Pallu Basa dan Waktu yang Mengental


Keringat mengalir di pelipisnya. Seorang pria dengan wajah lelah duduk di bangku kayu, satu kakinya naik ke kursi, sikunya bertumpu di atas lutut. 

Di hadapannya, semangkuk pallu basa mengepulkan asap, kuahnya pekat berwarna cokelat keemasan, bumbu rempah masih menguar di udara. 

Ia menyeruput perlahan, membiarkan panasnya memenuhi mulut, menelannya dengan mata sedikit terpejam. 

Di tubuhnya, ada jejak kerja keras. Di mangkuknya, ada kehangatan yang menunggu untuk dituntaskan.

Di sekelilingnya, warung kecil itu penuh. Orang-orang duduk berdesakan, sendok beradu dengan mangkuk, obrolan berkelindan dengan aroma lengkuas, ketumbar, dan kelapa sangrai. 

Di sudut, panci besar masih terus mendidih, seakan tak pernah berhenti sejak pagi. Di tempat ini, makanan bukan sekadar makanan—ia adalah bagian dari hidup, ritme yang telah ada jauh sebelum kota ini mengenal deru kendaraan dan gedung pencakar langit.

Mereka tidak sekadar makan. Mereka seperti mengulang sebuah ritus.

Sejarah pallu basa bukanlah sejarah kemewahan. Ia tidak lahir di dapur kerajaan, bukan pula bagian dari hidangan yang tersaji dalam pesta bangsawan. Ia berasal dari sudut-sudut kota Makassar, dari para pekerja, nelayan, dan buruh kasar yang tidak punya hak atas potongan daging terbaik.

Daging, dulu, adalah simbol kelas. Para bangsawan menikmati bagian-bagian pilihan: has dalam yang lembut, iga yang berlemak, paha yang kokoh. Yang tersisa—jeroan, kaki, kulit—dibuang atau dijual murah. 

Tapi orang-orang kecil, seperti selalu terjadi dalam sejarah, menemukan cara untuk bertahan. Mereka mengumpulkan sisa-sisa itu, merebusnya perlahan dengan rempah-rempah yang mereka kenal baik: lengkuas, kunyit, ketumbar, jintan. Mereka menambahkan kelapa parut yang disangrai, membuat kuahnya lebih kental, lebih gurih.

Mereka menciptakan sesuatu dari yang tidak diinginkan. Dari ketidakberdayaan, mereka menciptakan rasa.

Di dalam setiap tetes kuah pallu basa, terdapat sejarah yang pekat. Bumbu yang mereka gunakan bukan sekadar bumbu. Itu adalah jejak masa lalu, bukti bahwa Makassar pernah menjadi salah satu pusat perdagangan rempah dunia. 

Dari timur, datang cengkih dan pala. Dari barat, merica dan kayu manis. 

Dalam satu mangkuk pallu basa, ada perjalanan ratusan tahun, ada jejak kapal-kapal yang berlabuh dan berlayar kembali, ada kisah pertemuan yang melahirkan rasa.

Sejarawan Fadly Rahman pernah mengatakan, "Dalam setiap kuliner tradisional, ada narasi tentang bagaimana masyarakat bertahan di tengah keterbatasan. Makanan tidak hanya tentang rasa, tetapi juga strategi bertahan hidup.”

Pallu basa adalah bukti dari itu. Ia lahir dari sisa, dari keterpaksaan, lalu menjelma menjadi identitas.

Seiring waktu, pallu basa berubah. Dari makanan rakyat jelata, ia perlahan naik kasta. Di tahun 1980-an, warung-warung yang menjual pallu basa mulai bermunculan di Makassar. 

Salah satu yang paling terkenal adalah Pallu Basa Serigala, yang membawa hidangan ini dari warung sederhana ke ikon kuliner kota. Orang-orang mulai datang bukan hanya untuk makan, tetapi untuk mengalami sesuatu yang lebih dalam: rasa yang membawa mereka kembali ke masa lalu, atau bagi yang lain, ke sebuah identitas yang ingin mereka pahami.

William Wongso pernah berkomentar bahwa "Kuliner daerah adalah jembatan yang menghubungkan orang-orang dengan akar budayanya. Dalam satu suapan, ada sejarah, ada tradisi, ada ingatan kolektif.”

Kini, pallu basa bukan lagi hanya makanan pekerja. Ia telah masuk ke restoran-restoran modern, dimodifikasi agar lebih menarik bagi mereka yang ingin sesuatu yang lebih mewah. Ada yang menyajikannya dengan daging wagyu, ada yang menggantikan nasi dengan roti, ada yang menyesuaikannya agar lebih Instagrammable.

Namun yang menarik, pallu basa tidak lagi hanya milik Makassar. Ia telah melanglangbuana ke berbagai kota, menyajikan rasa sejarah yang pekat di luar tanah kelahirannya. Di Jakarta, misalnya, pallu basa telah lama hadir, merambah berbagai sudut kota. Di kawasan Kelapa Gading, hidangan ini mudah ditemukan, disajikan dengan rasa yang masih setia pada akarnya.

Lebih dari itu, pallu basa bergerak mengikuti jejak diaspora orang Bugis-Makassar. Seperti para pelautnya yang telah berlayar jauh sejak abad ke-17, kuliner ini menyeberangi lautan, merambah Kalimantan, Sumatera, hingga ke negeri-negeri di Semenanjung Malaya. 

Di Bugis Street, Singapura, aroma rempah khas pallu basa masih terasa, menjadi jejak yang tertinggal dari para perantau yang membawa lebih dari sekadar nama, tetapi juga selera.

Mungkin itulah yang membuatnya bertahan. Ia bukan sekadar makanan, tetapi cerita yang bisa berpindah tempat tanpa kehilangan jiwanya.

Seorang pelanggan tua di sudut warung, mengaduk kuning telur mentah dalam mangkuknya, berkomentar pelan, “Segala sesuatu yang lahir dari penderitaan, bertahan lebih lama dari yang lahir dari kemewahan.”

Mungkin ia benar.

Di luar warung, malam terus bergerak. Antrean masih panjang. Kuah masih mendidih di panci besar, bumbu masih menguar di udara. Dan waktu, seperti pallu basa, terus mengental.