Di Rumah Ridwan Kamil, Terkenang Puisi W.S. Rendra

Rasanya seperti petir di siang bolong. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tiba-tiba menggeledah rumah Ridwan Kamil, seorang politisi yang namanya benderang, baru saja kalah dalam perebutan kursi DKJ 1.

Politik selalu memiliki dua wajah. Niccolò Machiavelli dalam The Prince pernah berkata, "Everyone sees what you appear to be, few experience what you really are." Semua orang melihat seperti apa penampilanmu, tetapi hanya sedikit yang benar-benar tahu siapa dirimu sebenarnya. Dalam politik, citra lebih kuat daripada kenyataan, dan persepsi bisa menentukan nasib seseorang lebih cepat daripada fakta.

Ridwan Kamil dikenal sebagai sosok santun, jauh dari kontroversi, dan tak pernah terkesan memendam banyak dosa. 

Namun, ketika rumahnya digeledah, muncul pertanyaan besar: apakah ini murni penegakan hukum, ataukah bagian dari strategi politik yang lebih luas? Apakah ini langkah nyata dalam pemberantasan korupsi, atau sekadar permainan untuk memastikan jalan menuju 2029 lebih mulus bagi pihak tertentu?

Kita telah terlalu sering menyaksikan bagaimana seorang tokoh yang dipuja bisa jatuh dalam sekejap. Tuduhan korupsi bukan sekadar dakwaan hukum, tetapi juga senjata ampuh untuk menghancurkan reputasi. Nama baik yang dibangun selama bertahun-tahun bisa runtuh hanya karena satu berita utama, satu penggeledahan, atau satu opini yang viral di media sosial.

Namun, yang menarik bukan hanya bagaimana seorang pemimpin jatuh, tetapi bagaimana kita menilai mereka. Kita sering terjebak dalam ilusi tentang pemimpin—menghormati mereka karena tutur kata yang lembut, sikap yang santun, dan kedekatan dengan rakyat. Kita percaya bukan karena transparansi kebijakan atau akuntabilitas laporan keuangan, tetapi karena cara mereka berbicara di podium dan tersenyum saat berfoto dengan rakyat kecil.

Kesantunan memberi rasa aman. Ia membuat kita berpikir bahwa seseorang yang berbicara dengan baik pastilah juga berpikir dan bertindak dengan baik. 

Kita jarang bertanya lebih dalam: bagaimana keputusan mereka dibuat? Bagaimana anggaran negara dikelola? Bagaimana proyek-proyek besar diberikan? Kita tidak bertanya karena kita percaya. Dan kepercayaan, sering kali, adalah jalan paling mudah menuju kekecewaan.

Sebab kekuasaan selalu membawa risiko, dan korupsi adalah bagian dari risiko itu. Seseorang bisa memulai perjalanan politiknya dengan niat baik, tetapi dalam perjalanannya, ia menemukan jalur-jalur gelap yang terlalu menggoda untuk dihindari. 

Sebuah tanda tangan di atas kertas yang tampak sepele bisa bernilai miliaran. Sebuah keputusan kecil bisa mengubah nasib banyak orang—tetapi juga bisa menguntungkan segelintir pihak.

Friedrich Nietzsche pernah memperingatkan, "He who fights with monsters should be careful lest he thereby become a monster." Siapa pun yang melawan kebusukan harus berhati-hati agar tidak menjadi bagian darinya. 

Seorang pejabat yang masuk ke dalam sistem dengan idealisme tinggi bisa saja berakhir seperti mereka yang dulu ia lawan. Kekuasaan memiliki cara tersendiri untuk mengubah seseorang.

Namun, ada narasi lain yang tak kalah tua: kekuasaan selalu memiliki lawan, dan dalam politik, musuh yang paling berbahaya bukanlah mereka yang berteriak di jalanan, tetapi mereka yang bekerja dalam senyap di balik layar. Tuduhan korupsi bisa menjadi alat yang efektif untuk menjatuhkan seseorang, terutama mereka yang sedang bersiap menuju panggung yang lebih besar.

Sebab politik bukan hanya soal kebijakan, tetapi juga tentang negosiasi dan pertarungan kepentingan. Seorang tokoh bisa bersinar dalam sekejap, dielu-elukan sebagai pemimpin masa depan, dan dijagokan sebagai simbol perubahan. Namun, dalam waktu yang sama, ia juga bisa jatuh, dijauhi, dan dilupakan. Tidak ada yang abadi dalam politik, kecuali kepentingan.

Machiavelli juga menulis bahwa dalam politik, lebih penting tampak baik daripada benar-benar baik. Seorang pemimpin yang berambisi bukan hanya harus cerdas dan berbakat, tetapi juga harus mampu membaca kapan ia akan dijatuhkan. Mereka yang lengah akan tersingkir, bukan karena kesalahan mereka sendiri, tetapi karena mereka tidak cukup siap menghadapi musuh yang tak terlihat.

Hari ini, kita menyaksikan seseorang dipuja, besok ia bisa dihancurkan. Seorang pemimpin yang baru saja dielu-elukan karena kerja kerasnya tiba-tiba menjadi tersangka. Namun, yang sering kita lupakan adalah pertanyaan yang lebih mendalam: mengapa sekarang? Mengapa bukan kemarin? Mengapa bukan nanti?

Sebab, dalam politik, waktu adalah bagian dari strategi. Skandal jarang terjadi secara kebetulan. Ia bisa muncul di saat yang paling tepat—tepat bagi siapa? Itu pertanyaan yang jarang kita tanyakan.

Plato pernah berkata bahwa kekuasaan seharusnya dipegang oleh mereka yang tidak menginginkannya, karena mereka yang terlalu menginginkannya cenderung menyalahgunakannya. Namun, dalam dunia yang kita tinggali sekarang, justru merekalah yang paling sering berada di puncak.

Kita hidup dalam dunia yang tidak pernah hitam-putih. Pejabat yang kita kagumi bisa saja ternyata korup, dan yang kita sangka bersalah bisa saja hanya menjadi korban. Yang pasti, dalam politik, kebenaran tidak selalu mudah ditemukan, dan kejujuran tidak selalu cukup untuk bertahan.

Dan mungkin, di tengah semua ini, kita hanya bisa menunggu: siapa yang akan tetap berdiri, siapa yang akan jatuh, dan siapa yang akan tersenyum dari balik layar, menyaksikan semua ini seperti babak baru dari sebuah lakon yang telah sering dimainkan.

Di sana, di tengah kesibukan petugas KPK memeriksa rumah Ridwan Kamil, terbersit puisi dari W.S. Rendra:

"Karena politik tidak punya kepala.

Tidak punya telinga. Tidak punya hati.

Politik hanya mengenal kalah dan menang.

Kawan dan lawan.

Peradaban yang dangkal."

Politik, dalam segala kemegahannya, sering kali hanya menjadi arena permainan. Dan di antara pemenang dan pecundang, rakyat tetap menjadi penonton yang tak berdaya, menyaksikan babak demi babak pertarungan yang tak pernah benar-benar berubah.