Pramoedya: 100 Tahun Suara dan Sunyi
Satu abad sejak kelahirannya, Pramoedya Ananta Toer tetap menjadi gema. Ia seperti petikan gitar yang tak henti beresonansi dalam ruang sejarah yang kadang tuli. Di antara lembaran-lembaran bukunya, kita menemukan bukan sekadar cerita, tetapi juga pertanyaan—tentang bangsa, tentang kebebasan, tentang manusia.
Seratus tahun adalah waktu yang panjang, tapi Pram seperti tak pernah benar-benar pergi. Ia tetap hadir dalam obrolan warung kopi, dalam kutipan-kutipan di media sosial, dalam wacana akademik yang selalu berusaha menafsirkan ulang jejaknya. Ia menulis dengan tekad yang nyaris utopis, seolah tak percaya bahwa kata-kata bisa dibungkam. Tapi sejarah tahu: kata-kata selalu menemukan jalannya sendiri.
Kita mengingatnya sebagai seorang sastrawan yang diasingkan, sebagai seorang tahanan politik yang dipenjara tanpa pengadilan, sebagai seorang pengarang yang tak berhenti menulis bahkan ketika buku-bukunya dilarang.
Namun, di balik semua itu, Pram adalah seorang manusia yang gelisah. Ia ingin bangsanya mengingat dari mana mereka berasal, ingin generasi sesudahnya tak hanya menerima sejarah sebagai doktrin, tetapi sebagai sesuatu yang harus terus diperiksa.
Hidup Pramoedya adalah catatan panjang tentang pengasingan dan penderitaan. Ia masih remaja ketika Jepang datang, dan ia dipaksa melihat bagaimana tanah kelahirannya menjadi ladang perang. Setelah kemerdekaan, ia ikut bertarung dengan kata-kata, menjadi saksi bagaimana republik yang diperjuangkan dengan darah berubah menjadi panggung kekuasaan yang sering tak berpihak pada rakyatnya.
Di zaman Orde Lama, ia dipenjara oleh pemerintah Soekarno karena kritik-kritiknya yang tajam. Tapi itu belum seberapa dibandingkan apa yang terjadi setelahnya. Di bawah Orde Baru, Pram dicabut dari peradaban, dikirim ke Pulau Buru—sebuah pulau sunyi yang lebih mirip kuburan bagi pikiran.
Di sana, ia dan ribuan tahanan politik lainnya dipaksa bekerja tanpa alasan yang jelas. Ia menyaksikan kawan-kawannya mati satu per satu, terkubur tanpa nama, tanpa nisan.
Namun, Pramoedya tidak menyerah. Di tengah kekejaman itu, ia tetap menulis—dengan ingatan, dengan suara, dengan keyakinan bahwa sejarah tidak boleh hanya menjadi milik penguasa.
Di Pulau Buru, tanpa pena dan kertas, ia mulai merangkai Bumi Manusia, menceritakannya secara lisan kepada kawan-kawan sepenjara. Ketika akhirnya ia diizinkan menulis, lahirlah Tetralogi Buru, mahakarya yang kemudian diterjemahkan ke lebih dari 40 bahasa, dibaca di seluruh dunia, tetapi dilarang di negerinya sendiri.
Namun, yang menjadikan Pramoedya lebih dari sekadar penulis besar adalah kenyataan bahwa ia adalah titik tertinggi yang pernah dicapai seorang sastrawan yang berkarya dalam bahasa Indonesia. Ia satu-satunya penulis Indonesia yang pernah masuk nominasi Hadiah Nobel Sastra, sebuah pengakuan yang tak datang dari negara yang membesarkannya, tetapi dari dunia yang mendengar suaranya.
Buku-buku Pram menjadi bahan kajian di kelas-kelas sastra dan sejarah di berbagai universitas ternama di dunia. Mahasiswa di Amerika Serikat, Belanda, Jerman, hingga Jepang membaca Bumi Manusia untuk memahami kolonialisme dan perjuangan bangsa terjajah.
Namun, ironinya, di negeri tempat ia lahir dan berkarya, karyanya nyaris terabaikan. Tak banyak sekolah yang memasukkannya dalam kurikulum, tak banyak perpustakaan yang menyediakannya di rak. Pram lebih dihargai di luar negeri ketimbang di tanah airnya sendiri—sebuah absurditas yang terlalu sering terjadi dalam sejarah Indonesia.
Tapi Pram juga tahu, sejarah adalah ironi yang terus berulang. Kita merayakan 100 tahun kelahirannya, tetapi apakah kita sudah betul-betul mendengarkan suaranya? Kita mengenangnya sebagai pejuang literasi, tetapi berapa banyak buku-bukunya yang benar-benar dibaca oleh generasi baru?
Seratus tahun Pramoedya adalah seratus tahun pertanyaan. Ia tak ingin dipuja seperti patung yang diam, ia ingin dibaca, diperdebatkan, diperiksa ulang. Ia tidak butuh perayaan, ia butuh percakapan yang terus hidup.
Sebab itulah satu-satunya cara agar sejarah tak hanya menjadi ingatan, tetapi juga peringatan.