Jurnalisme, Teror, dan Keberanian yang Tak Padam


Pagi itu, sebuah paket tiba di kantor redaksi. Isinya kepala babi. Basah, berdarah, dan diam. Ia dikirim bukan untuk dimakan, bukan pula untuk dipuja. Ia datang sebagai pesan. Tapi seperti semua pesan yang dikirim dengan ketakutan, ia lebih banyak berbisik daripada berteriak.

Kepala babi itu adalah metafora. Tentang kebencian yang tak mau disebut namanya. Tentang kekuasaan yang bekerja di dalam gelap. Tentang tangan-tangan yang gemetar dalam diam, karena ada sesuatu yang ingin mereka tutupi.

Di negeri ini, kebebasan selalu diuji dengan bentuk-bentuk ketakutan yang berubah-ubah. Ada masanya surat kabar dibredel. Ada masanya wartawan diancam, ditikam, menghilang. Kini, ancaman lebih samar. 

Kadang datang dalam bentuk tekanan ekonomi. Kadang dalam wujud buzzer yang membanjiri dunia maya dengan kebisingan yang menenggelamkan suara-suara kritis. Atau dalam rupa kepala babi yang dikirim ke meja redaksi—sebuah cara kuno, kasar, tapi tetap mencengkeram.

Namun, sejak awal lahirnya, jurnalisme telah hidup berdampingan dengan ancaman. Ia adalah anak dari keberanian dan sekaligus sasaran ketakutan. Sejarah pers adalah sejarah tentang tekanan, sensor, dan upaya pembungkaman. 

Dari zaman Voltaire hingga era digital, dari pembredelan surat kabar hingga ancaman samar di ruang redaksi, jurnalisme selalu menghadapi bentuk-bentuk baru dari ancaman yang sama: keinginan untuk membungkam suara yang tidak nyaman.

Tetapi jurnalisme, jika ia sungguh-sungguh jurnalisme, tidak akan kehilangan sikap kritisnya. Ia tidak akan tunduk pada ketakutan, sebab di sanalah letak keberaniannya.

***

Dulu, ketika surat kabar pertama kali muncul di Eropa, penguasa melihatnya sebagai gangguan. Informasi yang terlalu bebas dianggap berbahaya, sebab ia bisa menyalakan api di tengah rakyat yang selama ini dibungkam. Maka, surat kabar dilarang, atau jika tidak, dipaksa tunduk pada aturan ketat.

Di Prancis abad ke-18, jurnalis sering berakhir di penjara karena menulis hal-hal yang dianggap menyinggung istana. Di Amerika abad ke-19, redaksi surat kabar bisa dihancurkan hanya karena memberitakan praktik perbudakan. Di Indonesia, kita mengenal Medan Prijaji milik Tirto Adhi Soerjo, yang berulang kali dicekal karena menyuarakan ketidakadilan kolonial.

Setiap zaman memiliki caranya sendiri untuk mengancam kebebasan pers.

Hari ini, ancaman itu tetap ada. Hanya wujudnya yang berubah. Kini, bukan lagi pemerintah yang sepenuhnya mengendalikan pers, tetapi kepentingan modal, buzzer, dan ancaman samar yang sulit dilacak.

Dulu, surat kabar bisa ditutup dengan sebuah keputusan negara. Hari ini, media bisa dihancurkan perlahan-lahan: dengan gugatan hukum yang membebani, dengan tekanan ekonomi yang mencekik, atau dengan teror yang dikirim dalam diam.

Sebuah kepala babi yang dikirim ke kantor Tempo bukan sekadar simbol kekerasan. Ia adalah pesan, bahwa ada pihak yang terganggu. Bahwa ada sesuatu yang ingin disembunyikan. Tapi jurnalisme yang baik tahu, justru di situlah ia harus menggali lebih dalam.

George Orwell pernah mengatakan, “Jurnalisme adalah mencetak apa yang tidak ingin dicetak oleh mereka yang berkuasa. Segala sesuatu yang lain hanyalah publisitas.”

Kita tahu, ada perbedaan antara informasi dan kebenaran. Kita juga tahu, ada perbedaan antara jurnalisme yang tunduk dan jurnalisme yang berani.

***

John Milton, seorang penyair dari abad ke-17, pernah berkata bahwa kebenaran akan selalu lebih kuat dari kebohongan, asalkan ia dibiarkan bebas berkompetisi. Tapi bagaimana jika kebenaran tidak lagi diberi ruang? Bagaimana jika orang-orang yang berusaha mengungkapnya diancam, ditakut-takuti, atau dibuat bungkam?

Hannah Arendt pernah menulis tentang bagaimana totalitarianisme bekerja: dengan menanamkan ketakutan, bukan hanya pada mereka yang melawan, tapi juga pada mereka yang menonton. Maka, sebuah kepala babi yang dikirim ke kantor redaksi bukan hanya sebuah ancaman bagi jurnalis di sana. Ia adalah sinyal yang dikirim ke luar: lihatlah apa yang bisa terjadi jika kalian terlalu jauh berbicara.

Dari sudut pandang Pierre Bourdieu, media adalah arena perebutan kekuasaan. Dalam On Television (1996), Bourdieu menunjukkan bagaimana media yang berani mengkritik kekuatan dominan sering kali menjadi sasaran serangan. 

Teror kepala babi ini adalah upaya untuk mengendalikan arena itu—untuk membuat jurnalis berpikir dua kali sebelum mengungkap sesuatu yang bisa mengguncang kepentingan tertentu.

Tapi kebenaran punya kebiasaan aneh. Ia bisa tertutup sesaat, bisa ditekan, bisa dikepung. Tapi ia selalu menemukan jalan untuk keluar. Sejarah membuktikannya.

*** 

Tempo pernah dibredel, dua kali, pada 1982 dan 1994. Tapi Tempo kembali. Ia selalu kembali. Karena jurnalisme yang baik bukan hanya soal menulis berita. Ia adalah urusan mempertahankan cahaya di tengah gelap.

Sejarah menunjukkan bahwa ancaman terhadap pers tak pernah benar-benar berhasil membungkam kebenaran. Tirto Adhi Soerjo pernah dipenjara, tapi gagasannya tetap hidup.

Karena jurnalisme yang sejati tidak sekadar mencatat peristiwa. Ia mempertanyakan. Ia menggali. Ia mengungkap. Dan ia tahu bahwa keberanian bukanlah ketiadaan rasa takut, melainkan keputusan untuk tetap berjalan meski dihadang ancaman.

Jurnalisme yang baik tidak akan kehilangan sikap kritisnya. Karena tanpa itu, ia bukan lagi jurnalisme. Ia hanya gema dari mereka yang berkuasa.

Maka, kepala babi itu adalah tanda. Bukan tanda bahwa kita harus takut. Tapi tanda bahwa kebenaran masih punya musuh. Dan justru karena itulah, ia harus terus diperjuangkan.

Seperti yang pernah ditulis Widji Thukul:

"Jika kami bunga, engkau adalah tembok. Tapi dalam tubuh tembok itu, kami sebar biji-biji. Suatu saat, kami akan tumbuh bersama. Dengan keyakinan: engkau harus hancur!"