Menyingkap Misteri dan Pesan Tersembunyi dari Lukisan Tertua di Dunia di Gua Leang-Leang


SOROT senter menyapu dinding batu kapur yang kokoh. Di dalam Gua Leang-Leang, Maros, Sulawesi Selatan, politisi sekaligus pemerhati sejarah, Fadli Zon, berdiri tertegun di depan sebuah lukisan kuno yang terpampang di permukaan batu. 

"Ini adalah warisan luar biasa dari peradaban manusia purba," ujarnya dengan kagum. "Kita sering berpikir seni prasejarah berkembang di Eropa, tetapi ternyata Indonesia memiliki jejak seni yang jauh lebih tua."

Lukisan tersebut—sebuah gambar tangan manusia yang dicetak menggunakan pigmen merah serta sosok hewan mirip babi rusa—diperkirakan berumur sekitar 45.500 tahun, menjadikannya salah satu karya seni figuratif tertua di dunia. 

Berdasarkan penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Science Advances (Aubert et al., 2021), temuan ini menantang teori lama bahwa seni prasejarah pertama kali berkembang di Eropa.

Menurut para arkeolog, seni cadas ini adalah bukti bahwa manusia purba di Sulawesi telah memiliki kesadaran artistik dan kemampuan untuk mengekspresikan pemikiran mereka jauh sebelum berkembangnya seni di peradaban lain. 

Dr. Maxime Aubert, arkeolog dari Griffith University, Australia, menegaskan bahwa "Penemuan ini mengubah cara kita memahami asal-usul seni dan menunjukkan bahwa manusia prasejarah di Asia Tenggara sudah memiliki tradisi artistik yang kaya."

Makna di Balik Lukisan Leang-Leang

Selain menjadi bukti peradaban seni tertua, lukisan tangan dan babi rusa di Gua Leang-Leang juga diyakini memiliki makna simbolis yang mendalam. Dr. Adam Brumm, arkeolog dari Griffith University, menyatakan bahwa cetakan tangan kemungkinan merupakan bentuk ekspresi identitas individu atau kelompok. "Lukisan tangan ini bisa jadi semacam tanda kehadiran atau bahkan bagian dari ritual spiritual masyarakat purba," katanya.

Sementara itu, gambar hewan yang ditemukan, seperti babi rusa, diyakini mencerminkan hubungan erat antara manusia purba dengan alam. Dr. Iwan Sumantri, arkeolog dari Universitas Hasanuddin, menjelaskan bahwa masyarakat pemburu-pengumpul pada masa itu mungkin menggunakan seni cadas sebagai bentuk komunikasi antar-generasi. "Mereka mungkin menggambarkan hewan buruan sebagai bentuk penghormatan atau bagian dari ritual perburuan," ujarnya.

Beberapa ahli juga berpendapat bahwa lukisan ini bisa berhubungan dengan sistem kepercayaan kuno. Dr. Michelle Langley, peneliti seni prasejarah dari Griffith University, menyebut bahwa lukisan gua seperti ini sering dikaitkan dengan praktik spiritual, mungkin sebagai bagian dari doa atau harapan untuk keberhasilan berburu. 

"Lukisan seperti ini ditemukan di banyak budaya prasejarah di dunia, dan sering kali memiliki makna religius atau simbolik yang mendalam," katanya.

Leang-Leang Archaeological Park

Pada 14 Januari 2025, Fadli Zon meresmikan Leang-Leang Archaeological Park, sebuah langkah besar dalam upaya pelestarian seni cadas tertua di dunia. Dalam peresmian tersebut, ia menegaskan bahwa situs ini bukan hanya kekayaan nasional, tetapi juga warisan dunia. "Ini salah satu bukti bahwa Indonesia memiliki peradaban tertua di dunia. Harus makin banyak orang Indonesia datang ke tempat ini," ujarnya.

Selain meresmikan taman arkeologi, Fadli Zon juga membuka Pusat Informasi Leang-Leang yang dilengkapi dengan teknologi Virtual Reality. Dengan fasilitas ini, pengunjung dapat merasakan pengalaman virtual menjelajahi gua-gua purba dan memahami lebih dalam tentang alat batu serta seni cadas yang ada di lokasi tersebut. Dalam sambutannya, ia menyamakan Leang-Leang dengan destinasi wisata kelas dunia seperti Pompei di Italia dan Petra di Yordania, tetapi dengan usia yang jauh lebih tua.

Lukisan di Gua Leang-Leang

Peresmian ini menandai komitmen pemerintah dalam menjaga dan mempromosikan warisan budaya, serta mengukuhkan peran Nusantara sebagai titik awal evolusi dan ekspresi budaya manusia. 

Fadli Zon berharap Leang-Leang dapat menjadi pusat riset dan destinasi wisata internasional, serta menekankan pentingnya kerja sama antara pemerintah, akademisi, dan komunitas dalam mengembangkan serta melestarikan situs bersejarah ini.

Pentingnya Pelestarian Lukisan Prasejarah

Meski telah mendapat perhatian lebih besar, tantangan pelestarian seni cadas ini tidaklah kecil. Dr. Adam Brumm, salah satu peneliti dari Griffith University, menjelaskan bahwa perubahan iklim dan aktivitas manusia dapat merusak lukisan secara perlahan. "Gua-gua di Maros mengalami ancaman serius akibat perubahan suhu, kelembaban, dan pertumbuhan mikroorganisme yang bisa mengikis pigmen lukisan," ujarnya.

Selain faktor alam, aktivitas manusia juga menjadi ancaman nyata. Tingginya jumlah wisatawan yang berkunjung tanpa regulasi yang ketat dapat mempercepat kerusakan akibat peningkatan kadar karbon dioksida dan kelembaban di dalam gua. 

Oleh karena itu, pembatasan akses wisatawan perlu dipertimbangkan agar lingkungan di sekitar lukisan tetap terjaga. Pemantauan dan riset berkala juga menjadi kunci dalam menjaga kelangsungan seni prasejarah ini. Pemerintah dan akademisi harus bekerja sama dalam melakukan pengawasan serta mencari teknik konservasi terbaik agar lukisan tidak semakin memudar.

Selain itu, kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga situs bersejarah harus ditingkatkan. Kampanye edukasi mengenai nilai budaya dan ilmiah lukisan Gua Leang-Leang dapat membantu mencegah tindakan vandalisme maupun kelalaian yang dapat merusak warisan ini. 

Bahkan, kerja sama dengan pakar konservasi internasional dapat menjadi langkah strategis untuk menemukan metode terbaik dalam melindungi seni cadas ini dari ancaman kerusakan lebih lanjut.

Dr. Iwan Sumantri menegaskan bahwa konservasi harus menjadi prioritas utama. "Jika tidak ditangani dengan baik, dalam beberapa dekade ke depan kita bisa kehilangan salah satu bukti tertua keberadaan seni manusia," katanya.

Bagi para wisatawan dan peneliti yang datang ke Gua Leang-Leang, pengalaman menyaksikan lukisan purba ini terasa seperti melangkah ke lorong waktu. Andi, seorang mahasiswa arkeologi Universitas Hasanuddin, berpendapat, "Ini bukan sekadar gambar di dinding gua. Ini adalah bukti bahwa manusia sejak zaman purba telah memiliki pemikiran yang kompleks dan budaya yang kaya."

Gua Leang-Leang, dengan segala rahasianya, terus mengundang rasa penasaran dan kekaguman, seolah ingin berbisik bahwa manusia dan seni telah berjalan berdampingan sejak awal peradaban. Namun, tanpa langkah nyata untuk pelestarian, bisa jadi bisikan itu suatu hari nanti akan sirna bersama hilangnya jejak seni tertua di dunia ini.