Penahanan Hasto: Saat Hukum dan Politik Berdansa dalam Bayangan

Ada yang terasa akrab dalam berita itu. Penahanan. Waktu yang seakan berulang. Kita menyaksikan seorang kader partai, seorang sekjen, dibawa oleh aparat dengan sorot kamera yang tajam, dengan ekspresi yang setengah antara perlawanan dan kepasrahan. 

Seperti sebuah peristiwa yang telah terjadi sebelumnya. Seperti sejarah yang tak pernah benar-benar selesai.

Dalam politik, ingatan adalah milik yang berharga. "Siapa yang mengontrol masa lalu, mengontrol masa depan. Siapa yang mengontrol masa kini, mengontrol masa lalu," tulis George Orwell dalam 1984. 

Dan bagi PDI Perjuangan, ingatan tentang represi, tentang keterasingan dari lingkar kekuasaan, bukanlah sesuatu yang asing. Partai ini pernah dilarang, pernah menjadi oposisi di masa Orde Baru, pernah merasa dipinggirkan. 

Pernah pula, di era reformasi, melihat kader-kadernya harus berhadapan dengan hukum. Apakah ini ujian yang kembali datang, atau hanya sekadar pengulangan?

Hasto Kristiyanto kini ditahan. Tuduhan yang dilontarkan kepadanya bukanlah sekadar berita, tetapi juga gema dari sesuatu yang lebih dalam—relasi antara politik dan hukum yang selalu tak selesai dipertanyakan. 

Bagi lawan politiknya, ini adalah bukti bahwa tak ada yang kebal. Bagi para pendukungnya, ini adalah serangan politik yang dikemas dengan dalih penegakan hukum. Kebenaran, seperti biasa, berada di antara keduanya, atau malah di luar keduanya.

Namun, Hasto bukan sekadar sosok yang hadir mendadak dalam politik. Ia telah lama berkecimpung dalam PDI Perjuangan, mulai dari menjadi akademisi hingga menjadi figur penting dalam kepemimpinan partai. 

Perjalanannya hingga menjadi Sekretaris Jenderal adalah cerita tentang loyalitas dan strategi, tentang bagaimana ia membangun jaringan politik yang kuat dan memainkan peran dalam dinamika internal partai.

Namun, lebih dari soal individu, ini adalah soal institusi. Bagaimana PDI Perjuangan menanggapi ini? Apakah akan merapatkan barisan, menyusun narasi bahwa ini adalah perlawanan terhadap otoritarianisme baru? Ataukah akan menyesuaikan diri dengan keadaan, membaca peta kekuasaan, dan merancang strategi baru?

Satu langkah konkret telah diambil: partai telah melarang kepala daerah dari PDI Perjuangan untuk melakukan retret di Magelang, sebuah simbol perlawanan yang mulai terbentuk.

Di tengah semua ini, satu sosok yang paling dinanti gerak jemarinya adalah Megawati Soekarnoputri. Sebagai pengendali utama partai, semua kader menunggu arahan darinya. Ini bukan sekadar ujian bagi partai, tetapi juga bagi Megawati sendiri. 

Setelah sepuluh tahun berada dalam lingkar kekuasaan, ia kini harus menavigasi partai dalam lanskap politik yang berubah. Usianya kian menua, tetapi pengaruhnya tetap dominan.

Akankah ia membawa partai kembali ke jalur oposisi dengan ketegasan yang sama seperti masa lalu, atau memilih strategi lain yang lebih lentur? Jawabannya akan menentukan arah politik PDI Perjuangan ke depan.

Di titik ini, kemudi Megawati menjadi penting. Hasto hanyalah seorang kader, dan ada ribuan bahkan jutaan kader lain yang siap untuk menggantikannya dalam memasuki palagan dan pertarungan politik. Mereka adalah banteng-banteng yang perkasa, meski terluka. 

Penahanan Hasto tidak harus membuat partai abai pada agenda-agenda kebangsaan. Sebab, bagi partai yang telah ditempa dalam berbagai ujian, politik bukan hanya soal individu, tetapi juga soal gerakan dan kelangsungan perjuangan.

Menjadi oposisi bukanlah hal baru bagi partai ini. Pernah mereka ada di luar lingkar kekuasaan, berseberangan dengan rezim, dan tetap bertahan. Tapi politik selalu bergerak, dan tak ada yang benar-benar sama. 

Kini, dengan dinamika yang berubah, pertanyaannya bukan lagi apakah PDI Perjuangan bisa bertahan sebagai oposisi—mereka sudah pernah menjalaninya. Pertanyaannya adalah, apakah mereka bisa mengubah oposisi menjadi jalan yang benar-benar memberi makna, bukan sekadar peran yang terpaksa dimainkan karena tikaman keadaan?

Seperti yang pernah dikatakan Antonio Gramsci, "Krisis justru terjadi ketika yang lama belum mati, dan yang baru belum lahir." Dan bagi kita, publik yang menyaksikan ini, barangkali yang lebih penting bukan sekadar siapa yang ditangkap, siapa yang menang, siapa yang kalah.

Tetapi bagaimana hukum dan politik terus berdansa dalam bayangan, dengan irama yang hanya bisa diterjemahkan oleh mereka yang berada di tengah pusaran kekuasaan. 

Pada akhirnya, ingatan akan menentukan bagaimana kita melihat peristiwa ini—sebagai tragedi, sebagai siklus, atau sebagai sesuatu yang lain, yang mungkin baru akan kita mengerti bertahun-tahun dari sekarang.

Sebagaimana Bung Tomo pernah berkata, "Selama banteng-banteng Indonesia berdarah merah, yang mampu membikin secarik kain putih jadi merah dan putih. Maka selama itu kita tidak akan menyerah." 

Mungkin inilah ujian bagi PDI Perjuangan, untuk menentukan apakah mereka masih memiliki semangat perjuangan itu, atau sekadar menjadi bagian dari ritme kekuasaan yang selalu berulang.