Kisah Warga yang Rutin Membeli Pertamax, Ternyata Pertalite
Kesetiaan, bagi Nasruddin, bukan sekadar rasa cinta yang mengendap dalam kata-kata. Ia adalah sesuatu yang harus dihidupi, dijalani, dibuktikan. Maka, ketika pemerintah meminta rakyat membeli Pertamax—bukan Pertalite—demi mengurangi beban subsidi negara, ia menurut.
Ia tak bertanya banyak. Tak perlu. Negara tentu tahu yang terbaik. Maka, setiap kali tangki motornya kosong, ia merogoh kantong lebih dalam. Ia membayar dengan keyakinan bahwa ini bukan sekadar harga bahan bakar, melainkan harga sebuah komitmen. Sebab setia, baginya, berarti percaya.
Tetapi, apa yang tersisa dari kesetiaan ketika kepercayaan telah dikorbankan?
Suatu siang, di antara kepulan asap kendaraan yang tak pernah benar-benar hilang dari kota ini, Nasruddin membaca sebuah berita. Tentang bensin. Tentang bagaimana yang disebut Pertamax, ternyata hanyalah Pertalite dengan harga yang lebih tinggi. Tentang bagaimana kejujuran, seperti udara bersih, semakin langka di negeri ini.
Ia terdiam.
Bukan hanya karena selisih harga, tetapi karena sesuatu yang lebih halus dan lebih dalam: penghinaan. Ia membayar lebih untuk sesuatu yang ia percayai. Ia patuh. Dan sebagai balasannya, ia ditipu.
Mungkin ini hanya soal bensin. Mungkin tidak. Mungkin ini hanya selisih beberapa ribu rupiah per liter. Mungkin tidak.
Pemerintah berbicara tentang kerugian ratusan triliun. Angka yang begitu besar, hingga terasa seperti awan yang melayang-layang jauh di atas kepala rakyat. Tetapi Nasruddin tahu, bukan hanya pemerintah yang dirugikan. Rakyat juga menanggung beban—bukan hanya dalam rupiah, tetapi dalam kepercayaan yang pelan-pelan tergerus.
Ia lupa, atau lebih tepatnya, ia baru ingat: negara bukanlah rumah. Negara adalah konsep. Di balik kata “negara”, ada orang-orang dengan kepentingan. Dan kepentingan, seperti selalu, lebih setia kepada dirinya sendiri.
Di sini, yang disebut "kesetiaan" sering kali hanya berjalan satu arah. Rakyat diminta percaya, tapi mereka yang berkuasa tak merasa perlu membalasnya. Rakyat diminta patuh, tapi mereka yang berkuasa sibuk menyesuaikan aturan demi keuntungan.
Lucu, pikirnya.
Betapa sering rakyat diajari mencintai tanah air. Tetapi, apakah tanah air pernah benar-benar mencintai rakyatnya? Betapa sering rakyat diajak berkorban demi negara. Tetapi, apakah negara pernah berkorban untuk rakyatnya?
Negara begitu lihai mencatat angka: harga minyak dunia, inflasi, nilai tukar rupiah. Mereka tahu persis berapa yang hilang, berapa yang harus ditutup, bagaimana menyeimbangkan neraca. Tetapi ada satu angka yang tak pernah mereka hitung: kepercayaan.
Orwell pernah menulis, “The more a society drifts from the truth, the more it will hate those who speak it.” Semakin jauh masyarakat dari kebenaran, semakin besar kebenciannya terhadap mereka yang mengungkapkannya. Dan memang, di negeri ini, kebenaran sering kali dianggap sebagai gangguan.
Machiavelli juga pernah berkata, “The promise given was a necessity of the past: the word broken is a necessity of the present.” Janji yang diberikan adalah kebutuhan masa lalu; janji yang dilanggar adalah kebutuhan masa kini.
Pemerintah meminta rakyat percaya, tetapi ketika tiba waktunya untuk memenuhi janji, mereka berpaling.
Kepercayaan tidak punya harga. Tidak bisa dimasukkan dalam APBN. Tidak bisa dinilai dengan inflasi. Tetapi begitu ia hilang, negara tak akan mudah membelinya kembali.
Nasruddin duduk di tepi jalan, memperhatikan deretan kendaraan yang berlalu-lalang. Semua bergerak, seperti rutinitas yang tak pernah berubah. Orang-orang tetap mengisi bensin, tetap bekerja, tetap hidup.
Mungkin, pada akhirnya, negara hanyalah ilusi dari kepentingan. Seperti asap yang mengepul dari knalpot—ada, tapi tak bisa digenggam. Terlihat, tapi segera lenyap, menyisakan udara yang semakin pekat.
Mungkin, selama ini, Nasruddin berpegangan pada sesuatu yang tidak nyata. Negara, sebagaimana ia percayai selama ini, mungkin tidak lebih dari gagasan yang dikendalikan oleh segelintir orang. Ia tumbuh dengan keyakinan bahwa negara adalah rumah bagi rakyat, bahwa setiap kebijakan dibuat untuk kebaikan bersama.
Tapi semakin ia melihat, semakin ia merasa bahwa negara hanyalah alat bagi mereka yang berkuasa untuk melanggengkan kepentingan.
Dan ketika ilusi itu runtuh, yang tersisa hanyalah kenyataan pahit: bahwa rakyat sering kali sendirian dalam kesetiaannya.