Wangi Kopi di Anoaco Roastery


Saya melangkah masuk ke dalam ruang yang remang-remang. Di sudut, karung-karung berisi biji kopi bertumpuk seperti saksi bisu perjalanan panjang dari kebun-kebun di pegunungan tinggi. 

Udara membawa wangi yang khas—pahit, sedikit asam, dan samar-samar ada jejak tanah basah selepas hujan. Bau kopi yang belum tersentuh mesin sangrai bercampur dengan aroma yang lebih matang, lebih tajam, dari biji yang baru saja keluar dari pemanggangan.

Anoaco Roastery di Jalan Abdullah Daeng Sirua, Makassar, adalah tempat di mana waktu terasa melambat. Di sini, kopi bukan sekadar minuman; ia adalah cerita panjang yang mengendap dalam cangkir. 

Saya memikirkan perjalanan biji-biji itu, yang bermula dari pohon-pohon kopi di dataran tinggi Sulawesi Selatan. Seperti kata seorang penikmat kopi sejati, 'Menyesap kopi bukan hanya tentang rasa, tetapi juga tentang menghargai jerih payah petani yang merawat setiap bijinya dengan penuh dedikasi.' 

Toraja, Enrekang, Bonebone—nama-nama yang menyiratkan jejak sunyi para petani, embun yang jatuh di pagi hari, dan tangan-tangan yang cekatan memilah biji terbaik.

Seorang barista berdiri di balik mesin espresso, bibirnya bergerak tanpa suara, seperti seorang musisi yang menghafal partitur dalam hati. Saya melihat bagaimana ia menuangkan air panas ke atas bubuk kopi, gerakannya tenang, seperti seorang pelukis yang tahu pasti kapan harus berhenti. 


Kopi menetes perlahan ke dalam cangkir, mengisi ruangan dengan aroma yang lebih pekat, lebih dalam. Sejenak, aku merasa waktu membeku.

Tapi kopi, seperti hidup, selalu bergerak. Dari kebun ke karung, dari karung ke pemanggangan, dari pemanggangan ke cangkir. Lalu, ia pun hilang dalam tegukan, hanya menyisakan sedikit kepahitan di lidah. 

Seperti kenangan yang tinggal sebagai jejak samar dalam ingatan. Saya menyesap kopi itu perlahan, mencoba menangkap sesuatu yang sering kali luput—rasa, momen, dan mungkin, sedikit kebijaksanaan.

Di luar, langit Makassar mulai jingga. Hari beranjak senja, dan di Anoaco Roastery, kopi terus mengalir. Sebab di kota ini, seperti juga di hidup, selalu ada cerita yang menunggu untuk diseduh kembali.