Karaeng Pattingalloang: Di Bawah Langit yang Tak Terbatas
Malam itu, langit di Makassar adalah kanvas hitam yang dipenuhi titik-titik terang. Satu-satu bintang muncul, seperti gema dari langit yang tak pernah mati. Di dermaga, seorang lelaki berdiri, memandangi bintang-bintang itu dengan penuh keingintahuan.
Wajahnya tampak serius, seperti orang yang tengah menghitung jarak antara titik-titik cahaya di angkasa. Ia bukan hanya melihat bintang sebagai kilauan tak berarti, tetapi sebagai bagian dari suatu tatanan yang lebih besar.
Tatanan yang perlu dipahami, dihitung, dan diukur—sebuah dunia yang tersembunyi di balik cahaya.
Lelaki itu I Mangadacinna Daeng I Baile, lebih dikenal sebagai Karaeng Pattingalloang, Sebagai Tuma’ bicara butta (Perdana Menteri) Kerajaan Gowa, Pattingalloang memainkan peran penting dalam memajukan kerajaan, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun budaya.
Ia membantu memperkuat posisi Gowa sebagai pusat perdagangan dan kekuatan maritim di Nusantara. Dia melihat dunia tidak hanya melalui kacamata kekuasaan, tetapi melalui ilmu pengetahuan.
Di masa itu, zaman tengah bergejolak. Perdagangan yang berkembang pesat, hubungan dengan Eropa yang semakin intens, dan kekuasaan yang harus dipertahankan.
Tetapi ia tidak melihat dunia hanya sebagai arena untuk berperang. Ia memandang dunia sebagai ranah yang harus dipahami, dengan ilmu pengetahuan sebagai kunci untuk menguasainya.
Langit yang tak terhingga itu, bagi Pattingalloang, bukanlah tempat untuk sekadar bermimpi, melainkan untuk berpikir. Dan dalam dunia yang lebih luas itu, ia menemukan bahwa pengetahuan bukan hanya milik para pemikir di Eropa, tetapi juga milik rakyatnya yang berada jauh di Timur.
Di atas langit yang penuh bintang, Gowa menjadi sebuah titik yang menghubungkan dunia. Sebuah kota yang letaknya di antara Samudra Pasifik dan Laut Jawa, Makassar—sebuah pelabuhan yang mengundang berbagai bangsa untuk berlabuh. Arab, Portugis, Cina, hingga Belanda, semua datang, dan Gowa menjadi pusat bagi mereka untuk bertemu, bertukar barang, dan berbagi cerita.
Di sini, perdagangan bukan hanya soal barang, tetapi juga soal ide-ide yang saling mengalir. Gowa adalah titik temu bagi dunia yang semakin luas.
Namun, Gowa tidak hanya berkembang menjadi pusat perdagangan. Di bawah arahan Karaeng Pattingalloang, ilmu pengetahuan menjadi semakin penting. Ia bukan hanya seorang penguasa yang tahu cara bernegosiasi, tetapi juga seorang ilmuwan yang sadar bahwa untuk mempertahankan kekuasaan, ia harus memahami lebih banyak tentang dunia ini.
Itulah sebabnya, meskipun Gowa adalah kerajaan maritim yang berfokus pada perdagangan, Pattingalloang memandang sains sebagai sarana untuk lebih memahami dunia. Ia melihat pengetahuan bukan hanya sebagai kekuatan diplomatik, tetapi sebagai jembatan antara kebudayaan Barat dan Timur.
Di titik ini, dia berbicara dalam banyak bahasa. Di saat banyak penguasa lain merasa cukup dengan bahasa daerah dan bahasa perdagangan, Pattingalloang menguasai Arab, Melayu, Portugis, Belanda, dan sedikit bahasa Latin.
Seorang pastor bernama Alexander de Rhodes mengatakan, “Jika kita mendengar omongannya tanpa melihat orangnya, pasti kita mengira dia adalah orang Portugis sejati, karena ia berbahasa Portugis sama fasihnya dengan orang di Lisbon.”
Dengan kefasihannya itu, ia dapat berkomunikasi dengan berbagai pedagang asing yang datang. Dan lebih dari itu, ia mampu membuka pintu bagi para ilmuwan untuk mendalami pemikiran-pemikiran Barat.
Bagi orang Eropa yang datang ke Gowa, Pattingalloang bukan hanya seorang penguasa yang bijaksana, tetapi seorang yang di luar dugaan memiliki pemahaman tentang ilmu pengetahuan yang mendalam.
Seorang penulis Portugis, Manuel de Faria e Sousa, pernah menulis tentangnya, "Seandainya ia lahir di Eropa, ia akan berdiri sejajar dengan filsuf besar zaman ini."
Pattingalloang, yang lahir di Makassar, telah melampaui batas zaman dan ruangnya. Di dunia yang masih dipenuhi ketidakpastian, ia berusaha mengukir jejaknya dengan ilmu dan bahasa, menjadikannya sosok yang tak hanya menguasai kerajaan, tetapi juga ide-ide yang mengubah cara orang melihat dunia.
Puncak dari keinginannya untuk memahami dunia adalah pesanan sebuah globe raksasa dari Italia. Benda itu tiba di Gowa dengan kapal dari Eropa, dan ketika Pattingalloang memandangnya, itu bukan hanya sekadar bola dunia. Ia melihatnya sebagai gambaran tatanan semesta yang harus dipelajari, dipahami, dan dihargai. Tidak banyak penguasa di Timur yang begitu menghargai pengetahuan seperti Pattingalloang.
Sebuah bola dunia yang menunjukkan jarak antar benua, pergerakan laut, dan peta-peta yang lebih jelas tentang dunia ini.
Joost van den Vondel, penyair dan dramawan terkemuka Belanda di abad ke-17, menulis puisi berjudul “Op de Zeevaert” (navigasi laut) sebagai bentuk pujian pada Karaeng Pattingalloang yang memesan bola dunia. Dia mencatat:
"Dees Vorst, door wiens gebied de Zuiderzon daelt en klimt, En wiens vermaerdheid zich tot d’uiterste palen rimt, Verlangt een’ aardkloot, die het aardrijk kan vertoonen, En ’t geen de konst van Blaeu in ’t ronde heeft toegeront."
"Sang Penguasa ini, yang wilayahnya dilintasi oleh matahari selatan yang terbit dan terbenam. Dan yang kemasyhurannya mencapai batas-batas terjauh,. Menginginkan sebuah bola dunia, yang dapat menampilkan seluruh bumi. Dan apa yang telah dibuat oleh keahlian Blaeu dalam bentuk bulat."
Vondel menilai Karaeng Pattingalloang sebagai seorang pemimpin yang berwawasan luas dan memiliki minat besar terhadap ilmu pengetahuan. Bola dunia yang dipesan dari Joan Blaeu, seorang pembuat globe terkenal dari Belanda, menjadi simbol dari keingintahuan dan kecerdasan Pattingalloang.
Tak hanya pernah pesan bola dunia ukuran besar, atlas dan buku. Dia juga memesan peta, teropong untuk mengobati rasa penasarannya pada dunia yang luas. Isi perpustakaannya, tak hanya untuk jadi hiasan. Ia selalu membawa buku-buku karya penulis Barat.
“Khususnya buku-buku mengenai matematika, tentang mana ia sangat ahli dan begitu besar cintanya kepada setiap bagian ilmu ini, sehingga mengerjakannya siang malam.”
Menurut catatan Denys Lombard, dalam surat tanggal 3 Agustus 1641 Pattingalloang minta dikirimi lonceng besar seberat 4 hingga 5 pikul. Suratnya pada 4 Juni 1648 kepada Gubernur Jenderal VOC “ia mengharapkan menerima sepasang unta jantan dan betina.
Untuk pesanan-pesanan itu Karaeng Pattingalloang siap membayar semuanya, bukan minta gratis.
Tak hanya bola dunia saja yang dia pesan.“Karaeng Patingaloang senang memelihara badak, kuda nil, jerapah, unta, kuda Arab dan kuda Eropa, berbagai jenis antilope, zebra, dan anoa,” kata Lombard.
Beberapa kitab sains telah diterjemahkan ke dalam bahasa Makassar—astronomi, geografi, filsafat—menjadi jembatan antara dunia yang masih terpisah. Ia memberi rakyatnya akses untuk memahami dunia yang lebih luas.
Namun, sejarah tidak selalu berpihak pada impian besar seperti ini. Meski Gowa menjadi pusat peradaban, ketika kekuatan kolonial datang, impian Pattingalloang pun terkubur.
Gowa hanya bisa mempersembahkan satu peperangan paling dahsyat yang pernah dialami VOC di Nusantara. Para tubarani (ksatria) Gowa bertarung hingga titik darah penghabisan. Sebagaimana dicatat sejarawan Anthony Reid, mereka mempertunjukkan simfoni dan teater perang paling mengerikan yang disaksikan orang Eropa di neger-negeri di bawah angin timur.
Gowa jatuh, dan pengetahuan yang dibangun oleh Karaeng Pattingalloang tenggelam bersama jatuhnya kerajaan. Tapi ide-ide yang ia tanam tetap hidup. Di dalam kitab-kitab yang diterjemahkannya, di dalam globe yang pernah ia tatap dengan penuh harap, ada sebuah dunia yang tak pernah sepenuhnya hilang.
***
Di bawah langit yang sama, Karaeng Pattingalloang berdiri dengan mata penuh harapan. Ia tidak hanya melihat bintang sebagai cahaya yang jauh, tetapi sebagai bagian dari alam semesta yang harus dipahami. Dan meski Gowa runtuh, meski ilmu pengetahuan yang ia bawa ke tanah ini sempat terkubur oleh zaman, apa yang ia lakukan tetaplah penting.
Seorang lelaki dari Makassar yang melihat dunia lebih besar dari kerajaan yang ia pimpin, seorang lelaki yang berbicara dengan dunia lewat bahasa dan ilmu pengetahuan, telah menanamkan benih-benih yang akan terus berkembang, bahkan ketika langit gelap sekali pun.
Dan meskipun dunia terus berubah, ilmu pengetahuan yang ia perjuangkan akan tetap menjadi bintang yang tak pernah padam.