Reuni, Cermin Retak, dan Gema yang Kini Menjauh

"Manusia tak hanya dilihat dari siapa dirinya, tapi dari apa yang bisa ditunjukkannya. Dan di situlah keheningan mulai bekerja."

—Jean-Paul Sartre


Seorang kawan menolak datang ke reuni. Bukan karena sibuk. Bukan pula karena lupa. Tapi karena ia ingat. Dan justru karena terlalu ingat, ia enggan kembali.

Ketika didesak dalam percakapan yang pelan, ia akhirnya bercerita—bukan dengan kemarahan, tapi dengan suara yang nyaris bisu. Ia pernah datang sekali, bertahun lalu. 

Di sana, ia menyaksikan bagaimana nama-nama besar dielu-elukan. Mereka yang kini menjadi pejabat diminta duduk di depan, diberi mikrofon, dan diundang memberi motivasi. Dipanggil satu-satu, dipuji, dipeluk, dan diperkenalkan seperti pahlawan yang baru pulang dari medan sukses.

Ia, yang datang dengan pakaian sederhana dan nama yang tak tercetak di spanduk, nyaris tak disapa. Tak ada yang bertanya kabar. Ia hanya duduk di barisan belakang, menatap panggung kecil itu dengan perasaan yang tak bisa ia beri nama.

“Mereka seolah jadi pemilik acara,” ujarnya. “Padahal kami sama-sama bagian dari sekolah itu. Kami pernah dihukum karena bolos. Kami pernah ikut kerja bakti membersihkan halaman sekolah dari rumput liar. Saya ingat saat para perempuan berteriak karena seekor ular melata di tengah lapangan.”

Ia tertawa kecil, getir. “Dan kantin itu,” lanjutnya, “Kursinya reyot, menunya cuma mie instan dan gorengan. Tapi entah kenapa, waktu itu rasanya seperti makanan mewah. Mungkin karena kita makan sambil tertawa, tanpa merasa harus membuktikan siapa diri kita.”

Saya diam. Karena dalam ceritanya, saya mendengar gema yang saya kenal.

Reuni, katanya, adalah peristiwa ingatan. Tapi yang kini terlihat justru panggung kecil—dengan sorotan diarahkan pada mereka yang membawa angka: gelar, jabatan, kendaraan. Seakan masa lalu yang dulu kita bagi bersama, hanya layak dikenang jika disertai keberhasilan yang bisa dipamerkan.

Jean-Paul Sartre menulis bahwa “neraka adalah orang lain”—bukan karena kehadiran mereka menyakitkan, tapi karena pandangan merekalah yang membentuk siapa kita di mata dunia. Di reuni itu, seseorang bukan lagi sekadar kawan lama, tapi refleksi dari bagaimana ia dilihat, atau diabaikan. Kita datang membawa kenangan, tapi pulang membawa beban penilaian.

Banyak orang memandang hidup ini seperti perlombaan. Maka tak heran, yang dihargai dalam reuni adalah mereka yang dianggap “paling”: paling sukses, paling terkenal, paling kaya. Padahal hidup bukanlah lintasan yang sama untuk semua. Setiap orang punya jalan pedangnya sendiri—sunyi, terjal, dan tak selalu layak dijadikan tontonan.

Ada yang berkata: reuni adalah cermin. Tapi saya kira ia lebih mirip jendela. Bukan untuk melihat ke dalam, tapi untuk membiarkan struktur sosial dari luar masuk ke ruang kenangan. Kita membawa serta dunia hari ini—dunia yang sibuk mengklasifikasi, dunia yang menjunjung hierarki gengsi—ke tempat yang seharusnya membuat kita merasa pulang.

Erich Fromm, dalam To Have or To Be?, membedakan dua cara manusia menilai diri: dari apa yang ia miliki atau dari siapa ia menjadi. Dunia modern, katanya, semakin mendorong kita hidup dalam mode “memiliki”. Maka reuni pun menjelma ajang perbandingan: siapa yang tampil lebih bersinar, siapa yang tampak biasa saja. Yang tak bisa menunjukkan apa-apa, perlahan lenyap dari percakapan.

Saya ingat lagi teman saya yang dulu sering membagi bekalnya—ubi goreng beserta sambalnya. Ia tidak datang di reuni terakhir. Mungkin ia tahu, tak ada ruang di situ untuk mereka yang datang hanya dengan kenangan. Atau mungkin ia datang, tapi tak terlihat—karena mata kita telah belajar mengabaikan yang tak bersinar.

Padahal seharusnya, reuni menjadi momen bersyukur. Waktu untuk mengenang hari-hari yang telah berlalu, dan menyadari bahwa seperti apa pun badai dan hujan, kita tetap bisa bertahan. Bahkan menari. Life isn’t about waiting for the storm to pass. It’s about learning to dance in the rain.

Maka reuni lebih sering menyisakan getir daripada suka cita. Karena yang kita temui bukan hanya kawan lama, tapi juga diri kita sendiri—yang kini lebih lihai menunduk pada harta, lebih mudah mengukur manusia dari pencapaiannya. Kita tak lagi sekadar mengenang. Kita menakar.

Dan ketika acara usai, kita pun pulang. Bukan dengan hangatnya pelukan, tapi dengan sunyi yang ganjil. Kita sadar: reuni itu bukan lagi kepulangan. Karena kita tak lagi bisa sekadar menjadi teman.

Kita telah menjadi orang lain.