Seolah Politik adalah Parade, Seolah Demokrasi Butuh Barak
Di suatu senja yang kelabu, di tanah yang dulu bergetar oleh gema reformasi, kita menyaksikan satu demi satu simbol lama kembali hadir. Ada menteri, ada kepala daerah, ada disiplin dalam barisan. Ada suara komando, ada sorak-sorai hormat kepada hierarki. Mereka berlatih, berbaris, mengenakan seragam. Seolah politik adalah parade. Seolah demokrasi butuh barak.
Prabowo Subianto, presiden kita, menggagas acara bernuansa militer untuk para pejabat sipil. Tak hanya sekadar seremoni, ini adalah pesan. Pesan bahwa kepemimpinan harus tegak, harus tegas, harus satu suara. Tapi apakah itu demokrasi?
Kita mengingat reformasi sebagai titik balik. Tahun 1998, rakyat turun ke jalan. Mereka mengusir ketakutan yang sudah lama bertengger di kepala. Mereka menuntut agar militer kembali ke barak, agar politik diurus oleh mereka yang dipilih, bukan mereka yang memberi perintah. Militer, dengan gagah, menyerahkan sebagian besar peran sipilnya. Dwifungsi ABRI berakhir. Atau setidaknya, kita kira begitu.
Dua dekade berlalu, dan kini kita melihat kemunculan kembali sosok-sosok berseragam di ruang-ruang sipil. Tak hanya dalam jabatan, tetapi dalam cara berpikir, dalam cara bergerak. Kita melihat kepatuhan menggantikan perdebatan, barisan menggantikan diskusi, perintah menggantikan mufakat.
Apapun masalah yang dihadapi negara, militer menyodorkan solusi: baris-berbaris. Apapun tantangan yang dihadapi, militer memberikan jawaban: merayap di bawah kawat duri. Seolah kompleksitas sosial, ekonomi, dan politik dapat diselesaikan dengan disiplin fisik dan keseragaman.
Padahal, pemerintahan yang baik tidak sekadar soal kerapian barisan, tetapi tentang keberanian mengambil keputusan yang berpihak pada rakyat.
Sejarawan, Marcus Mietzner, dalam penelitiannya menegaskan bahwa "kembalinya figur-figur militer ke dalam arena sipil menandakan regresi demokrasi, di mana pengambilan keputusan cenderung menjadi lebih tertutup dan otoriter."
Hal ini sejalan dengan fenomena yang kita lihat hari ini, di mana demokrasi yang seharusnya mengutamakan partisipasi rakyat justru semakin condong pada sistem yang seragam dan penuh perintah.
Lebih dari sekadar simbol, munculnya kembali dominasi militer dalam ranah sipil menimbulkan kekhawatiran akan kebangkitan kembali dwifungsi ABRI.
Sistem yang pernah membuat tentara bukan hanya penjaga keamanan, tetapi juga aktor politik dan birokrat, kini perlahan terlihat dalam berbagai kebijakan dan langkah strategis pemerintah.
Reformasi yang seharusnya menjadi penghalang bagi kembalinya dominasi militer dalam politik kini mulai tergerus.
Lembaga Imparsial turut menyuarakan protes terhadap fenomena ini. Dalam laporan mereka, Imparsial menyebutkan bahwa "penempatan prajurit aktif di posisi sipil merupakan langkah mundur bagi demokrasi dan bertentangan dengan semangat reformasi TNI-Polri."
Mereka menyoroti bagaimana semakin banyak perwira militer yang menduduki jabatan strategis di pemerintahan, mengaburkan batas antara ranah sipil dan militer yang seharusnya jelas. Ini bukan sekadar soal efektivitas atau ketertiban, melainkan soal prinsip dasar demokrasi: supremasi sipil atas militer.
Demokrasi adalah keterbukaan. Ia lahir dari ketidaksempurnaan manusia yang ingin saling mendengar. Ia tumbuh dalam kegaduhan, dalam perbedaan, dalam kebebasan untuk salah.
Tapi militer? Militer adalah kepastian. Kepastian tentang musuh, kepastian tentang komando, kepastian tentang disiplin. Politik yang baik tak butuh kepastian seperti itu. Politik butuh ruang—ruang untuk bertanya, untuk ragu, untuk mengubah haluan.
Maka kita bertanya, untuk apa simbol-simbol ini dihidupkan kembali? Apakah pejabat sipil perlu belajar berbaris agar lebih baik mengelola negara? Atau ini sekadar nostalgia bagi mereka yang ingin dunia berjalan dengan satu perintah dan tanpa bantahan?
Dulu, kita percaya bahwa demokrasi akan membawa kita jauh dari itu semua. Bahwa suara rakyat lebih berarti daripada suara komando. Tapi kini, kita mulai ragu: apakah reformasi benar-benar menang, atau ia hanya istirahat sejenak?
Bogor, 22 Februari 2025