Coto Makassar Mengajak Kita untuk Merenung
Ada yang merasuk dalam semangkuk coto Makassar yang tak sekadar memenuhi perut, tapi juga mengusik ingatan.
Ia bukan hanya hidangan; ia adalah fragmen dari sebuah kota, sebuah cerita yang terendap dalam kuah kentalnya, dalam potongan daging yang lembut, dalam rempah-rempah yang merayu lidah.
Coto Makassar, seperti halnya Makassar sendiri, adalah sebuah perjalanan—sebuah narasi yang tak pernah selesai.
Ketika sendok pertama menyentuh kuahnya, kita seperti diajak untuk memasuki lorong waktu.
Di sana, ada jejak-jejak sejarah yang panjang: pelaut-pelaut Bugis yang menjelajah samudera, pedagang-pedagang yang membawa rempah dari jauh, dan budaya yang bertaut dalam setiap rasa.
Coto Makassar adalah hasil dari pertemuan itu—sebuah simfoni yang tercipta dari daging sapi, kacang tanah sangrai, ketumbar, lengkuas, dan serai. Ia adalah metafora dari Makassar sendiri: kompleks, kaya, dan penuh warna.
Tapi coto Makassar bukan sekadar soal rasa. Ia juga tentang ingatan. Bagi mereka yang pernah tinggal atau sekadar singgah di Makassar, coto adalah penanda.
Ia mengingatkan kita pada pagi-pagi di Losari, ketika matahari baru saja terbit dan udara masih segar. Ia mengingatkan kita pada suara hiruk-pikuk di warung-warung kecil, di mana orang-orang duduk bersama, berbagi cerita dan tawa. Ia adalah bagian dari ritme kehidupan yang pelan tapi pasti, seperti ombak yang menyapu Pantai Losari.
Namun, coto Makassar juga mengajak kita untuk merenung. Dalam setiap suapannya, ada pertanyaan: bagaimana sebuah hidangan bisa bertahan dalam waktu, sementara dunia di sekitarnya terus berubah? Bagaimana ia bisa tetap autentik, meski modernitas terus mendesak?
Coto Makassar, dalam segala kesederhanaannya, adalah sebuah perlawanan—perlawanan terhadap lupa, terhadap homogenisasi, terhadap waktu yang tak kenal ampun.
Seperti yang pernah ditulis Sapardi Djoko Damono, "Kita adalah apa yang kita ingat, dan kita ingat apa yang kita cintai."
Coto Makassar, dalam caranya sendiri, adalah sebuah "cinta"—sebuah catatan yang hidup tentang budaya, sejarah, dan identitas. Ia adalah cara Makassar menuliskan dirinya, mengukir namanya dalam ingatan kolektif.
Mungkin itu sebabnya coto Makassar tak pernah kehilangan pesonanya. Ia bukan sekadar makanan; ia adalah sebuah pernyataan. Ia adalah bukti bahwa dalam setiap budaya, ada sesuatu yang abadi—sesuatu yang tak bisa diambil oleh zaman.
Dan ketika kita menyantapnya, kita bukan hanya menikmati rasa; kita juga merayakan keberlanjutan, merayakan ingatan, merayakan hidup.
Seperti kata Pramoedya Ananta Toer, "Hidup adalah perjuangan, dan perjuangan adalah hidup." Coto Makassar, dalam segala kehangatannya, adalah salah satu cara kita mengingat perjuangan itu—perjuangan untuk bertahan, untuk tetap autentik, dan untuk terus hidup dalam ingatan.