Pemecah Batu, Mr Clean, dan Jalan Takdir Andi Amran Sulaiman


Seorang anak duduk di tepi gunung. Tangannya mungil, tetapi kuat. Ia mengangkat palu, menghantamkan ke batu. Satu kali, dua kali. Serpihan beterbangan, tetapi batu tetap teguh. Ia berhenti sejenak, menghela napas, lalu kembali mengayunkan palu. Siang terik, matahari seolah membakar kulitnya, tetapi ia tak bergeming.

Anak itu adalah Andi Amran Sulaiman. Lahir di Bone, Sulawesi Selatan, dalam keluarga yang lebih mengenal kerja keras ketimbang kenyamanan. Ia bukan satu-satunya anak yang tumbuh dalam kemiskinan. 

Ia bukan satu-satunya bocah yang bekerja memecah batu, menggali sumur, menjual ubi, atau menggembala sapi. Tetapi, entah mengapa, ada sesuatu dalam dirinya yang tidak hancur seperti batu yang dihantamnya setiap hari.

Nietzsche pernah menulis: "That which does not kill us makes us stronger." Apa yang tidak membunuh kita, membuat kita lebih kuat. Kata-kata ini seolah menjelma dalam sosok Amran. Kemiskinan, kerja kasar, keterbatasan—semua itu tidak melemahkannya, tetapi membentuknya menjadi sosok yang lebih tangguh.

Dari Batu ke Bisnis

Dalam biografi orang-orang besar, kita sering membaca tentang titik balik. Tentang peristiwa yang mengubah hidup seseorang, yang membuatnya memilih jalan lain. 

Bagi Amran, mungkin itu adalah saat ia mulai memahami bahwa pendidikan adalah tiket keluar dari kehidupan yang sempit. Ia belajar dengan tekun, lulus dari Universitas Hasanuddin, dan bahkan meraih gelar doktor.

Tetapi ia tahu, sekadar menjadi pintar tidak cukup. Dunia tidak bergerak hanya karena angka-angka di atas kertas. Dunia bergerak karena kerja.

Amran pernah bekerja di sebuah perusahaan negara. Ia naik jabatan, dihormati, tetapi ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Ia melihat kecurangan, sesuatu yang bertentangan dengan idealismenya. Ia memilih keluar, melawan arus yang aman, dan mendirikan usahanya sendiri. 

Dari sebuah gubuk reyot di kaki gunung, ia menciptakan sesuatu yang kelak akan menjadi kerajaan bisnis. Racun tikus, yang bagi orang lain hanya sekadar benda kecil, menjadi awal bagi kejayaannya.

Aristoteles, dalam Nicomachean Ethics, mengatakan bahwa kebajikan tertinggi manusia terletak pada kerja keras dan tindakan nyata. Bagi Amran, bisnis bukan hanya soal mencari keuntungan, tetapi juga mengatasi persoalan yang nyata.

Dengan inovasi, ia membantu para petani. Dengan usaha, ia menciptakan lapangan kerja. Dan dengan keberanian, ia melawan sistem yang ia anggap tidak adil.

Hattrick di Kementerian: Dari Jokowi ke Prabowo

Dunia menyukai cerita orang miskin yang menjadi kaya. Tetapi, setelah menjadi kaya, apa yang tersisa? Apakah hanya angka di rekening? Hanya deretan aset dan investasi? 

Amran tidak berhenti pada keberhasilannya sebagai pengusaha. Ia menerima jabatan Menteri Pertanian di era Presiden Jokowi, sebuah posisi yang lebih sering dikaitkan dengan birokrasi yang lamban. 

Tetapi ia memilih menjadi "Mr. Clean", melawan mafia pangan, membela petani, dan memastikan bahwa kementerian yang ia pimpin tidak sekadar menjadi mesin administrasi.

Di bawah kepemimpinannya, ekspor pertanian melonjak. Petani yang dulu selalu diabaikan mulai mendapatkan perhatian. Namun, perubahan selalu menimbulkan perlawanan. Mafia pangan, kelompok yang selama ini menikmati keuntungan dari ketidakberesan sistem, merasa terganggu. 

Amran tahu, pertempuran ini lebih sulit dari sekadar memecah batu di gunung. Batu-batu di dunia birokrasi lebih keras, lebih licin, dan lebih sulit dihancurkan.

Tetapi sejarah berbicara. Ia bukan hanya sekali menduduki kursi Menteri Pertanian. Setelah menjabat pada periode 2014–2019, ia kembali dipercaya oleh Presiden Jokowi untuk mengisi posisi yang sama pada 2023. Dan ketika kekuasaan berganti, Prabowo Subianto, yang naik menjadi presiden, kembali menunjuk Amran untuk mengemban tugas yang sama.

Marcus Aurelius, kaisar dan filsuf Stoik, menulis dalam Meditations: "You have power over your mind—not outside events. Realize this, and you will find strength."

Amran mungkin memahami ini lebih baik daripada kebanyakan orang. Ia tidak mengendalikan politik, tidak bisa menghentikan fitnah atau intrik, tetapi ia bisa mengendalikan dirinya sendiri—dengan terus bekerja, terus membuktikan diri.

Visi Besar: Kedaulatan Pangan

Namun, ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar jabatan. Amran punya obsesi: kedaulatan pangan. Bagi Amran, bangsa yang bergantung pada impor pangan adalah bangsa yang rentan. 

Ia melihat bagaimana harga pangan bisa menjadi alat tekanan politik, bagaimana ketersediaan beras, jagung, dan kedelai bisa menentukan stabilitas negara. Ia ingin Indonesia mandiri, mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri tanpa harus menunggu belas kasihan negara lain.

Jean-Jacques Rousseau pernah berkata, "Man is born free, and everywhere he is in chains." Dalam konteks Amran, kebebasan bukan hanya tentang individu, tetapi juga tentang bangsa. Indonesia akan tetap "terbelenggu" jika tidak bisa memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Oleh karena itu, ia ingin melepaskan rantai ketergantungan itu.

Ini bukan mimpi kosong. Ia berusaha membangun kebijakan yang mengarah ke sana. Dia melakukan: (1) Investasi besar-besaran di sektor pertanian, (2) Memperluas lahan produktif, (3) Mendukung petani dengan teknologi dan infrastruktur, (4) Memutus rantai kartel pangan.

Ia tahu, selama mafia mengendalikan distribusi, petani tetap miskin dan rakyat tetap bergantung pada impor. Maka, ia berperang.

Dapatkah Ia Memecahkan Batu Politik?

Kini, namanya disebut-sebut dalam bursa calon pemimpin negeri. Orang-orang bertanya, apakah ia layak? Apakah seorang yang lahir dari kemiskinan, yang pernah bekerja memecah batu, pantas untuk duduk di kursi kekuasaan?

Mungkin, pertanyaan yang lebih penting bukanlah apakah ia pantas, tetapi apakah kita, sebagai bangsa, masih bisa percaya bahwa seseorang yang memahami kerja keras lebih dari sekadar slogan politik bisa membawa perubahan?

Kita sering kecewa dengan para pemimpin. Terlalu banyak janji yang diucapkan tanpa keyakinan. Terlalu banyak rencana yang dibuat hanya untuk dibatalkan.

Amran, dengan segala rekam jejaknya, menawarkan sesuatu yang berbeda. Ia bukan orator ulung yang bisa membuat rakyat terpana dengan kata-kata indah. Ia lebih mirip seorang pekerja keras yang tidak banyak bicara tetapi terus bekerja.

Namun, politik tidak seperti bisnis. Politik bukan hanya tentang kerja keras, tetapi juga tentang persepsi. Seseorang bisa memiliki segudang prestasi, tetapi tetap kalah oleh mereka yang lebih piawai dalam merangkai kata-kata.

Amran pernah memukul batu berkali-kali, dan batu itu tidak langsung hancur. Ia tahu, segala sesuatu butuh waktu. Dan seperti batu yang terus ia hantam di masa kecilnya, mungkin kini ia sedang menghadapi batu lain—lebih besar, lebih keras. Batu bernama politik.

Dan pertanyaannya adalah: apakah kali ini ia bisa memecahkannya?