Tribun Timur dan Waktu yang Mengalir
![]() |
Kru Tribun Timur, 21 tahun yang lalu |
"Koran itu seperti arloji tua. Berdetak perlahan, mengikuti ritmenya sendiri. Tapi waktu di luar sana berlari lebih cepat."
Ada masa ketika redaksi adalah suara mesin ketik yang beradu cepat, kertas-kertas yang bertumpuk seperti gunung kecil di atas meja. Di ruangan itu, asap rokok melayang pelan, bercampur dengan aroma tinta cetak yang khas.
Seorang redaktur tua membetulkan letak kacamatanya, membaca ulang satu paragraf berita yang ditulis dengan tergesa. Sementara itu, seorang reporter muda kembali dari lapangan, menaruh rekaman kaset di atas meja, lalu buru-buru mengetik berita untuk edisi esok pagi.
Tribun Timur, 21 tahun lalu, adalah ruang penuh kegaduhan yang hidup. Ada telepon berdering, ada suara redaktur yang mengomel karena tenggat waktu sudah di depan mata. Ada desakan untuk menulis dengan cepat, karena percetakan menunggu. Tidak ada kemewahan revisi berulang kali, tidak ada ruang untuk ragu. Setiap kata yang tertulis adalah keputusan.
Lalu waktu mengalir.
"Masa depan selalu datang lebih cepat dari yang kita kira, dan ia tak pernah menunggu siapa pun."
Kini redaksi tidak lagi dipenuhi oleh kertas-kertas yang berserakan. Tidak ada mesin ketik, bahkan komputer-komputer lawas dengan layar berkedip hijau pun sudah tiada. Kantor kini lebih sunyi, lebih rapi, lebih minimalis. Ada ruang terbuka dengan meja-meja sederhana, ada sudut kecil untuk diskusi cepat. Tapi yang lebih mencolok: sebagian besar kursi kosong. Para jurnalis bekerja dari mana saja. Mereka menulis dari kafe, dari rumah, bahkan dari perjalanan di kereta.
Dunia berubah.
Dulu, koran dicetak, dilipat, didistribusikan dengan tangan-tangan kasar para loper. Sekarang berita mengalir dalam hitungan detik, tanpa perantara. Algoritma menggantikan redaktur dalam memilih berita yang layak tampil di layar pembaca.
Jurnalis tak lagi sekadar menulis, mereka juga harus berpikir tentang bagaimana menarik klik, bagaimana membuat berita yang tak sekadar dibaca, tetapi juga dibagikan, dikomentari, disukai.
Kata Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam The Elements of Journalism, "Jurnalisme kini bukan hanya tentang mencari kebenaran, tetapi juga tentang memastikan kebenaran itu dapat bertahan di tengah kebisingan informasi yang semakin liar."
Tapi apa yang disebut jurnalisme hari ini bukan lagi hak istimewa media. Di sebuah kafe dengan koneksi internet yang stabil, seorang YouTuber bisa merekam pendapatnya tentang politik, ekonomi, bahkan berita terbaru yang ia baca dari media lain—dengan hanya bermodal segelas teh dan kamera ponsel.
Persis, seperti yang dikatakan oleh Clay Shirky, "Kini, seseorang tak perlu izin siapa pun untuk menyebarkan berita."
Kemudian ada agregator berita—Google News, Facebook, X (dulu Twitter)—yang dengan algoritmanya bisa menyajikan berita tanpa perlu membayar media yang membuatnya. Pembaca tak lagi mengunjungi situs Tribun Timur; mereka cukup melihat ringkasan berita yang disusun oleh sistem otomatis.
Dan kini, muncul ancaman baru: kecerdasan buatan. AI bisa menulis berita dalam hitungan detik. Ia bisa menganalisis ribuan sumber, merangkai kalimat dengan lancar, bahkan menulis dengan gaya manusia. Jurnalis tak hanya bersaing dengan sesama jurnalis, tetapi juga dengan mesin yang tak butuh istirahat dan bisa menghasilkan ribuan artikel dalam sehari.
Lalu, apa yang tersisa untuk jurnalisme?
Banyak media tak mampu bertahan. Koran-koran besar yang dulu menguasai etalase kios kini satu per satu tutup, seperti lilin yang padam tertiup angin. Majalah-majalah yang dulu dianggap bergengsi kini hanya tinggal arsip di perpustakaan digital.
Bahkan televisi—media yang pernah menjadi simbol modernitas—satu per satu bertumbangan. Beberapa sudah menyerah, yang lain tinggal menunggu waktu.
Nicholas Carr dalam The Shallows mengatakan, "Di dunia digital, informasi bukan lagi sesuatu yang kita cari. Ia justru mengejar kita, menyergap kita dengan kecepatan yang tak pernah kita bayangkan."
Dunia digital memberi kecepatan, tetapi jurnalisme tetap memiliki sesuatu yang tidak bisa digantikan oleh algoritma, agregator, atau kecerdasan buatan: kedalaman, keberanian, dan nurani. Teknologi bisa mengolah data, tapi ia tak punya intuisi seorang reporter yang menangkap perubahan halus di wajah seorang narasumber. AI bisa menulis ulang berita, tapi ia tak bisa bertanya dengan tajam, menggali lebih dalam, atau mempertanyakan kekuasaan.
Jurnalisme mungkin tak lagi seperti dulu. Tapi selama masih ada ketidakadilan yang harus diungkap, suara yang harus disuarakan, dan pertanyaan yang harus diajukan, ia akan terus ada.
Tribun Timur telah bertahan selama 21 tahun. Dan ia masih akan terus berjalan. Sebab, seperti kata Walter Lippmann, "Berita adalah cahaya pertama di fajar yang masih gelap."
"Jurnalisme adalah perjalanan. Kadang ia tersesat, kadang ia ragu. Tapi ia tak pernah berhenti mencari."