Suara yang Dibungkam, Tak Pernah Mati
Di sebuah ruang, yang kita sebut demokrasi, suara seharusnya menemukan tempatnya sendiri. Tapi ada suara yang dicekik, ada nada yang dimatikan. Lagu-lagu dari band Sukatani, tiba-tiba, dihapus dari udara, seolah-olah udara punya batas, seolah-olah musik bisa dikurung dalam sekat.
Apa yang kita takutkan dari lirik yang berani? Atau lebih tepatnya, siapa yang takut? Kritik sosial yang tajam, suara yang menggetarkan, itu adalah tanda zaman. Musik bukan hanya hiburan, ia adalah cermin, sebuah monolog yang menjadi dialog, sebuah pencarian. Tapi ada tangan yang gemetar, yang ingin menggenggamnya erat, menahannya agar tak berkibar.
Alasan yang kita dengar selalu sama: norma, kepantasan, aturan. Tetapi siapa yang menentukan norma itu? Sejarah mencatat, suara-suara yang dibungkam tak pernah benar-benar mati.
Larangan sering kali justru menjelma jadi gema, menjadi sesuatu yang lebih besar dari yang dikhawatirkan. Orang-orang mencari yang dilarang, menyanyikannya dalam diam, dan diam itu menggema lebih nyaring.
Wiji Thukul adalah bukti bahwa suara yang berani kerap kali dianggap ancaman. Penyair yang puisinya dulu dilarang karena terlalu tajam dalam mengkritik penguasa ini akhirnya menghilang, dan hingga kini entah di mana.
Kita tak ingin ada pembungkaman lagi, kita tak ingin ada penghilangan paksa lagi, hanya karena seseorang menulis lirik yang berani.
Michel Foucault dalam kajiannya mengenai wacana dan kekuasaan menegaskan bahwa sensor bukan hanya soal larangan, tetapi juga upaya untuk membentuk kebenaran tertentu dalam masyarakat. Sementara itu, Jacques Rancière berpendapat bahwa seni adalah medium politik yang memungkinkan realitas baru muncul.
Industri musik, kebudayaan, bukanlah benda mati. Ia berdenyut, ia bergerak. Pelarangan bukan hanya sekadar menekan satu band, tapi juga menorehkan luka dalam tubuh kebebasan berekspresi. Ketakutan kita akan satu lagu, satu puisi, adalah tanda bahwa kita masih belum selesai dengan bayang-bayang kita sendiri.
Jika suara terus-menerus dibungkam, maka ibarat air, ia akan mencari jalan untuk keluar, hingga akhirnya menjebol. Sebab kebebasan bukan untuk ditahan, bukan untuk ditekan, tetapi untuk didengar. Kita telah melihat sejarahnya, kita telah melihat akibatnya.
Persis kata penyair Wiji Thukul: "Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan, Di sana bersemayam kemerdekaan."
Bogor, 23 Februari 2025