Pak Prabowo, Demokrasi Bukan Barak Militer


Pak Prabowo, Indonesia bukan markas besar tentara. Demokrasi yang sehat tidak diukur dari siapa yang paling kuat, paling disiplin, atau paling loyal. Demokrasi adalah arena gagasan, tempat setiap ide diuji dalam debat, bukan dalam komando tunggal.

Tetapi mengapa militer kian merangsek masuk ke jabatan sipil? Mengapa kursi-kursi strategis dalam birokrasi, BUMN, hingga kementerian, semakin banyak diisi oleh purnawirawan jenderal? Apakah negeri ini kekurangan profesional sipil yang kompeten? Atau ada kepentingan lain yang ingin diperkuat dengan membawa militer ke ranah pemerintahan?

Sejarah memberi cukup bukti. Negara-negara yang gagal menjaga batas antara militer dan sipil selalu terjerumus ke dalam stagnasi atau kemunduran. Lihat Thailand. Setiap kali militer mengambil alih kekuasaan, demokrasi lumpuh di tangan mereka yang mengklaim diri sebagai penyelamat bangsa. 

Lihat Myanmar. Militer menguasai ruang politik, dan yang tersisa adalah rakyat yang hidup dalam ketakutan. Lihat Mesir. Revolusi yang menjanjikan demokrasi akhirnya kembali jatuh ke tangan militer, menjelma dalam wajah otoritarianisme baru.

Indonesia pernah mengalami hal serupa. Orde Baru adalah bukti nyata bagaimana militer tidak hanya mengendalikan politik tetapi juga mengontrol kehidupan sehari-hari. Mereka hadir di mana-mana—dalam pemerintahan, kampus, media, bahkan ruang diskusi publik. Mereka yang berani melawan harus siap menghadapi represi: ditangkap, diasingkan, atau menghilang tanpa jejak.

Pramoedya Ananta Toer pernah mengalami langsung bagaimana demokrasi yang dibungkam oleh militer melahirkan penderitaan. Sang sastrawan besar ini dihantam popor senapan oleh serdadu di hadapan keluarganya sendiri, dipenjara tanpa pengadilan, dibungkam selama bertahun-tahun di Pulau Buru. 

Dosanya? Hanya karena tulisan-tulisannya. Hanya karena gagasannya. Hanya karena ia memilih berpikir merdeka.

Inilah bahayanya ketika kekuasaan dikendalikan oleh mereka yang lebih terbiasa memberi perintah ketimbang mendengar. Mereka yang lebih akrab dengan hukuman ketimbang diskusi. Mereka yang melihat perbedaan pendapat sebagai ancaman, bukan sebagai bagian dari demokrasi.

Pak Prabowo, Anda lebih dari siapa pun tahu bagaimana militer bekerja. Di barak, perintah adalah hukum. Di lapangan, strategi disusun tanpa banyak tanya. Ketegasan adalah segalanya. Tetapi di ruang sipil, yang kita butuhkan bukan hanya ketegasan, melainkan keterbukaan. Bukan sekadar kepatuhan, melainkan akuntabilitas.

Ketika militer masuk ke birokrasi, ketika jenderal-jenderal purnawirawan menduduki posisi yang seharusnya diisi oleh profesional sipil, kita patut bertanya: untuk apa semua ini? Untuk meningkatkan efisiensi? Untuk mempercepat pengambilan keputusan? Atau untuk memperluas dominasi kelompok tertentu?

Ilmuwan Samuel P. Huntington dalam The Soldier and the State mengingatkan bahwa “dunia seorang tentara berbeda dari dunia politik dan bisnis.” Seorang tentara dibentuk oleh pengalaman yang berbeda. Ia terbiasa memerintah, bukan berdialog. Ia melihat ketertiban sebagai tujuan akhir, bukan hasil dari perdebatan yang sehat. Keberhasilannya diukur dari kepatuhan, bukan dari kebebasan berpikir.

Dan di sinilah letak ancamannya.

Demokrasi tidak bisa dijalankan dengan mentalitas komando. Jika demokrasi dikelola dengan cara berpikir militer, maka yang tersisa hanya ilusi demokrasi belaka—struktur otoriter yang tersembunyi dalam sistem yang tampak demokratis.

Pak Prabowo, biarkan sipil berdialog. Biarkan mereka berdebat. Biarkan mereka menguji semua pendapat dalam arena demokrasi, bukan di bawah bayang-bayang seragam loreng.

Jika demokrasi adalah janji, mari kita jaga agar janji itu tetap utuh. Sebab, jika tidak, kita tahu ke mana semua ini akan berujung.