Saatnya Kita Mudik Digital


Orang-orang menyebutnya mudik. Tapi barangkali, lebih dari sekadar perjalanan tahunan yang berulang-ulang, ia adalah cara lain manusia mencoba menyusun ulang dirinya. Sebab kota, dengan segala hiruk yang terus berbicara, tak memberimu ruang untuk mendengar—apalagi kepada diri sendiri.

Saya bertanya-tanya: mengapa pulang ke kampung terasa seperti kembali ke sesuatu yang sangat lama dan sangat dalam? Mungkin karena di sana, waktu tidak bergerak seperti jam digital. Ia tidak mendesak, tidak mendorong, tidak menyuruhmu update. Ia berjalan seperti angin sore yang menyapu daun-daun pisang: pelan, dan nyaris tanpa suara.

Di rumah tua itu, ponsel saya diam. Ia tergeletak di meja, tak berguna. Dan anehnya, saya tidak mencarinya. Sebab di depan saya, ada emak yang menanyakan kabar, bukan lewat emoji, tapi lewat tatapan yang menyimpan cerita. Ada adik yang merengek ingin bermain, bukan mengetik "kangen" di kolom komentar, tapi menarik tangan saya untuk duduk di tanah.

Sejak kapan kita mulai percaya bahwa interaksi bisa digantikan layar?

Cal Newport, seorang ilmuwan komputer yang tidak begitu percaya pada keajaiban media sosial, pernah menulis: teknologi seharusnya membantu manusia menjalani hidup, bukan mencuri hidup itu sendiri. Dalam buku Digital Minimalism, ia menyarankan kita untuk berhenti sejenak. Untuk diam. Untuk merumuskan ulang, apa yang sebenarnya kita cari dari segala bentuk scroll itu?

Saya kira, selebriti Selena Gomez pernah sampai pada titik itu. Ia bercerita, bahwa berhenti dari internet selama empat tahun membuatnya merasa hidup kembali. Selebritas yang menghapus media sosialnya adalah sebuah paradoks. 

Tapi mungkin justru karena ia hidup dari sorotan, ia lebih cepat menyadari bahwa tidak semua sorot adalah cahaya. Kadang ia adalah silau yang menyesatkan.

Mudik, seperti juga keheningan, adalah bentuk kecil dari pemberontakan terhadap keterhubungan yang berlebihan. Ia seperti puasa: menahan, mengosongkan, agar kita kembali menemukan rasa. Kita mematikan ponsel bukan karena anti-kemajuan, tapi karena sadar, tak semua suara perlu didengar, tak semua notifikasi perlu ditanggapi.


Nicholas Carr, penulis The Shallows, pernah menulis bahwa internet membentuk otak kita untuk berpikir dangkal. Kita kehilangan ruang untuk merenung, kehilangan seni untuk tenggelam dalam satu hal saja. Saya kira, mudik adalah bentuk perlawanan terhadap kedangkalan itu: ia mengembalikan kita pada percakapan yang tak bisa dipercepat, pelukan yang tak bisa dikirimkan, dan kesunyian yang tak bisa diposting.

Di desa, tidak ada yang buru-buru. Bahkan waktu pun sabar menunggu. Di sore yang pelan itu, saya duduk bersama bapak, menatap sawah. Kami tidak berbicara banyak. Tapi di sela-sela diam, saya merasa kami saling memahami.

Ponsel saya tetap diam. Dan saya pun belajar: mungkin tak semua hal harus diabadikan. Beberapa cukup untuk dikenang dalam diam.

Dan di situlah, kita betul-betul pulang.


NB: Catatan ini dibuat oleh orang yang sedang tidak bisa mudik, tapi berharap bisa pulang kampung dalam waktu dekat.