Saat Adi Maulana Menafsir Bumi


Di bawah tanah, di kedalaman yang tak terjamah oleh mata telanjang, sejarah dunia direkam dalam bisu. Lapisan demi lapisan batuan adalah kalimat-kalimat yang tak terbaca oleh sembarang orang, kecuali mereka yang bersedia menyusuri sunyi, mendengar yang tak bersuara, dan mencari yang tersembunyi.

Adi Maulana, lelaki kelahiran 28 April 1980, memilih jalan itu. Geologi, baginya, bukan sekadar ilmu tentang batu, melainkan upaya memahami bagaimana dunia ini bekerja—bagaimana lempeng bertemu dan berpisah, bagaimana magma membentuk daratan, bagaimana mineral terkubur untuk kemudian ditemukan kembali oleh tangan-tangan manusia.

Sejak kecil, mungkin tanpa sadar, ia telah tertarik pada narasi bumi yang tua. “Saya selalu penasaran bagaimana sebuah batu bisa ada di sana, bagaimana ia terbentuk, dan mengapa bentuknya seperti itu,” katanya suatu ketika dalam sebuah wawancara.

Maka, tak heran ketika dewasa, ia memilih Universitas Hasanuddin di Makassar sebagai pelabuhan pertama. Tahun 1997, ia masuk ke Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik Unhas, mendalami batuan, patahan, dan formasi geologi yang menyimpan sejarah dunia.

Tak hanya belajar, ia juga aktif di organisasi mahasiswa. Ia pernah menjabat sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Geologi, tempat ia belajar bahwa ilmu bukan sekadar hafalan di ruang kelas, melainkan harus diuji di lapangan, dibagikan, dan diperdebatkan. Ia lulus sebagai sarjana, membawa serta semangat petualangan intelektualnya yang tak pernah padam.

Tetapi membaca dunia tak cukup dengan hanya satu perspektif. Seperti seorang petualang yang tahu bahwa peta hanya berguna jika dibandingkan dengan lanskap nyata, Adi pergi. Ke Australia, ke Jepang, ke Amerika Serikat. 

Ia mencari pengetahuan yang lebih dalam, lebih luas, lebih tajam. Di Kyushu University, Fukuoka, ia membenamkan diri dalam petrologi dan geokimia, memahami bagaimana unsur-unsur langka di Sulawesi menyimpan cerita yang lebih tua dari peradaban manusia.

Fisikawan Carl Sagan pernah berkata, "Somewhere, something incredible is waiting to be known." (Di suatu tempat, sesuatu yang luar biasa sedang menunggu untuk ditemukan). Dan mungkin, itulah yang selalu mendorong Adi Maulana untuk terus mencari.

Dari Jepang, ia mengikuti berbagai program akademik dan penelitian hingga ke Amerika Serikat. Salah satu momen penting dalam perjalanannya adalah ketika ia terpilih untuk mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP), sebuah program bergengsi yang mempertemukan para pemimpin masa depan dari berbagai negara dengan institusi-institusi penting di AS.

“Ilimu harus diuji di tempat yang jauh,” seorang profesor pernah berkata kepadanya. Maka, Adi menerjemahkan bebatuan menjadi hipotesis, hipotesis menjadi kesimpulan, dan kesimpulan menjadi temuan yang menggema di forum-forum ilmiah internasional.

Di Amerika, ia bertemu dengan para pakar, pejabat, dan pemikir global, berdiskusi tentang eksplorasi sumber daya alam dan bagaimana ilmu pengetahuan bisa menjadi pilar pembangunan yang berkelanjutan. “Kita harus berhenti hanya menjadi penonton di negeri sendiri,” katanya dalam satu kesempatan. “Sumber daya kita luar biasa, tapi tanpa pemahaman yang cukup, kita hanya akan menjadi penonton dari eksploitasi besar.”

Lalu ia pulang. Sebab, sejauh apa pun perjalanan seseorang, ada sesuatu yang selalu memanggilnya kembali. Universitas Hasanuddin, tempat ia pertama kali belajar membaca bumi, kini menyambutnya kembali sebagai seorang Guru Besar. 

Tetapi jabatan itu, seperti halnya semua gelar akademik, hanya sekadar penanda administratif. Yang lebih penting adalah apa yang ia bawa pulang: cara berpikir yang lebih luas, cara bertanya yang lebih kritis, dan keyakinan bahwa ilmu harus kembali ke masyarakat, seperti sungai yang akhirnya menemukan lautnya.

Sebagai Wakil Rektor Bidang Kemitraan, Inovasi, Kewirausahaan, dan Bisnis, Adi Maulana dipercaya untuk membawa Unhas lebih dekat ke dunia industri dan inovasi. Tetapi ada hal yang tak bisa ia lepaskan—hasratnya sebagai peneliti. Seorang akademisi bisa menduduki jabatan administratif, tetapi panggilan ilmu sering kali lebih kuat daripada segala bentuk birokrasi.

Salah satu penelitian terbesarnya adalah tentang mineral tanah jarang—unsur-unsur kritis yang menjadi bahan utama dalam teknologi tinggi, dari ponsel hingga kendaraan listrik. Indonesia, dengan kekayaan geologinya, menyimpan potensi besar dalam mineral tanah jarang, tetapi pemanfaatannya masih minim. 

Adi ingin mengubah itu. Dengan risetnya, ia menunjukkan bahwa Sulawesi dan daerah lainnya di Indonesia bisa menjadi pemain utama dalam rantai pasok global mineral strategis ini.

Ketika gempa mengguncang Palu pada tahun 2018, dunia bertanya: Mengapa ini terjadi? Bagaimana mekanismenya? Adi Maulana, yang memahami bahasa bumi, maju ke depan.

Ia menjelaskan kepada publik, kepada ilmuwan, kepada media internasional tentang patahan Palu-Koro yang bergerak cepat, tentang bagaimana bencana itu bukan sekadar kehendak alam yang tak terduga, tetapi sebuah fenomena yang dapat dipelajari, dipahami, dan diantisipasi.

Bagi Adi Maulana, setiap guncangan adalah bisikan semesta.

Di balik tanah yang terbelah, di antara batuan yang bergeser, bumi sedang berbicara. Tentang masa lalu yang bisa dijadikan peringatan. Tentang masa depan yang bisa dipersiapkan. Tentang sebuah negeri yang ditakdirkan untuk hidup di atas sesuatu yang terus bergerak, dan bagaimana manusia di dalamnya harus belajar membaca tanda-tanda.

Fisikawan peraih Nobel, Richard Feynman pernah berkata, "I would rather have questions that can't be answered than answers that can't be questioned." (Saya lebih memilih memiliki pertanyaan yang tak bisa dijawab daripada jawaban yang tak bisa dipertanyakan). 

Dan mungkin, itulah yang membuat Adi Maulana tetap gelisah—bahwa setiap jawaban yang ia temukan akan selalu menuntun pada pertanyaan baru.

Sebagai Wakil Rektor, ia tak hanya mengurusi kampus, tetapi juga merancang masa depan—menjembatani universitas dengan dunia, menghubungkan mahasiswa dengan inovasi, mengingatkan bahwa ilmu bukan hanya tentang teori, tetapi tentang bagaimana memahami dunia dan mengubahnya.

Seperti lempeng tektonik yang bergerak, perjalanan manusia juga tidak pernah diam. Adi Maulana telah pergi ke banyak tempat, tetapi mungkin, seperti batuan yang terbentuk karena tekanan dan waktu, ia kini menemukan bentuknya yang paling solid.

Ia telah membaca bumi, dan kini, ia menuliskan kisahnya sendiri.

Atau mungkin, perjalanan ini belum selesai. “Ilmu pengetahuan selalu berkembang,” katanya suatu hari. “Dan kita, sebagai manusia, hanya bisa mencoba mengejarnya.”