Makan Bergizi Gratis di Sekolah: Indonesia vs. Jepang, Siapa Lebih Siap?
Di sebuah sekolah dasar di Tokyo, bel makan siang berbunyi tepat pukul 12 siang. Para siswa berbaris rapi, mengambil nampan mereka, lalu menuju meja makan. Di atas nampan itu, ada semangkuk nasi putih, ikan panggang, sup miso berisi sayuran segar, dan segelas susu.
Makanan ini disiapkan langsung di dapur sekolah oleh staf yang bekerja sesuai panduan ahli gizi. Setelah selesai makan, anak-anak membersihkan sendiri meja dan peralatan makan mereka sebelum kembali belajar.
Di sisi lain, di sebuah sekolah dasar di Indonesia, suasana makan siang berbeda. Tidak semua siswa mendapatkan makanan bergizi gratis. Beberapa membawa bekal dari rumah, sementara yang lain membeli jajanan di kantin.
Di beberapa daerah yang mendapat program makan bergizi gratis dari pemerintah, menu yang disajikan bisa berupa nasi, ayam atau tempe, sayur bening, dan buah. Namun, banyak sekolah masih bergantung pada inisiatif daerah atau bantuan donatur untuk memastikan semua siswa bisa makan dengan baik.
“Aku suka makan siang di sekolah karena menunya selalu berganti setiap hari dan sehat,” ujar Haruto, siswa kelas 5 di Tokyo. “Kami juga belajar tentang makanan yang kami makan, jadi aku tahu pentingnya makan sayur dan ikan.”
Sementara itu, di Indonesia, banyak siswa belum memiliki akses yang sama terhadap makanan bergizi di sekolah. “Kadang saya beli makanan di kantin, tapi tidak selalu sehat. Kalau ada makan gratis, pasti lebih baik,” kata Aisyah, siswa kelas 4 di Jakarta.
Meski sama-sama mengusung konsep makan bergizi gratis, Jepang dan Indonesia memiliki pendekatan yang sangat berbeda. Jepang telah lama menerapkan sistem makan siang di sekolah sebagai bagian dari pendidikan, sementara Indonesia masih dalam tahap membangun sistem yang lebih merata dan berkelanjutan.
Jejak Sejarah: Dari Masa Perang hingga Kebijakan Negara
Jepang memulai program makan siang sekolah pada akhir abad ke-19, tepatnya tahun 1889 di Prefektur Yamagata. Program ini awalnya hanya diberikan kepada anak-anak dari keluarga miskin.
Namun, setelah Perang Dunia II, gizi anak-anak menjadi perhatian utama karena banyak yang mengalami malnutrisi. Pada tahun 1947, dengan bantuan dari Amerika Serikat, Jepang mulai memperluas program makan siang sekolah ke lebih banyak daerah.
Sejak itu, makan siang di sekolah tidak hanya menjadi program bantuan sosial tetapi juga bagian dari sistem pendidikan yang mengajarkan kebersihan, kedisiplinan, dan kesadaran gizi.
Di Indonesia, sejarah makan gratis di sekolah lebih baru. Pada tahun 1950-an, pemerintah mulai memperkenalkan program bantuan makanan untuk anak-anak sekolah, meski masih terbatas di daerah tertentu.
Pada 2010-an, program makan bergizi mulai menjadi perhatian lebih serius, terutama setelah meningkatnya angka stunting dan gizi buruk pada anak-anak. Beberapa program seperti Makanan Tambahan Anak Sekolah dan Makan Bergizi Gratis mulai digalakkan, terutama di daerah dengan tingkat gizi buruk tinggi.
Namun, tantangan utama di Indonesia adalah keterbatasan anggaran dan infrastruktur. Tidak semua sekolah memiliki dapur atau tenaga khusus untuk menyiapkan makanan bergizi secara massal. Berbeda dengan Jepang yang sudah memiliki sistem terstruktur, Indonesia masih dalam proses membangun model yang bisa diterapkan secara nasional.
“Pemerintah terus berupaya memperluas cakupan program makan bergizi gratis, terutama di daerah dengan angka stunting tinggi,” kata seorang pejabat Kementerian Pendidikan Indonesia. “Namun, kami masih menghadapi tantangan dalam hal pendanaan dan distribusi.”
Lebih dari Sekadar Makan Siang
Makan siang di sekolah bukan hanya tentang mengenyangkan perut, tetapi juga bagian dari pembentukan pola hidup sehat sejak dini. Jepang menjadikan makan siang sebagai kesempatan untuk mendidik anak-anak tentang pentingnya nutrisi dan menghargai makanan. Siswa diajarkan untuk tidak membuang makanan dan menyadari bagaimana makanan diproduksi.
“Makan siang di sekolah Jepang mengajarkan anak-anak untuk disiplin dan bersyukur atas makanan yang mereka dapatkan,” ujar Keiko Tanaka, seorang ibu di Tokyo.
“Anak-anak juga belajar tentang kebersihan, karena mereka membersihkan meja mereka sendiri setelah makan.”
Di Indonesia, tantangan yang dihadapi bukan hanya soal penyediaan makanan, tetapi juga pola makan anak-anak yang masih dipengaruhi kebiasaan konsumsi makanan instan dan jajanan kurang sehat.
Jika program makan bergizi gratis bisa diperluas dan dikelola dengan baik, dampaknya tidak hanya akan meningkatkan kesehatan anak-anak, tetapi juga kualitas pendidikan secara keseluruhan.
“Saya berharap pemerintah bisa memberikan makan gratis di semua sekolah, terutama untuk anak-anak dari keluarga kurang mampu,” kata Siti, seorang ibu di Bandung. “Kalau anak-anak makan dengan baik, mereka pasti bisa belajar lebih baik juga.”
Indonesia mungkin belum selevel Jepang dalam hal makan bergizi gratis di sekolah, tetapi dengan komitmen yang kuat, bukan tidak mungkin suatu saat nanti, semua anak sekolah di Indonesia bisa menikmati makan siang bergizi dengan kualitas yang sama.