Danantara dan Cerita-Cerita yang Tak Tersentuh


Suatu ketika, dalam sebuah perbincangan di kedai kopi, seorang teman bertanya, “Mengapa kita selalu terobsesi dengan pembangunan?” Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya menatap ke luar jendela, ke arah jalanan yang macet, trotoar yang tak ramah, dan gedung-gedung yang terus menjulang seakan ingin mencapai surga.

Danantara, nama yang terdengar puitis, seperti sebuah mantra dari zaman Majapahit, adalah mesin pembangunan kita hari ini. Ia mengelola tabungan negara, mengubahnya menjadi investasi, menyalurkannya ke proyek-proyek yang konon akan membawa kita menuju masa depan yang lebih cerah. 

Setidaknya, itulah yang sering kita dengar dari para teknokrat yang berbicara dalam bahasa angka dan grafik. Tapi masa depan seperti apa?

Ada sesuatu yang ganjil dalam cara kita memahami pembangunan. Seakan-akan, pertumbuhan ekonomi adalah sebuah hukum alam, dan investasi adalah satu-satunya doa yang dapat menyelamatkan kita dari kemunduran. Danantara lahir dari keyakinan itu: bahwa uang harus bekerja, harus berputar, harus menjadi lebih banyak lagi. Namun, benarkah itu satu-satunya jalan?

Kita telah melihat bagaimana berbagai proyek besar dijalankan dengan bendera kebangsaan, atas nama kepentingan rakyat, tetapi sering kali justru menjauh dari mereka. Jalan tol membelah desa-desa yang sunyi, gedung-gedung pencakar langit berdiri di atas kampung yang hilang, bendungan mengubah sungai menjadi ingatan. 

Dalam peta pembangunan, ada titik-titik yang bercahaya: proyek infrastruktur megah, kawasan industri baru, investasi yang tumbuh. Tapi, di sela-sela titik itu, ada ruang kosong yang sering kita lupakan—ruang tempat orang-orang yang tak terhitung dalam statistik mencari cara untuk bertahan.

Apakah Danantara memikirkan mereka?

Dalam setiap instrumen pembangunan, ada janji dan ada bayangan. Janji bahwa kita akan lebih makmur, lebih kuat, lebih modern. Tapi ada juga bayangan: ketimpangan yang semakin dalam, proyek yang gagal, dana yang bocor ke kantong-kantong gelap yang tak pernah tersentuh laporan resmi. 

Kita terlalu sering percaya bahwa investasi yang besar selalu berarti kemajuan. Padahal, sering kali, yang terjadi hanyalah perpindahan: dari satu kantong ke kantong lain, dari satu ruang ke ruang lain, dari mereka yang memiliki ke mereka yang semakin tersisih.

Pembangunan seharusnya bukan hanya tentang angka, tetapi juga tentang cerita. Danantara tidak hanya harus bertanya ke mana uang mengalir, tetapi juga ke mana kehidupan manusia bergerak. Jika ia hanya menjadi mesin yang menggemukkan dirinya sendiri, maka ia tak lebih dari mitologi baru yang kita ciptakan—sebuah ilusi tentang kejayaan yang mungkin hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang.

Saya teringat percakapan di kedai kopi itu. Teman saya mengangkat cangkirnya, menyeruput pelan, lalu berkata, “Mungkin kita tak butuh pembangunan. Mungkin kita hanya butuh jalan yang tak sekadar menghubungkan kota ke kota, tetapi juga kehidupan dengan harapan. Mungkin kita hanya butuh rumah yang tidak digusur oleh ambisi, tanah yang tidak sekadar menjadi angka di laporan investasi, dan sungai yang tak berubah menjadi kenangan.”

Saya terdiam. Ada sesuatu dalam kata-katanya yang terasa benar, meskipun sulit diterima dalam dunia yang terus berputar dengan logika pertumbuhan.

Kita hidup di era di mana pembangunan dipuja seperti agama baru. Di hadapan gedung-gedung yang menjulang, kita diajak percaya bahwa kemajuan adalah sesuatu yang kasat mata, sesuatu yang bisa dihitung dan diukur. 

Tetapi siapa yang benar-benar merasakan manfaat dari pertumbuhan ini? Siapa yang harus menyingkir untuk memberi ruang bagi jalan-jalan bebas hambatan, kawasan industri, atau mega proyek yang diklaim membawa kesejahteraan?

Danantara seharusnya lebih dari sekadar mesin perputaran uang. Ia harus mampu mendengar suara-suara yang jarang masuk dalam laporan ekonomi: suara petani yang tanahnya tergusur, nelayan yang lautnya tercemar, pedagang kecil yang kehilangan lapaknya karena trotoar yang kini diperuntukkan bagi mereka yang lebih “berdaya beli.”

Di kedai kopi itu, percakapan kami berakhir dengan hening yang panjang. Mungkin karena kami sama-sama tahu bahwa pertanyaan ini tak akan selesai di sini.

Di luar, lampu-lampu kota menyala terang. Mobil-mobil mewah melintas, sementara di pinggir jalan, seorang lelaki tua masih berjualan gorengan, menunggu pembeli yang semakin jarang datang.

Mungkin kita memang tak butuh pembangunan yang tergesa-gesa. Mungkin kita hanya butuh pembangunan yang mengingat bahwa di balik angka-angka pertumbuhan, ada manusia yang masih harus berjuang untuk sekadar bertahan.