Kisah Seorang Pejabat Pertamina yang Mengeruk Miliaran dari Pertalite Rasa Pertamax



Sebut saja namanya Ancong. Lahir di gang sempit yang becek saat hujan, tumbuh dalam rumah kecil yang lebih banyak diisi impian daripada kenyamanan. Ibunya seorang pedagang sayur di pasar, menganyam harapan lewat penghasilan yang tak seberapa. Ayahnya buruh harian, bekerja keras tanpa kepastian, hanya berharap ada upah di akhir pekan.

Sejak kecil, Ancong tahu hidup itu keras. Setiap rupiah dihitung. Setiap sen dihargai. Saat kuliah, ia terbiasa berutang di warung makan, menunda pembayaran hingga uang kiriman berikutnya datang. 

Pernah, di suatu malam yang dingin, ia berbaring dengan perut kosong, menatap langit-langit kamar kos yang lembab, berharap pagi segera datang membawa secercah harapan.

Namun, nasib sering kali menempuh jalannya sendiri. Entah karena kerja keras, keberuntungan, atau kombinasi keduanya, roda takdir berputar. Ancong melesat dari seorang mahasiswa miskin menjadi pejabat tinggi di Pertamina—perusahaan raksasa yang mengatur energi negeri.

Ia kini mengenakan jas mahal, melangkah di lorong-lorong kantor dengan lantai marmer yang berkilauan, dan berbicara dalam angka-angka triliunan. Dulu ia takut kehabisan uang untuk makan, kini ia menandatangani proyek bernilai ratusan miliar tanpa ragu.

Dan di situlah segalanya mulai berubah.

Awalnya, ia merasa cukup. Gaji besar, bonus melimpah, dan kekuasaan yang membuat namanya diperhitungkan. Namun, keserakahan jarang datang dalam bentuk badai. Ia merayap perlahan, menyusup dalam ambisi, bersembunyi di balik dalih "kesempatan emas."

Satu proyek besar berhasil. Lalu satu lagi. Kemudian satu lagi.

Miliaran rupiah mengalir, tapi bagi Ancong, itu hanyalah angka yang terus bergerak. Tidak ada jumlah yang benar-benar cukup. Tidak ada kepuasan yang benar-benar tuntas.

Arthur Schopenhauer pernah berkata, "Keinginan manusia itu seperti air laut: semakin banyak diminum, semakin membuat haus."

Begitu seseorang mencapai satu titik pencapaian, ia segera menetapkan target baru, tanpa pernah benar-benar merasa puas. Ancong pun begitu. Dulu, ia hanya ingin hidup lebih baik. Tapi setelah mencapainya, ia menginginkan lebih. Lebih banyak uang. Lebih banyak kuasa. Lebih banyak kenikmatan.

Rumahnya kini berdiri megah dengan pilar marmer dan lampu kristal yang memantulkan cahaya kekuasaan. Di garasi, mobil-mobil mewah berderet seperti koleksi trofi kemenangan. Jam tangan ratusan juta melingkar di pergelangan tangannya, menjadi simbol status yang tak bisa diabaikan.

Namun, di luar sana, Jakarta bergerak dengan ritme yang lebih kasar.

Harga bahan bakar naik lagi. Sopir angkot memutar otak mencari cara agar bisa tetap pulang membawa uang. Seorang ibu di pinggiran kota menimbang apakah gas di dapurnya cukup untuk seminggu ke depan. Tapi bagi Ancong, semua itu hanyalah angka dalam laporan. Sekadar berita yang melintas di televisi. Tidak lebih dari variabel yang akan ia olah dalam rapat direksi esok hari.

Malam hari adalah dunia yang berbeda.

Di balik kelap-kelip neon kota, Ancong melarikan diri ke dunia yang lebih gemerlap.

Di sebuah lounge eksklusif, ia duduk dikelilingi para ledis dengan senyum menggoda dan gaun ketat yang menampakkan lekuk-lekuk di tubuhnya. Tawa, desahan, dan bisikan manja mengalir di antara botol-botol wine yang harganya cukup untuk membiayai sekolah puluhan anak miskin.

Di atas sofa empuk, ia menyebar lembaran merah ke udara, melihat wanita-wanita berebut dengan tawa menggoda. Kepuasan menjadi candu. Kenikmatan menjadi rutinitas.

Lalu, malam semakin larut.

Di sebuah kamar hotel mewah, tirai tertutup. Lampu diredupkan. Musik berganti dengan lenguhan panjang. Desir sprei yang berkerut. Nafas yang memburu dalam bayang-bayang kesenangan sesaat.

Namun, pagi selalu datang.

***

Andai Ancong pernah membaca The Psychology of Money karya Morgan Housel, ia mungkin akan menemukan satu kalimat penting: "The hardest financial skill is getting the goalpost to stop moving."

Keterampilan finansial yang paling sulit adalah berhenti menggeser garis finis.

Dulu, saat masih berjuang, Ancong berpikir bahwa mencapai gaji miliaran sudah cukup. Ia membayangkan hidup yang nyaman, tanpa kekhawatiran tentang tagihan, tanpa rasa cemas setiap akhir bulan. Namun, saat angka dalam rekeningnya terus bertambah, ia merasakan sesuatu yang aneh—sebuah kehampaan yang tak pernah ia duga.

Ternyata, uang tidak memberi kepuasan yang bertahan lama. Setiap pencapaian hanya membuka pintu menuju keinginan baru. Saat pertama kali menerima bonus besar, ia merasa seperti raja. Tapi beberapa bulan kemudian, bonus itu terasa biasa. Ia butuh lebih.

Ia membeli rumah megah, tapi tak lama kemudian, rumah itu hanya terasa seperti bangunan lain yang berdiri di atas tanahnya. Ia mengendarai mobil sport impiannya, tapi setelah beberapa bulan, ia mulai melirik model yang lebih baru. Pencapaiannya tidak membuatnya merasa menang—hanya menunda rasa lapar.

Dalam dunia Ancong, garis finis tidak pernah diam. Ia selalu bergeser. Setiap kali ia mendekatinya, garis itu menjauh, seakan menggodanya untuk terus berlari tanpa henti. Ia terus berjalan, terus mengambil, terus menumpuk. Hingga akhirnya, seperti semua kisah tentang keserakahan, ujungnya sering kali sama.

Awalnya hanya bisik-bisik. Laporan mencurigakan muncul, proyek-proyeknya diaudit, dan rekan-rekan mulai menjaga jarak. Ia masih percaya bisa lolos—seperti biasa. Namun, media mulai menyorot namanya, rekening dibekukan, dan pintu yang dulu terbuka kini tertutup rapat.

Lalu, pada suatu pagi yang mendung, pintu rumah mewahnya diketuk. Beberapa pria berseragam cokelat berdiri di ambang pintu. Tanpa banyak kata, mereka membawanya pergi. Blitz kamera wartawan menyambutnya, tapi ini bukan pesta, melainkan awal dari mimpi buruk.

Dan begitulah segalanya berakhir.

***

Pagi itu berbeda. Tidak ada aroma kopi mahal. Tidak ada pemandangan kota dari balik kaca besar. Tidak ada suara ponsel dengan notifikasi tawaran proyek baru.

Yang ada hanya ranjang besi sempit, tembok kusam, dan suara langkah sipir yang menggema di lorong panjang.

Filsuf Epicurus pernah memperingatkan bahwa manusia yang terus mengejar kekayaan tanpa batas akan berakhir dalam penderitaan. "Jika kamu tidak puas dengan yang sedikit, maka kamu tidak akan pernah puas dengan yang banyak."

Di satu kamar sempit berjeruji, Ancong merenungi dirinya. Dia yang dulu penuh nestapa, kini kembali dipeluk nestapa.

Sayup-sayup dia mendengar berita televisi: harga BBM naik, rakyat mengeluh karena membeli Pertamax tapi ternyata Pertalite. Nama Ancong kini jadi headline. Dulu, ia bermimpi mengubah nasib. Kini, ia hanya sebuah nama dalam berita korupsi.

Mulanya, dia dirundung sesal. Tapi itu cuma sementara. Saat pengacara datang dan membisikkan sesuatu. Ancong tiba-tiba saja tersenyum.

Entah apa gerangan.