. 

Tapi entah bagaimana, dengan mikrofon dan sorotan kamera, dengan obrolan panjang dalam ruangan kedap suara, ia tiba-tiba bergelar  letnan kolonel. Bukan prajurit kecil, bukan letnan, bukan kapten. Langsung letnan kolonel. Begitu saja. "Mungkin di negeri ini, mikrofon lebih tajam dari pedang," seseorang pernah berbisik kepadanya.

Mungkin, di negeri ini, pangkat bukan semata-mata deretan bintang yang diperoleh dari keringat dan medan tempur. Pangkat, barangkali, adalah hadiah dari koneksi dan perbincangan yang cakap. 

Barangkali, militer bukan hanya soal perang, tetapi juga tentang membangun citra, tentang keberpihakan, tentang bagaimana suara tertentu bisa lebih berbobot dari derap sepatu lars yang basah oleh lumpur latihan. 

"Pada akhirnya, yang didengar bukan yang paling berkorban, melainkan yang paling fasih berbicara." 

Seperti yang dikatakan Friedrich Nietzsche, "Siapa yang memiliki banyak hal untuk disembunyikan, dia pun memiliki banyak alasan untuk berbicara."

Seorang pemikir besar pernah berkata, "Kaum borjuis tidak hanya memproduksi senjata yang akan membawa kehancurannya sendiri, tetapi juga para pekerja yang akan menggunakannya." 

Prajurit kecil itu, pada akhirnya, menyadari bahwa nasibnya serupa dengan proletariat dalam sistem ekonomi kapitalis—selalu bekerja keras, tetapi tetap kalah oleh mereka yang memiliki akses ke modal dan kekuasaan.

Prajurit kecil itu, pada akhirnya, hanya bisa menatap. Barangkali, ia akan tetap berbaris esok pagi. Barangkali, ia akan tetap mengencangkan ikat pinggang dan menghafal strategi tempur. 

Tapi ada sesuatu yang mulai bergeser dalam benaknya. Bahwa di dunia ini, ada dua cara untuk mencapai puncak: dengan jalan yang panjang dan terjal, atau dengan sekadar duduk di kursi empuk dan berbicara.

Sebagaimana dikatakan oleh Max Weber, "Politik adalah perjuangan untuk kekuasaan, baik di antara negara-negara maupun di dalam negara." 

Dan mungkin, dalam diam, ia bertanya: "Apakah pangkat benar-benar tentang pengabdian, atau sekadar permainan sulap yang lain?"