Suatu Malam di Jalan NUSANTARA
Kawan itu menjemput saya di hotel. Maka bertualanglah kami di kawasan Jalan Nusantara, Makassar. Kami membayangkan ada banyak gadis-gadis dengan dandanan seksi berdiri di jalan-jalan. Tapi, pemandangan malam ini buat kami sedikit kecewa. Ke mana mereka?
Kota Makassar ibarat kereta yang terus bergegas. Banyak hal bisa terjadi. Kawasan sepi jadi ramai. Kawasan ramai jadi sepi. Panakkukang yang dulu rawa-rawa, kini jadi kawasan bisnis paling sibuk.
Jalan Nusantara, yang dahulu ramai dengan gadis muda menyapa di jalan-jalan, kini jadi penuh dengan kuliner, serta asap ikan bakar menyengat.
Pada masa kolonial Belanda, jalan ini bernama De Passer Straat. Pada era 1920-an, jalan ini menjadi pusat bisnis yang penting dengan berdirinya gedung-gedung seperti De Javasche Bank dan Nederlands Handel Maatschappij.
Kedua gedung ini berlokasi di sekitar Pelabuhan Wilhelmina, yang kini dikenal sebagai Pelabuhan Soekarno-Hatta.
Pada masa itu, De Passer Straat ramai dengan aktivitas bongkar muat kapal uap dan menjadi pusat kegiatan ekonomi di Makassar. Yang namanya pekerja bongkar muat, sering didera bosan dan jenuh. Mereka butuh hiburan. Mulailah kawasan itu dipenuhi kafe, karaoke, hingga pertunjukkan musik dangdut.
Saya ingat sosiolog Daniel Bell. Menurutnya, manusia selalu mengalami kontradiksi antara ekonomi dan budaya. Di arena ekonomi, manusia akan bekerja keras dan sehemat mungkin untuk mencapai taraf kekayaan. Di arena budaya, manusia butuh pelepasan, bersenang-senang, bahkan melepas semua tabungan demi nikmat semalam.
Di Jalan Nusantara, para pekerja melepas semua tabungan demi peluk mesra. Mereka menikmati kebebasan saat berjoged, sesuatu yang tidak dia dapatkan saat bekerja yang penuh target dan capaian.
Sayang, malam ini Nusantara tak semolek dan semenggairahkan dulu. kafe-kafe kian tenggelam oleh aktivitas lain. Seorang pejabat pernah mengatakan, “Ini adalah tanda masyarakat kita semakin religius. Makin berkurang tempat maksiat, kita akan terhindar dari bencana.” Benarkah?
Saya pikir tidak sesederhana itu. Dengan menutup tempat maksiat, bukan berarti menghilangkan kemaksiatan. Tindakan itu ibarat menutup bisul dengan cara menekannya. Luka dan sakitnya akan menyebar ke kiri kanan.
Para pekerja seks itu tetap ada, malah pergerakannya semakin canggih karena memakai platform digital atau aplikasi berwarna hijau untuk bertemu klien. Mereka bersukaria dalam ekosistem digital 3.0.
Seorang kawan aktivis NGO pernah mengeluh dengan hilangnya prostitusi di Jalan Nusantara. Katanya, dulu pergerakan virus HIV bisa dikontrol. Dengan adanya lokalisasi, maka petugas kesehatan bisa rutin menggelar pemeriksaan medis, melakukan kampanye anti-HIV, serta mengawasi semua pekerja seks agar memeriksakan kesehatan.
“Kini, setelah lokalisasi ditutup, kami tak punya kendali. Situasinya jadi liar,” katanya. Dia tak mampu meredam hukum ekonomi. Barang akan terus ada, selagi ada konsumen yang terus mencarinya.
Saya pikir ada banyak orang bermuka dua. Di satu sisi, semua orang menyebut ini kota paling religius sebab rumah ibadah bertebaran di mana-mana. Tapi di sisi lain, menemukan pekerja seks semudah menemukan coto dan konro. Kota ini serupa melting pot di mana religiusitas dan kemaksiatan hidup bersama.
Para pemimpin berpidato dengan gegap gempita tentang anti-maksiat, tapi tak kuasa untuk memotong jalur maksiat yang liar bergerak melalui aplikasi. Pemimpin juga tak sanggup menemukan strategi agar mereka yang terlanjur masuk lingkaran prostitusi bisa keluar dengan gembira karena menemukan sandaran ekonomi yang lebih baik.
Saat melintas di Jalan Nusantara, saya merasa kehilangan banyak hal. Dulu, ada banyak orang berseliweran di tempat ini. Saya ingat Puang Ancong, seorang mucikari yang sering sering mengajak ngopi di sini. Ada juga Merry, Isabella, dan Suci, yang suka nongkrong di warkopnya Puang Ancong.
Di satu sudut jalan, sayup-sayup saya mendengar suara Ariel Noah sedang bernyanyi:
“Dosakah yang dia kerjakan
Sucikah mereka yang datang
Kadang dia tersenyum dalam tangis
Kadang dia menangis di dalam senyuman”