Bisakah Presiden Tak Mengundang Konglomerat, Tapi Mereka yang Bekerja di Lokasi Terjauh?
Selama dua hari berturut-turut, Istana Negara kedatangan tamu-tamu penting. Mereka datang dengan jas rapi, dengan nama-nama yang telah lama kita kenal dalam berita ekonomi: Anthony Salim, Chairul Tanjung, Tomy Winata, dan lainnya.
Presiden Prabowo mengundang mereka bukan tanpa alasan. Ada yang perlu dibicarakan—tentang investasi, pangan, energi, dan mungkin tentang arah baru Indonesia dalam lima tahun ke depan.
Kita tahu, negara butuh uang. Pembangunan tak bisa bergerak tanpa modal, dan modal, dalam sistem yang kita anut, ada di tangan mereka—para konglomerat yang bertahun-tahun menguasai lanskap bisnis negeri ini. Ada rencana besar di meja: program makan gratis, swasembada, infrastruktur. Semua ini perlu pendanaan, perlu kepastian, dan tentu saja, perlu mereka.
Tapi ada yang terasa mengganjal.
Bayangkan seandainya kursi-kursi di Istana itu bukan hanya diduduki oleh mereka yang punya gedung tinggi di Sudirman, tetapi juga oleh seseorang yang bertahun-tahun mengajar di sekolah reyot di pedalaman Kalimantan.
Atau seorang bidan di perbatasan yang tiap hari berjuang dengan minimnya alat medis. Seandainya mereka yang bekerja dalam kesunyian itu diberi ruang untuk berbicara, apa yang akan mereka katakan kepada Presiden?
Mungkin mereka akan bercerita tentang bangunan sekolah yang hampir roboh, tentang anak-anak yang berjalan berjam-jam untuk sampai ke kelas. Mungkin mereka akan berbicara tentang pasien yang harus menyeberangi sungai demi mendapatkan pengobatan sederhana. Atau tentang janji-janji yang datang saat kampanye tetapi menguap begitu kekuasaan diraih.
Di Vatikan, ada tradisi yang diam-diam bisa memberi kita pelajaran. Setiap Kamis Putih, sehari sebelum Jumat Agung, Paus mengundang para imam dari berbagai lokasi terjauh, sering kali mereka yang bekerja di tempat-tempat paling terpencil dan penuh risiko.
Lalu, dalam sebuah ritual simbolis yang sarat makna, Paus membasuh dan mencium kaki mereka—sebuah penghormatan yang merendahkan diri, mengingatkan pada tindakan Yesus yang mencuci kaki murid-muridnya sebelum Perjamuan Terakhir.
Ada pesan kuat dalam gestur itu. Sebuah pengakuan bahwa yang bekerja di lapangan, yang berlelah-lelah di pelosok dunia, adalah mereka yang sejatinya menjaga cahaya kemanusiaan tetap menyala. Bahwa yang jauh, yang tak terlihat, justru yang paling berharga.
Negara tak bisa hanya berbicara dalam bahasa investasi. Sebab, negara bukan hanya tentang angka-angka pertumbuhan ekonomi, bukan hanya tentang konglomerasi yang makin menguat. Negara juga tentang mereka yang jauh—yang tak punya saham, yang tak punya modal selain tenaga dan pengabdian.
Sejarawan Benedict Anderson pernah berkata bahwa negara adalah "komunitas terbayang." Bahwa bangsa ini hanya bisa hidup jika semua warganya merasa menjadi bagian darinya. Tapi bagaimana jika sebagian besar rakyat hanya menjadi bayangan? Bagaimana jika suara mereka tak lagi terdengar di pusat kekuasaan?
Pertemuan di Istana itu mungkin strategis. Tapi pertanyaan mendasarnya tetap: pembangunan untuk siapa? Jika hanya mereka yang punya akses ke pusat kekuasaan yang didengar, maka bangsa ini semakin menjauh dari cita-citanya.
Negara harus hadir, bukan hanya di meja rapat para pemodal, tetapi juga di ruang-ruang kelas yang hampir roboh, di puskesmas yang kekurangan obat, di jalanan desa yang masih berbatu.
Sebab jika tidak, maka kelak yang tinggal dari negara ini hanyalah angka-angka statistik—dan orang-orang yang tak lagi percaya.
Atau, seperti yang ditulis Sapardi Djoko Damono:
"Barangkali kau tak percaya:
ada puncak yang tak bisa dicapai
meski telah kau bakar diri sendiri di sana."