Agama Data: Ketika Algoritma Menjadi Tuhan
Seseorang tersesat di kota asing. Dahulu, ia mungkin akan bertanya kepada penduduk setempat atau berdoa agar Tuhan menunjukkan jalan. Kini, tanpa ragu, tangannya meraih ponsel dan mengetik lokasi di aplikasi peta. Dalam hitungan detik, rute terbaik tersaji di layar, menghilangkan kebingungan dan ruang untuk keajaiban.
Kita tak lagi mencari jawaban dari suara yang tak kasatmata. Kita percaya pada data, pada algoritma yang memberi kepastian. Ke mana pun kita pergi, apa pun yang kita lakukan, ada sistem yang lebih tahu dan lebih pasti.
Data dan algoritma kini berperan seperti Tuhan, tetapi tanpa amarah. Ia tak menuntut pertobatan, tak menghukum atau mengutuk. Ia hanya mencatat. Segala yang kita lakukan—apa yang kita cari, berapa langkah yang kita tempuh dalam sehari, berapa jam kita tidur—semuanya tersimpan rapi dalam sistem yang tak pernah lupa. Ia tahu segalanya, bahkan yang tak kita sadari tentang diri sendiri.
Namun, sistem ini bukan sekadar alat untuk mengetahui dunia. Ia juga membentuknya. Moralitas dan kebenaran kini ditentukan oleh seberapa baik suatu sistem memproses dan menyebarkan data. Apa yang kita anggap benar sering kali didasarkan pada seberapa sering informasi tersebut tersedia saat kita mencarinya, lalu kita mengimani kebenarannya. Seolah tak ada realitas lain.
Dataisme: Agama Baru di Era Digital
Yuval Noah Harari, dalam Sapiens, menyebutnya Dataisme. Sebuah agama baru tanpa rumah ibadah, tanpa kitab suci, tetapi dengan pengikut yang lebih taat daripada jamaah di gereja atau masjid. Kepercayaannya sederhana: segala sesuatu adalah data, dan data harus mengalir dengan bebas. Semua organisme, termasuk manusia, hanyalah algoritma biologis yang bekerja berdasarkan perhitungan rumit.
Dalam paradigma ini, kesadaran bukanlah keajaiban, melainkan sekadar proses pemrosesan informasi. Rasa cinta, keputusan moral, bahkan pengalaman spiritual bukanlah sesuatu yang sakral, tetapi bisa dijelaskan melalui hitungan algoritmik. Maka, bukan kebijaksanaan manusia yang menentukan masa depan, melainkan sistem yang mampu mengolah data dalam skala lebih besar dan lebih cepat.
Di era yang dikuasai kecerdasan buatan dan pemrosesan data tanpa henti, manusia bukan lagi pusat peradaban. Mereka hanyalah simpul dalam jaringan informasi global. Seperti halnya dulu manusia tunduk pada kehendak ilahi, kini mereka tunduk pada logika sistem.
Mengapa Manusia Tunduk pada Agama Data?
Ini bukan sekadar soal ketertarikan pada teknologi. Ini soal kebutuhan akan kepastian. Manusia modern, yang hidup dalam ketidakpastian ekonomi, politik, dan sosial, mencari sesuatu yang bisa memberi jawaban cepat dan akurat. Dulu, mereka menemukan ketenangan dalam doa dan ibadah; sekarang, mereka menemukannya dalam data dan algoritma.
Agama-agama lama menawarkan makna dan harapan, tetapi sering kali gagal memberikan jawaban konkret atas pertanyaan sehari-hari. Kita tak bisa bertanya kepada kitab suci apakah sebaiknya kita menerima tawaran pekerjaan di kota lain atau tetap tinggal.
Kita tak bisa menanyakan apakah pasangan kita adalah orang yang tepat untuk dinikahi. Tapi algoritma? Ia bisa menghitung peluang kesuksesan karier kita di kota baru berdasarkan data pengguna lain. Ia bisa menganalisis kecocokan kita dengan pasangan berdasarkan riwayat pencarian dan interaksi di media sosial.
Dan kini, lebih dari sekadar memberi jawaban, algoritma mulai menentukan apa yang benar. Kebenaran bukan lagi sesuatu yang dicari di ruang perdebatan panjang atau dalam pemikiran yang mendalam. Ia hadir dalam bentuk daftar teratas hasil pencarian, dalam tren media sosial, dalam apa yang muncul paling sering di layar kita.
Moralitas bukan lagi sesuatu yang dihayati secara filosofis atau spiritual. Ia ditentukan oleh bagaimana sistem memfilter informasi. Sesuatu disebut benar bukan karena pembuktian atau argumentasi, tetapi karena ia sering muncul, sering dibagikan, sering mendapat like dan komentar. Seolah tak ada realitas lain selain yang tersaji di layar kita.
Bahaya Agama Data
Tetapi agama data tidak netral. Data bukan sekadar angka-angka yang mengalir bebas. Ia dikendalikan, dimiliki, dan dimanipulasi oleh mereka yang berkuasa—pemerintah, korporasi teknologi, pemilik modal.
Shoshana Zuboff, dalam bukunya The Age of Surveillance Capitalism, menyebut bahwa kita sedang hidup dalam era kapitalisme pengawasan. Data yang kita berikan secara sukarela—mulai dari riwayat pencarian, lokasi, pola belanja, hingga kebiasaan tidur—tidak hanya digunakan untuk meningkatkan layanan, tetapi juga untuk memprediksi dan mempengaruhi perilaku kita.
Perusahaan teknologi raksasa tidak sekadar menjual produk kepada kita; mereka menjual kesadaran dan perhatian kita kepada pengiklan. Algoritma dibuat bukan untuk membantu kita menemukan yang kita butuhkan, tetapi untuk mengarahkan kita pada apa yang mereka inginkan. Kita bukan pelanggan, kita adalah produk.
Lebih dari itu, di beberapa negara, data digunakan untuk menciptakan sistem pengawasan total. Pemerintah dapat melacak pergerakan warganya, mengawasi transaksi keuangan, bahkan memantau opini politik berdasarkan unggahan media sosial. Siapa yang dikategorikan sebagai ‘baik’ atau ‘buruk’ bukan lagi keputusan moral, tetapi keputusan algoritma.
Di dunia bisnis, perusahaan raksasa mengontrol akses kita terhadap informasi. Apa yang kita lihat, apa yang kita beli, apa yang kita percayai—semuanya bisa direkayasa oleh algoritma. Jika suatu narasi ingin dimunculkan, ia akan sering ditampilkan di linimasa kita. Jika suatu kebenaran ingin disembunyikan, ia akan dikubur dalam tumpukan data lain.
Inilah kediktatoran digital, sebuah bentuk kekuasaan baru yang tidak mengandalkan tentara atau senjata, tetapi mengendalikan informasi dan persepsi kita. Kita mungkin merasa bebas, tetapi sebenarnya kita hanya bergerak dalam batasan yang ditentukan oleh sistem.
Apa yang Hilang?
Setiap agama menuntut ketaatan. Dan Dataisme, sebagai agama baru, menuntut hal yang sama: tunduk kepada algoritma. Setiap klik, setiap unggahan, setiap langkah yang kita rekam dalam ponsel pintar adalah bentuk pengabdian kepada sistem yang lebih besar.
Tetapi ada yang perlahan menghilang. Misteri. Kejutan. Ketidakterdugaan.
Jika segala sesuatu sudah dapat diprediksi oleh data, di mana tempat bagi kebebasan? Jika keputusan kita adalah hasil dari hitungan algoritma yang tahu lebih banyak tentang kita dibanding kita sendiri, apakah kita masih memiliki kehendak bebas?
Dan jika kebenaran adalah apa yang paling sering muncul, apakah kita masih benar-benar mencari? Ataukah kita hanya mempercayai apa yang diberikan?
Jika data dikendalikan oleh penguasa, di mana tempat bagi kebenaran? Jika informasi bisa dimanipulasi, bagaimana kita tahu mana yang nyata dan mana yang telah direkayasa?
Di tengah kenyamanan yang ditawarkan oleh agama data, kita juga mulai bertanya: Apakah kita masih punya ruang untuk memilih? Apakah kita masih memiliki kesempatan untuk percaya pada sesuatu yang lebih dari sekadar angka?
Mungkin, di balik semua doa kepada algoritma, kita masih menginginkan sesuatu yang lebih dari sekadar data. Sesuatu yang benar-benar hidup.